A. PENGANTAR
Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Secara historis tradisi ini sebenarnya telah berkembang sejak lama bahkan sejak zaman pra Sokrates. Namun demikian, lalu istilah itu menjadi populer dan berkembang pada abad XX terutama di Inggris khususnya dan Eropa pada umumnya. Perkembangan filsafat analitika bahasa itu memang tidak dapat dijelaskan begitu saja terpisahkan dari aliran-aliran yang berkembang sebelumnya seperti aliran rasionalisme. Idealisme, empirisme, imaterialisme dan aliran postivisme. Atas dasar kenyataan historis yang demikian inilah maka filsafat analitika bahasa menjadi sangat sulit sekali untuk dibatasi berdasarkan wilayah perkembangannya. Oelh karena itu akan menjadi lebih memadai bilamana uraian perkembangan filsafat analitika bahasa itu difokuskan pada perkembangan berdasarkan aliran-aliran. Terlebih lagi terdapat banyak filsuf yang memiliki kebiasaan melanglang jagad, pindah dari negara satu ke negara lainnya misalnya Bertrand Russell, Wittgenstein dan tokoh lainnya. Demikian juga terdapat suatu aliran yang berkembang di Eropa akan tetapi pusatnya di Wina sehingga aliran tersebut juga disebut ‘Mazhab Wina’ atau ‘kring Wina’. Selain itu setelah perkembangan filsafat bahasa biasa, pengaruhnya meliputi berbagai negara di Eropa maupun Amerika.
Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu ‘atomisme logis’ (logical atomism), ‘positivisme logis’ (logical positivism), atau kadang disebut juga ‘empirisme logis’ (logical empirism), dan ‘filsafat bahasa biasa’ (ordinary language philosophy).
B. Atomisme Logis
Dalam perkembangan pemikiran filsafat di Iggris, permulaan abad XX, muncullah suatu perkembangan pemikiran yang baru yang oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai suatu perubahan yang radikal atau sebagai suatu ‘revolusi’. Perkembangan baru ini membawa perubahan dalam gaya, arah dan corak pemikirannya.
Pusat dari gerakan pemikiran filsafat yang baru ini adalah di Cambridge Inggris yang dirintis oleh G.E. Moore (1873-1958). Dan sebagai tokoh utamanya yaitu Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgestein (1889-1951).
Bertrand Russell sendiri sebenarnya sebagai seorang penganut empirisme yang mengikuti jejak John Locke dan David Hume, sehingga konsep filosofisnya nampak adanya garis-garis filsafat empirisme. Nama ‘Atomisme logis’ yang dipilih oleh Bertrand Russell menunjukkan adanya pengaruh dari David Hume dalam suatu karyanya yang berjudul ‘An Enguiry Concerning Human Understanding’. Struktur pemikiran atomisme logis diilhami oleh konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia. Menurut Hume semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis(atomic ideas) yang merupakan ide yang terkecil. Hume percaya bahwa filsuf itu hendaknya melaksanakan analisis fisikologis terhadap ide. Dalam kaitan ini Bertrand Russell menolak atomisme fisikologisnya David Hume dan analisis itu bukannya pada aspek fisikologis namun dilakukan terhadap proposisi-proposisi. Atas dasar inilah Bertrand Russell memilih nama atomisme logis dari pada realisme.
Walaupun pemikiran atomisme logis yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dipengaruhi oleh empirisme terutama John Locke dan David Hume, namun dalam kenyataannya tradisi idealispun juga memberikan garis dan warna dalam pemikirannya. Pengaruh pemikiran idealisme tersebut antara lain dari F.H. Bradley dan pemikiran analitis G.E. Moore. F.H. Bredly mempengaruhi bidang formulasi logika proposisi sedangkan G.E. Moore memberikan tekanan pada ciri analisisnya. Demikianlah dalam kenyataannya munculnya pemikiran baru atomisme logis di Inggris tidak dapat dipisahkan dengan para tokoh yang mempengaruhi dan memberikan sumbangan kepada atomisme logis.
C. Pengaruh Idealisme F.H Bradley
Pada awal abad XX aliran yang dominan di inggris adalah Idealisme. Tumbuh suburnya aliran-aliran tersebut merupakan suatu reaksi atas materialsme dan positivism yang merajarela di eropa yang pada waktu itu menguasai filsuf-filsuf generasi sebelum tumbuhnya idealism.
Menurut aliran idealism ini bahwa realitas terdiri atas ide, fikiran-fikiran, akal, jiwa (mind) mdan bukannya benda-benda material dan kekuatan. Materialism mengemukakan bahwa materi adalah real dan mind adalah penomena yang menyertainya maka idealism menyatakan bahwa mind itu yang real dan materi adalah produk sampingan.
D. George Edward Moore
Filsafat analitik pada hakikatnya merupakan aktivitas para filsuf yang menekankan pentingnya analisa terhadap bahasa. Khususnya yang dipergunakan dalam filsafat atau dikenal sebagai bahasa kefilsafatan. Bahasa filsafat semakin membuat orang bingung seperti ungkapan yang dibuat oleh penganut Neo Hegelianisme menjadikan Salah satu filsuf analitik yang bernama G. E. Moore ingin mencoba untuk menganalisa hal tersebut. Kecurigaan Moore ini terhadap filsafat bahasa, didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan orang, lebih-lebih masyarakat awam, tidak mengerti sama sekali tentang pernyataan-pernyataan filsafat yang selama ini dianggap mempunyai arti yang dalam.
Dalam sudut pandang historis, kita sudah bisa meraba dari mana awal datangnya istilah-istilah filsafat yang membingungkan itu. Jika kita mengingat kaum sofis pada masa Sokrates, dengan cara berfilsafatnya yang terkenal dengan silat lidah, mereka tak segan-segan mempermalukan lawan diskusinya dengan jurus memutarbalikkan isi perbincangan sehingga lawan bicaranya menjadi bingung, dan cara berfilsafat seperti itulah yang kemudian digunakan Socrates untuk menyerang balik kaum sofis.
Dalam perkembangan selanjutnya Aristoteles seorang filsuf dan juga ilmuwan, menyusun logika, dan inilah yang akan digunakan sebagai aturan-aturan berfikir yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa dalam filsafat. Logika inilah yang akan digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai absah (valid) atau tidaknya suatu pernyataan. Dan logika inilah yang senantiasa dikait-kaitkan dengan bahasa. Moore berpendapat bahwa para penganut Neo Hegelianisme telah melalaikan aturan berfikir yang menggunakan logika dalam bahasa filsafatnya.
Menurut Moore masalah ini disebabkan karena para filsuf selalu berusaha menjawab pertanyaan yang sebenarnya memang layak untuk dijawab. Sehingga awal mula kebingungan yang terjadi dalam bidang filsafat lebih banyak ditimbulkan oleh kekeliruan didalam merumuskan persoalan. Dan ia melihat kebanyakan karya filsafat itu sesungguhnya tidak lebih hanya semacam godaan untuk menjawab persoalan, yang kemudian menimbulkan persoalan-persoalan lain tanpa henti-hentinya.
Filsuf yang lahir pada tahun 1873 ini memberikan tawaran untuk berhenti mempersulit pemaknaan kata, semakin sulit kata itu dimengerti bukan malah menjadikan kata-kata itu lebih memiliki makna yang dalam, malahan yang terjadi kata-kata yang membingungkan ini akan mengaburkan arti yang sebenarnya. dengan memperbaiki logika dan mengutamakan penggunaan akal sehat atau common sense. ia berusaha untuk mengkritik kebiasaan tersebut karena filsafat itu bukan menjelaskan ataupun penafsiran tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui analisa akal sehat. Dengan analisanya seperti itu maka George Edward Moore menyimpulkan para filsuf Neo Hegelianisme. Berusaha menjawab pertanyaan tanpa mengetahui secara tepat apakah pertanyaan itu memang layak untuk dijawab. Oleh sebab itu sangat menarik jika kita akan mendalami secara spesifik mengenai filsafat analitiknya Moore yang mengutamakan common sense tersebut.
Lahirnya filsafat bahasa ada kaitannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya, terutama Rasionalisme, Empirisme Inggris dan Kritisime Immanuel Kant. Filsafat Analitik sebagai salah satu aliran filsafat yang lahir pada abad XX, memberikan reaksi terhadap aliran Idealisme alias Neo-Hegelianisme di Inggris yang semakin membuat bingung filsafat.
Aliran Idealisme ini muncul dan meluas di Inggris di mana ia lebih bercorak lebih spekulatif-metafisis. Hal ini dianggap ganjal karena berlainan dengan corak pemikiran Inggris yang lebih cenderung kepada empirisme yang cukup segan terhadap metafisis, apakah mungkin pada dasarnya mereka telah bosan dengan ideologi yang telah mereka anut.
Pada awal abad XX iklim pemikiran di Inggris mulai sadar akan kerancuan yang mereka anut. Sehingga mereka mulai mencurigai ungkapan-ungkapan yang di ajarkan oleh kaum Hegelian. Para ahli filsafat inggris mulai menyadari bahwa filsafat yang mereka ajarkan, bukan hanya sulit dipahami, tapi juga jauh dan menyimpang dari akal sehat. Karena itu, para ahli pikir inggris mulai berupaya melepaskan diri dari penjara kebingungan idealisme tersebut. Mereka menulis banyak kritikan dalam upaya mengembalikan pemikiran Inggris ke dalam pemikiran sehat dan berdasarkan akal sehat. Awalnya upaya ini dilakukan George Edward Moore selanjutnya disusul Bertand Russel dan Wittgenstein.
Moore menunjukkan titik kelemahan filsafat Idealisme kaum Hegelian tidak memiliki dasar logika sehingga tidak terfahami oleh akal sehat. Metode analisa bahasanya Moore ini sangat sederhana dia hanya menerapkan analisa bahasanya ini terhadap konsep-konsep etika yang dikenal dengan istilah “Metaethics” yaitu penyelidikan tentang arti yang terkandung dalam istilah yang terdat dalam bidang etika dan akhir-akhir ini konsep “Metaethics” ini beralih nama fungsi menjadi “Metalanguage” yang menjelaskan terhadap konsep atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. sebagai contoh Moore menolak pandangan kaum Hegelianisme yang menyatakan bahwa ”dunia lahiriah itu ada, sebelum kita memiliki suatu pandangan filsafat yang memutuskan bahwa hal tersebut memang ada”. Bagi Moore ungkapan seperti itu sangat membingungkan, kita tahu dan sadar bahwa tanpa filsafatpun dunia lahiriah memang ada, dengan ungkapan yang berbelit-belit itulah yang akan menyebabkan pemaknaan semakin jauh dari common sense.
Sebagaimana dapat kita jumpai pada tulisan Moore dalam karyanya “the Refutation of Idealism” yang dimuat di majalah Mind, dia memberi kritikan sebagai berikut: “Filsafat kaum Hegelian tidak memiliki dasar logika sehingga tidak dapat diterima akal sehat (common sense)”. Sebagian besar filsafat Moore terdiri dari analisa-analisa. Moore mempraktekkan metode analisa dengan ketelitian yang mengagumkan sehingga menimbulkan penjelasan bahwa filsafat tidak lain adalah penjelasan.
Metode analisa filsafatnya Moore, masih dapat kita rasakan saat ini, kita selalu sulit untuk memahami buku-buku khususnya mengenai buku filsafat, dapat kita analisa apakah sebenarnya kata-kata didalam buku tersebut memang tidak menggunakan dasar logika atau terlalu memperindah kata-kata sehingga jauh dari makna yang dimaksudkan akhirnya membingungkan pembaca. Atau kita yang berintrospeksi pemahaman logika kita masih kurang. Menurut kami Moore ingin mengatakan bahwa pertanyaan yang tidak dapat dijawab, tidak usah dijawab karena jika kita memaksa untuk menjawabnya maka akan terjebak dalam jawaban itu sendiri yang akan membingungkan kita sendiri. Jadi tidak perlu menyebutkan suatu pernyataan tentang sesuatu dengan menggunakan bahasa yang terlalu berbelit-belit, bukan menjadikan pemaknaannya semakin dalam, bahkan dihawatirkan akan membingungkan pemahaman itu sendiri, dan bahkan menjadi rancu. Oleh sebab itu baiknya kita gunakan bahasa sehari-hari saja dalam pengungkapan sesuatu agar tidak jauh dari akal sehat.
E. Filsafat Atomisme loogis Bertrand Russell
Pada awalnya, Russell sangat dipengaruhi oleh filsafat Idealisme. Akan tetapi, setelah pertemuannya dengan G E Moore, Russell mulai mempertimbangkan empirisme sebagai bagian dari filsafatnya sendiri.
Russell banyak bekerja sama dengan Whitehead (1861-1947) dalam bidang filsafat matematika. Mereka, bersama Frege, hendak menunjukkan bagaimana matematika dapat diturunkan dari persamaan-persamaan logika.
Nah, di dalam proses tersebut, Russell pun memasuki refleksi filsafat bahasa. Ia hendak ‘memeriksa’ kesahihan bahasa.
Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi tersebut.
Misalnya, Russell berpendapat bahwa kata-kata seperti ‘laki-laki pada umumnya’ dapat menggiring orang ke dalam kebingungan. Seperti ditunjukkan Jones, kalimat ‘laki-laki pada umumnya biasanya mempunyai 2.6 anak’ menunjukkan bahwa kata ‘laki-laki pada umumnya’ haruslah dimengerti sebagai konstruksi logis.
Kata itu bukanlah fakta atomis, melainkan sebuah pernyataan matematis yang rumit yang mengacu pada jumlah tertentu dari laki-laki. Russell juga berpendapat bahwa kata-kata seperti “negara” dan “opini publik” juga merupakan sebuah konstruksi logis, dan para filsuf melakukan kesalahan, ketika mereka memperlakukan konsep-konsep ini seolah konsep-konsep ini sungguh ada.
1. Prinsif Kesesuaian (Isomorfi)
Bertrand Russell menganalisa hakikat realitas dunia melalui analisis logis, karena hal ini berdasarkan pada kebenaran apriori yang universal yang bersumber pada rasio manusia. Adapun sintesa logis merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan melalui pengetahuan empiris (pengalaman inderawi) yang bersifat aposteriori.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan pernyataan yang tersusun menjadi suatu sistem yang menunjuk kepada entitas atau unsur pada realitas dunia. Russell menegaskan bahwa terdapat kesesuaian bentuk atau struktur antara bahasa dengan dunia. Dunia merupakan suatu keseluruhan fakta, adapun fakta terungkap melalui bahas, sehingga terdapat suatu kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan dengan struktur realitas dunia.
Menurut Bertrand Russell , analisis bahasa yang benar akan menghasilkan suatu pengetahuan yang benar pula tentang hakikat realitas dunia. Formulasi ligis bahasa yang memiliki kesesuaian struktur dengan realitas dunia ini dikembangkan lebih lanjut dalam pengertian proposisi yang tersusun atas proposisi atomis menjadi proposisi yang bersifat majemuk atau kompleks.
2. Stuktur Proposisi
Hakikat keseluruhan fakta-fakta yang merupakan dunia tersebut memiliki struktur logis dan oleb karena berkesesuaian dengan bahasa maka struktur bahasa yang melukiskan dunia juga memiliki stuktur logika. Oleh karna itu hakikat fakta-fakta tadi terlukiskan melalui proposisi. Fakta-fakta itu sendiri sebena-nya tidak dapat bersifat benar atau salah, yang dapat diberikan kualifikasi benar atau salah adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta.
Dengan perkataan lain proposisi merupakan simbol dan bukan merupakan bagian dunia. Proposisi memiliki struktur yang terdiri atas sejumlah kata, dan kata-kata itu menunjuk kepada suatu data inderawi (sense data) dan 'universalia' (universals) yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi. Contoh dataa inderawi misalnya 'putih' dan contoh universalia misalnya 'berdiri di samping'. Data inderawi ditunjukkan dengan `logical proper name' (nama diri yang logis) misalnya `ini' dan `itu'. Proposisi menurut bentuk yang paling sederhana misalnya "inilah putih" ( x adalah y) atau "ini berdiri di damping itu" (xRy). Oleh karna proposisi tersebut merupakan bentuk yang paling sederhana (yang terkecil) maka proposisi tersebut disebut proposisi atomic, karma mengungkapkan fakta yang paling sederhana (istilah atomis sepadan dengan susunan bends-benda yang terdiri atas bagian terkecil yang disebut atom) dan karana proposisi pada hakikatnya merupakan simbol bahasa yang mengungkapknn fakta.
Masing-masing proposisi atomis itu memiliki arti atau makna scndiri-sendiri yang terpisah satu dengan lainnya. Untuk membentuk suatu proposisi, majemuk maka proposisi-proposisi atomis tersebut dirangkaikan dengan kata-kata penghubung seperti “dan”, “atau” serta kata penghubung lainnya untuk menjelaskan struktur proposisi atomis dan proposisi majemuk, contoh sebagai berikut "Sokrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana" Ini merupakan suatu proposisi majemuk yang terdiri atas dua fakta atomis yaitu (1) "Sokrates adalah warga Athena", dan (2) "Sokrates adalah seorang yang bijaksana" Kedua proposisi tersebut membentuk suatu proposisi yang majemuk setelah dihubungkan dengan kata `yang’.
Masing-masing proposisi atomis itu memiliki arti atau makna scndiri-sendiri yang terpisah satu dengan lainnya. Untuk membentuk suatu proposisi, majemuk maka proposisi-proposisi atomis tersebut dirangkaikan dengan kata-kata penghubung seperti “dan”, “atau” serta kata penghubung lainnya untuk menjelaskan struktur proposisi atomis dan proposisi majemuk, contoh sebagai berikut "Sokrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana" Ini merupakan suatu proposisi majemuk yang terdiri atas dua fakta atomis yaitu (1) "Sokrates adalah warga Athena", dan (2) "Sokrates adalah seorang yang bijaksana" Kedua proposisi tersebut membentuk suatu proposisi yang majemuk setelah dihubungkan dengan kata `yang’.
F. Filsafat Atomisme Logis L. Wittgenstain
Atomisme logis yang berpusat di Cambridge, Inggris dirintis oleh ‘tiga serangkai’ G.E. Moore (1873-1958), Bertrand Russell (1872-1979), dan Ludwid Wittgenstein (1889-1951). Walaupun pemikiran atomisme logis sebenarnya telah dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”, namun nama dari aliran ‘atomisme logis’ ini pertama kali dikemukakan oleh Bertrand Russell dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam “Contemporary British Philosophy” yang terbit pada tahun 1924. Nama atomisme logis yang digunakan oleh Bertrand Russell menunjukkan pengaruh dari David Hume dalam karyanya “An Enguiry Concerning Human Understanding”.
Pemikiran filsafat di Inggris sebelum Bertrand Russell dikuasasi oleh tradisi idealisme sehingga dapat pula dikatakan bahwa filsafat atomisme yang dikembangkan oleh Bertrand Russell –seorang penganut empirisme yang pikirannya sangat dipengaruhi oleh John Lock dan David Hume– merupakan reaksi keras terhadap aliran idealisme. Bagi kalangan empirisme, seperti David Hume misalnya, mengungkapkan bahwa semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis (atomic ideas) yang merupakan ide yang sederhana. Menurut Hume, seorang filsuf itu hendaknya melaksanakan analisis psikologi terhadap ide. Dari sinilah bermula perbedaan pemikiran antara Bertrand Russell dan David Hume. Menurut Bertrand Russell, analisis itu bukan pada aspek psikologis namun dilakuna terhdap proposisi-proposisi.
Pemikiran filsafat di Inggris sebelum Bertrand Russell dikuasasi oleh tradisi idealisme sehingga dapat pula dikatakan bahwa filsafat atomisme yang dikembangkan oleh Bertrand Russell –seorang penganut empirisme yang pikirannya sangat dipengaruhi oleh John Lock dan David Hume– merupakan reaksi keras terhadap aliran idealisme. Bagi kalangan empirisme, seperti David Hume misalnya, mengungkapkan bahwa semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis (atomic ideas) yang merupakan ide yang sederhana. Menurut Hume, seorang filsuf itu hendaknya melaksanakan analisis psikologi terhadap ide. Dari sinilah bermula perbedaan pemikiran antara Bertrand Russell dan David Hume. Menurut Bertrand Russell, analisis itu bukan pada aspek psikologis namun dilakuna terhdap proposisi-proposisi.
Perkembangan pemikiran atomisme logis ini juga dipengruhi oleh F.H. Bradley dalam hubungannya dengan formulasi logika proposisi, juga oleh G. E. Moore yang menekankan pada ciri analisisnya. Bradley mengungkap kelemahan empirisme yang bersifat psikologis yang hanya bekerja dengan ide-ide dan bukan berdasarkan pada suatu putusan (judgements) atau keterangan-ketarangan (propositions). Dasar inilang yang kemudian diangkat oleh Russell demi prinsip-prinsip analisisnya yaitu yang berdasarkan pada suatu putusan. Sedangkan Moore memberikan analisis proposisi filsafat berdasarkan akal sehat, bagi Moore, bahasa sehari-hari (alamiah) telah memadai untuk menganalisis persoalan kefilsafatan. Inilah yang menyebabkan Bertrand Russell mencari kebenaran melalui penggunaan analisis dan sintesa logis. Hal ini mengandung pengertian bahwa untuk mendapatkan suatu kebenaran dilakukan dengan mengajukan alasan-alasan yang bersifat apriori yang tepat, selanjutnya diikuti dengan pengamatan empiris melalui indera (aposteriori). Bertrand Russell ingin membangun bahasa yang mampu mengungkap realitas, yang berdasarkan formulasi logika, yakni bahasa yang mampu mengungkapkan suatu realitas fakta yang bersifat akurat.
1. Peranan Logika Bahasa
filsafat bertujuan untuk penjelasan logisdari pikiran. Sebab filsafat sebenarnya bukanlah merupakan suatu kumpulan ajaran-ajarang ataudoktrin-doktrin, melainkan suatu kegiatan atau aktivitas. Dan sebuah karya filsafat pada pokoknya terdiri atas penjelasan-penjelasan serta uraian-uraian. Oleh karena itu, dalam karyatersebut, ia menuangkan gagasan tentang peranan logika bahasa, hal ini tak lain bertujuan untuk menghilangkan problem-problem yang selama ini terjadi di filsafat. Hal itu terjadi, dikarenakan para tokoh filsafat terdahulu tidak mengerti logika bahasa. Atas persoalan tersebut, sehinggamembuat kekaburan bahasa filsafat yang tidak menggunakan tolak ukur yang jelas sehinggadapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna atau tidak.
2. Pemikiran Filosofis Tractatus
Dalam pemikirannya, ia menyusun suatu kerangka bahasa yang memenuhui struktur logika bagi uraian-uraian dan pemecahan problema-problema filosofis. Maka dalam pemikirankarya yang pertama, ia mempunyai konsep pertanyaan-pertanyaan yang secara logis memilikihubungan. Ada pun pertanyaan-pertanyaan tersebuat adalah:
a. dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri atas fakta-fakta, dan akhinyaterbagi menjadi kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik (khas)
b. setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis, menjadi fungsikebernaran yang tertentu secara unik (khas) dari sebuah proposisi elementer, yaitu setiap proposisi mempunyai analisi akhir Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya diperjelas kembali secara logis, adapun pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
Pernyataan yang pertama
Dunia itu adalah semua hal yang adalah demikian(The world is all that is the case). Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta, bukan dari benda-benda.(The world is the totality of fact not of thing ). Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta (kenyataan-kenyataan(The world devides into facts).
Pernyataan yang kedua
Apa yang merupakankenyataan yang demikian itu, sebuah fakta adalah keberadaansuatu peristiwa.(What is the case, a fact is the existence of states of affairs).
Menganai kata untuk fakta itu sendiri, Wittgenstein mengukapkan, bahwa fakta adalahsuatu peristiwa atau suatu keadaan dan suatu peristiwa itu adalah kombinasi dari benda-bendaatau objek-objek bagaimana hal itu berada di dunia, atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia,namun objek-objek itu merupakan subtansi dunia.Dengan kata lain, bahwa sebuah fakta itu adalah suatu keberadaan peristiwa, yaitu bagimana objek-objek itu memiliki interrelasi, hubungan kausalitas, kualitas, aksi, kuantitas,ruang, waktu dan keadaan. Sebagai salah satu contoh dari ungkapannya berupa ruang kuliah,ruang kuliah itu bukanlah hanya objek-objek saja seperti empat dinding, dua pintu, sepuluh jendela, dan plavon, melainkan suatu peristiwa bagimana kedudukan pintu itu di antara dinding,letak jendela di depan pintu pertama, enam jendela terletak di sebelah kiri, dan empat jendelaterletak di sebelah kanan.Maka dalam hal ini, ia mencoba menjelaskan bahwa sebuah dunia yang teridiri dari atasfakta-fakta dan dapat dijelaskan dalam arti hubungan antar satu dengan yang lainnnya, dan duniaitu merupakan keseluruhan dari fakta. Dan totalitas fakta itu sangat kompleks dan terdiri dari atasfakta-fakta yang kurang kompleks lagi, demikian seterusnya sehingga kita kepada fakta-faktayang sudah tidak dapat diredusir atau dikurangi lagi. Fakta-fakta ini adalah fakta yang terkecilsehingga disebut sebagai fakta atomis.
3. Struktur Logika Bahasa
Dan untuk selanjutnya, Wittgensten mengkonsep tentang logika bahasa untuk mengukapkan realitas dunia. Untuk hal itu ia kembali menguraikan dengan pertanyaan- pertanyaan, sebagaimana ia mempertanyakan mengenai fakta itu sendiri. Dalam pertanyaan- pertanyaan mengenai struktur bahasa sendiri berupa:
1. Sebuah gambaran logis dari suatu kenyataan itu adalah sebuah pikiran. Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati oleh indra.
2. Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran dapat diungkapkan sedemikian rupa sehinggaunsur-unsur dari tanda proposisi berkesesuaian dengan objek dari pikiran. Sebuah proposisi hanya mempunyai satu analisis yang lengkap.
3. Proposisi yang mempunyai makna adalah proposisi yang berhubungan dengan sebuahnama, dan nama itu bermakna manakala dalam hubungan dengan proposisi.
4. sebuah pikiran adalah sebuah proposisi yang bermakna.
5. Jumlah keseluruhan (totalitas) dari proposisi itu adalah bahasa.4.01. Sebuah proposisi itu adalah suatu gambaran realitas (kenyataan). Sebuah proposisi ituadalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita banyangk.
Dan pada akhirnya suatu proposisi sampai pada tahapan paling dasar, yang mana proposisi itu sampai pada tahap tidak dapat dianalisi lagi, dan hal ini menjadi dasar proposisi.Dan untuk menganalisis suatu proposisi hingga sampai tahapan paling dasar, sebagaimanafakta atomis, yakni sebuah fakta yang tidak terdiri atas fakta-fakta lebih lanjut dan lebihasasi. Bagian-bagian dari proposisi sebagai bagian terakhir. (bagian terkecil).
Wittegenstein kemudian berpendapat bahwa setiap proposisi itu harus dapat dianalisismenjadi proposisi dasar, karena masuk akal bilamana kita mengagap bahwa hanya dasarlahyang bebas dari segala macam makna ganda dari segala kemungkinan salah paham atau salah arti.
Sebab proposisi dasar adalah sebuah bangunan akhir dari bahasa karena jumlahkeseluruhan proposisi adalah bahasa. Proposisi dasar suatu proposisi yang seluruhnyaterdiri atas nama-nama. Nama dalam pengertian ini memiliki pengertian teknis dantidak digunakan dalam arti biasa, seperti nama orang atau nama sesuatu. Melainkan adalahsebuah tanda pertama (primitif), semisal nama “Sokrates” bukanlah nama dalam pengertian teknis, karena Sokrates dapat didefinisikan sebagai seorang laki-laki, seorangfilsuf Yunani yang hidup di Athena dan lain sebagainya. Dan nama ini bukanlah nama primitif. Nama primitif sendiri, Wittgenstein mencontohkan, “X”, “Y”, merah, biru, hijau. dengan kata lain sebuah proposisi dasar membenarkan suatu fakta-fakta karena sebuah faktakeberadaan suatu peristiwa.
Dengan demikian Wittgenstein dalam mengukapkan realitas dunia dirumuskan dalamsuatu proposisi-proposisi sehingga dengan demikian terdapat suatu kesesuaian logis antarastruktur bahasa dengan struktur realitas dunia.
4. Teori Gambar ( Picture Theory)
Dalam teori gambarnya Wittgeinsten, menurut Von Wirght, salah seorang sahabatnya, iamengatakan, bahwa fungsi gambar terletak pada kesesuan antara unsur-unsur gambar denganunsur-unsur sesuatu dalam realitas.
Mengenai realitas dalampemikiran Wettgeinstein dalammengukapkan realitas dunia terumuskan dalam suatu proposisi sehingga dengan demikianterdapat kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Oleh karenarealitas terungkap oleh bahasa maka bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia.Mengenai hal ini, Wittgenstein mengukapan, bahwa: “Sebuah proposisi adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia. Sebuah proposisi ituadalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita banyangkan”.“Proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia, maka jika saya memahami proposisi itu berarti saya memahami keadaan suatu peristiwa secara factual (fakta) yangdihadirkan melalui sesuatu proposisi tersebut.
Demikian juga dengan mudah saya dapatmemahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi suatu pengertian yang terkandung didalamnya.”
Maka dalam gambaran tersebut sangat ditekankan oleh Wittgenstein sehingga kita dapatmembalik arti kiasannya (analogi) dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi sepertisebuah gambar karena ada hubungan kesesuaian antara unsur-unsur gambar itu dengan duniafakta. Cara yang demikian dilakukan dengan menggambarkan kemungkinan mengenai keadaanfactual suatu bentuk peristiwa.Mengenai unsur-unsur gambar sendiri adalah sarana dalam bahasa, sebagaimana unsur-unsur bahasa misalnya kata, frase, klusa maupun kalimat. Adapun unsur-unsur realitas yaitusuatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Maka terdapat dua unsur utama yang mendukung teori gambar tersebut, yaitu:
1. Proposisi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat.
2. dan fakta yang ada dalam realitas.
Untuk jenis propisisi yang paling sederhana disebut proposisi elementer yang merupakan penjelasan suatu bentuk keberadaan suatu peristiwa. Sedangkan untuk keseluruhan proposisielemter tersebut merupakan suatu bayangan seperangkat benda atau hubungan antara benda didunia., dan banyan-banyang itu kemudian menggiring benda atau hubungan antar benda itumenjadi semacam gambar timbul atau relief.
Oleh karena proposisi merupakan suatu gambaran keberadaan suatu peristiwa, makakeberadaan suatu peristiwa itu tidak dapat benar atau salah, adapun proposisi sebagai saranamerupakan suatu ungkapan bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa kepada kita itulah yangdapat dikenakan sebagai kualifikasi benar atau salah. Atas dasar tersebut, maka sebuah proposisi memiliki dua macam kutub yaitu suatu proposisi mengandung kebenaran jikalau berkesesuaian dengan suatu keberadan peristiwa, dansebaliknya sebuah proposisi mengandung suatu kesalahan manakala tidak berkesesuaian dengankeberadaan atau suatu peristiwa.
5. Tipe-tipe Kta (Words Typy)
Dalam pembahasan mengenainya, Wittgenstein menyajikan pembahasan tersebut pada buku pertama lalu melanjutkan pada buku yang kedua. Terlepas hal tersebut, pada tipe-tipe kata tak lain bertujuan untuk menerapkan menerapkan metode analisis bahasa.
Pada tipe-tipe kata ini, Wittgenstein melakukan perbedaan pengertian konsep nyata, yaitu tipe kata yang termasuk memiliki acuan kongkrit seperti: meja, kursi, mobil, tongkat, bola dna lain sabagainya. Keduatipe kata yang termasuk konsep formal, dan hal ini menurutnya bukanlah merupakan suatukonsep.
Hal ini dikarenakan masuk dalam dalam pengertian variable, yaitu yang harus diisi olehkonsep nyata.Dalam konsep formal tersebut misalnya, objek, kompleks, fakta, fungsi, angka, dan ada.Metode untuk untuk menentukan konsep formal yang seakan-akan merupakan suatu konsepnyata hal itu akan menimbulkan kekacauan. Dan hal ini juga pernah terjadi pada kekacauan yang diakibatkan oleh para filosof dalam penggunaan bahasa, yakni mencapuradukkan pemakaian konsep nyata dengna konsep formal.
6. Pandangan Wittgenstain Tentang Metafisika
Wittgenstein memandang pada metafisika. Sebelum membahastentang pandangannya terhadap metafisika, terlebih dahulu pada tahap yang pernah diungkapkan, yakni mengenai proposisi.
Dalam pandangannya terhadap proposisi bahwa proposisi yang bermakna adalah proposisi yang menggambarkan realitas dunia yang memiliki struktur logis. Sehingga struktur dunia terlukiskan dalam struktur logis bahasa dan proposisi yang melukiskansuatu realitas dunia inilah yang merupakan suatu proposisi yang sejati.Selain itu, terdapat proposisi-proposisi logika yaitu proposisi-proposisi yang mendasarkan pada prinsip logis yang yang kebenarannya bersifat tautologies-tautologis.
Proposisilogika itu bermakna akan tetapi tidak menggambarkan suatu realitas dunia karena tidak menggambarkan suatu keberadaan peristiwa dan kebenaran bersifat pasti.Maka dari pandangan tentang teori gambar berimbas pada pad penolakan terhadap proposisi- proposisi metafisis.
Hal tersebut dikarenakan proposisi tersebut tidak bermakna.Ketidakbermaknaannya disebabkan atas teorinya bahwa proposisi tersebut tidak mengukapkanapa-apa atau dengan kata lain bersifat “omong kosong”.
Dan tentu saja penolakan proposisi metafisika menurut atas nama “logika bahasa”
Menurutnya filsafat tidak merupakan suatu ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafatadalah menjelaskan kepada orang apa yang dapat dikatakan. pada akhirnya, ia memandang bahwa beberapa aspek yang “mitis”. Antara hal-hal yang melampui batas-batas bahasadisebutnya subyek, kematian, Allah, dan bahasa sendiri.
Dan untuk mempertegas mengenai hal tersebut dapat terlihat Hal ini dapat terlihat dalam pandangannya, antara lain:
1. Karena bahasa merupakan gambar dunia, subyek yang menggunakan bahasa, tidak termasuk dunia. Seperti mata kita dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian jugasubjek yang menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan pada dirinya sendiri.
2. Tidak mungkin juga berbicara tentang kematian sendiri, karena kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan antara kejadian-kejadian lain.Kematian kita seakan-akan memagari dunia kita, tetapi tidak termasuk di dalamnya.Kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak dapat dibicarakan sebagai suatuunsur dunia.
3. Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai sesuatu dalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri dalam dunia. Wittgenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu kejadian dalam dunia dapat dipandang sebagai “campur tang “ Allah. Sebab,kalau demikian, Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya kita tidak dapat bicara tentang Allah dengan cara yang bermakna.
4. Yang paling paradoksal ialah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak bisa bicaratentang dirinya sendiri. Bahasa mencerminkan dunia, tetapi suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri. Karena itu Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yangmengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan di dalamnya tidak bermakna.Melalui bahasa si pembaca dihantark ke suatu titik di mana dia mengerti bahwa bahasayang dihantarkannya tidak bermakna. Ia seakan-akan harus membuang tangga setelahmemanjat dengannya, karena hanya sebagai alat belaka.
G. Positivisme Logis
Pada tahun 1922 berkembanglah suatu gerakan filsafat baru yang dirintis oleh seorang fisikus sekaligus seorang filsuf bernama Moritz Schlik (1882-1936). Gerakan filsafat baru ini berpusat di Wina, yaitu suatu kota yang sekaligus sebagai pusat kelompok ilmuwan yang terkenal dengan nama Vienna Circle atau dikenal juga mazhab Wina (Kring Wina). Anggota-anggota lingkungan Wina ini antara lain: Kurt Goedel, seorang ahli matematika, Hans Hahn juga seorang ahli matematika, Karl Menger ahli matematika, Philip Frank seorang ahli fisika, Rudolf Carnap ahli matematika dan fisika, serta beberapa mahasiswa antara lain, Friederich Wismann dan Herbert Feigl (Bertens, 1981: 166).
Aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Ludwig Wittgenstein, walaupun pengaruhnya bersifat langsung dan sebenarnya Wittgenstein sendiri tidak ikut aktif dalam kelompok Wina tersebut. Melalui suatu karangan kecil yang disusun oleh Neurath, Hans Hahn dan Rudolf Carnap mengeluarkan suatu deklarasi ilmiah dalam suatu Konggres Internasional pertama dengan judul Wissenschaftliche Weltauffasung: der Wiener Kreis(pandangan dunia yang bersifat alamiah: Lingkungan Wina). Pandangan ini menguraikan tentang pendirian filosofis kelompok lingkungan Wina yang sangat diwarnai oleh ilmu-ilmu pengetahuan positif. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi empirisme yang melanjutkan garis tegas pada leluhurnya yaitu David Hume, John Stuart Mill dan Ernest Mach (Bertens, 1981: 169). Berdasarkan nama yang dipopulerkannya aliran ini juga mendapat positivisme. Beberapa kali diusulkan nama empirisme logis dan oleh karena nama tersebut lazim digunakan oleh aliran filsafat yang berkembang di Amerika, Inggris dan Skandinavia. Oleh karena itu aliran tersebut disepakati dengan nama ‘neopositivisme’ atau populer dikenal dengan nama ‘positivisme logis’.
Positivisme logis menerima pandangan-pandangan filosofis dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisisnya namun demikian positivisme logis menolak metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan:
Pertama: bertujuan untuk menghilangkan metafisika. Ungakapan-ungkapan metafisis itu ditolak oleh kaum positivisme logis bukan karena bersifat emotive, melainkan pada dirinya sendiri tak dapat ditolak, namun karena berpura-pura sebagai ungkapan atau hal yang bersifat kognotif. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan metafisis itu pada hakikatnya tidak menyatakan apa-apa sehingga bersifat ‘nirarti’ atau tidak bermakna (Poerwowidagdo: 52).
Analisis logis dengan demikian memberi keputusan dan menyatakan nirarti pada setiap apa yang disebut pengetahuan yang berpura-pura melampaui batas-batas pengalaman. Keputusan ini pertama-tama mengenai pada metafisika yang spekulatif, apa yang dimaksud dengan pengetahuan yang berasal dari pemikiran murni, atau oleh intuisi murni yang berpura-pura dapat dilakukan tanpa pengalaman (Ayer, 1959 : 60).
Penekanan pada pengalaman menunjukkan aspek empirisme yang kuat dalam positivisme logis. Oleh karena itulah maka positivisme sering disebut empirisme logis. Penolakan terhadap metafisika oleh positivisme logis tidak boleh diartikan bahwa positivisme logis itu menolak atau mengingkari kebenaran dunia luar atau dunia yang transenden, melainkan bahwa pernyataan-pernyataan metafisika itu nirarti tidaklah berarti suatu pengingkaran atasnya.
Jadi kaum positivisme logis atau empirisme logis itu tidak menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu salah, akan tetapi bahwa apa yang dikatakan kaum metafisika itu tidak menyatakan sesuatu sama sekali. Positivisme logis tidak melawan metafisika, hanya dinyatakannya bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu tidak dapat dipahami, atau tidak menyatakan sesuatu sama sekali (Poerwowidagdo, 55).
Kedua, positivisme logis menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Sebab dengan analisis filsafati kita tak dapat menentukan apakah sesuatu itu nyata (real), tetapi hanya apa artinya apabila kita menyatakan bahwa sesuatu itu nyata. Demikian juga apakah hal itu memang demikian atau tidak, hal itu hanya dapat diputuskan melalui metode umumnya dalam kehidupan sehari-hari dan dari ilmu pengetahuan, yaitu melalui pengalaman. Jadi menurut positivisme logis tugas filsafat itu memperhatikan analisis-analisis dan penjelasan tentang pernyataan-pernyataan dan proposisi-proposisi terutama dari ilmu pengetahuan.
H. Positivisme Logis Alfred Yules Ayer
Positivisme logis merupakan salah satu aliran baru dalam perkembangan filsafat di abad 20-an. Persamaan positivisme kalsik dan positivisme logis ialah keduanya sama-sama menjungjung tinggi sains dan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan yang objektif-rasional. Sedangkan perbedaannya adalah apabila positivisme klasik lebih menaruh perhatian pada bidang pengaturan social masyarakat secara ilmiah dan adanya gerak kemajuan evolutif dalam alam, maka positivisme logis lebih memfokuskan diri pada logika dan bahasa sains. Filsafat menurut positivisme logis harus bertindak sebagai hamba sains. Fungsi pokok filsafat bagi positivisme logis ialah melakukan kajian sains tentang metodologi sains dan melakukan klarifikasi sehingga kerancuan dalam penggunaan bahasa dapat dihindarkan.
Dalam positivisme logis perhatian yang paling utama difokuskan pada masalah adanya garis demarkasi (garis batas) antara kalimat yang bermakna (sense) dan yang tidak bermakna (non sense). Para filsuf positivisme logis tidak memperhatikan kebenaran suatu ucapan, akan tetapi lebih mengutamakan makna dari ucapan-ucapan. Lalu pertanyaannya ialah bagaimana kita bisa membedakan ucapan yang bermakna dan ucapan yang tidak bermakna? Dalam menjawab pertanyaan ini, kaum positivisme logis mengemukakan pembelaannya dengan berargument bahwa pernyataan yang sungguh-sungguh bermakna adalah pernyataan yang termasuk ke dalam salah satu dari dua kategori berikut; pertama, suatu kalimat bisa jadi benar atau salah berdasarkan istilah-istilah yang dipergunakan. Tidak perlu adanya verifikasi, kita hanya membutuhkan analisis saja dengan berdasarkan relitas inderawi. Misalnya, jika aku mengatakan “Laki-laki yang tinggal di sebelah rumahku adalah “Bujangan” dengan seorang istri dan dua anak”. Kalimat ini bermakna tapi tidak benar (salah). Kita tahu bahwa sesungguhnya kata “bujangan” hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang belum menikah. Samahalnya dengan matematika dan logika, kedua ilmu tersebut hanya membutuhkan analisis sebagai timbangan bahwa suatu pernyataan logika dan matematika bisa bermakna. Contohnya, “segitiga adalah gambar yang dibentuk oleh tiga garis lurus yang saling memotong”. Kategori yang kedua ialah pernyataan-pernyataan yang kebenaran atau kesalahannya tidak bisa ditentukan dengan menganalisis, tetapi hanya bisa dilakukan dengan mengecek fakta-fakta. Contohnya, jika aku mengatakan “Terdapat empat belas gadis berambut pirang di desaku”, contoh ini bisa jadi benar, bisa juga jadi salah. Satu-satunya cara untuk mengatahui benarnya pernyataan tersebut adalah melalui verifikasi.
A.J Ayer sebagai seorang tokoh positivisme logis, menurutnya hanya bermakna suatu ucapan yang berupakanobservation-statement artinya pernyataan yang menyangkut realitas inderawi; dengan kata lain, suatu ucapan yang dilakukan berdasarkan observasi, atau sekurang-kurangnya berhubungan dengan observasi. Bahwa suatu pernyataan akan bermakna apabila pernyataan tersebut sesuai dengan realitas inderawi. Untuk menguatkan pandangan ini, maka Ayer mengemukakan adanya prinsip verifikasi sebagai tolok ukurnya. Dengan begitu akan diketahui bahwa pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diverifikasi dan dianalisis secara logika adalah pernyataan yang tidak bermakna. Seperti dalam buku Language, Truth and Logic, ia mengatakan: “Sebagian besar perbincangan ynag dilakukan oleh para filsuf sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya”. Kita tahu bahwa para filsuf sebagian banyak memperbincangkan persoalan metafisika, demikian juga dengan munculnya idealisme di Inggris pada abad modern. Menurut Ayer, itu semua merupakan hal yang tidak bermakna sama sekali karena hal-hal tersebut (terutama berkaitan dengan metafisika) tidak bisa dibuktikan secara empiris. Pandangan empiristic telah mempengaruhi Ayer, hal ini terlihat pada pengajuan prinsip verifikasi yang dikemukakan olehnya. Jadi common sense adalah acuan utama dalam positivisme logis Alfred Jules Ayer.
Ayer juga memberikan batas-batas pada prinsip verifikasi yang diberlakukannya sebagai tolak ukur. Baginya suatu pernyataan tidak hanya bisa dibuktikan secara langsung, akan tetapi ada cara pula secara tidak langsung untuk memverifikasi pernyataan, yakni kami contohkan dengan fakta sejarah, bahwa fakta sejarah tidak bisa kita verifikasi secara langsung, akan tetapi kita bisa mengetahui fakta sejarah melalui orang yang bersaksi dan jujur atas apa yang disaksikannya. Jadi peran orang lain sangat berpengaruh dalam penentuan pernyataan atas suatu kejadian yang kita tidak tahu. Misalnya, “Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945″, jelas disini kita sadar bahwa kita tidak hidup pada zaman itu. Maka kita membutuhkan kesaksian banyak orang mengenai hari kemerdekaan Indonesia.
Mengenai hal yang berhubungan dengan metafisika, theologi, etika, dan estetika, kaum positivisme logis termasuk A.J Ayer menganggap itu semua tidak bermakna. Hal ini dikarenakan pandangannya yang bersifat empiristic yang mengacu hanya pada common sense (akal sehat) telah menjadikannya anti terhadap sesuatu yang bersifat non-sense. Semua itu hanya mitos belaka yang muncul dari emosi manusia. Hal ini dikarenakan metafisika, etika, teologi dan estetika tidak bisa diobeservasi untuk diverifikasi lebih lanjut. Oleh karena itu, menurut Ayer pernyataan yang bersifat abstrak tersebut tidak bermakna, dan itu semua hanya omong kosong belaka.
Namun berkenaan dengan pandangan positivisme logis yang mengutamakan adanya verifikasi sebagai tolak ukur, terdapat beberapa kelemahan pada prinsip verifikasi ; pertama, terlihat adanya semacam paksaan untuk memberlakukan tolak ukur secara empiristic, sehingga sesuatu yang dianggap metafisis dikesampingkan bahkan bisa tidak diakui. Kedua, penerapan prinsip verifikasi ke dalam teknik analisis bahasa ternyata mengandung banyak kesukaran. Jikalau para penganut positivisme logis menganggap sesuatu yang bersifat metafisis tidak bermakna dengan melalui verifikasi sebagai tolok ukurnya, maka para filsuf pun berhak mencurigai para filsuf positivisme logis dengan menanyakan, apakah prinsip verifikasi itu sendiri dapat dikategorikan sebagai pernyataan yang bermakna? Bagaimana cara melakukan verifikasi terhadap prinsip verifikasi itu sendiri? Hal ini tidak pernah dipikirkan oleh para penganut positivisme logis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prinsip verifikasi itu sendiri sesungguhnya bersifat metafisik. Ketiga, para theolog menolak penerapan prinsip verifikasi ke dalam bahasa theolog. Sebab menurut Karl Bath, seorang theolog ternama, bahwa pernyataan theologies bersifat otonom. Keempat, tolok ukur yang dikenakan prinsip verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan dalam bidang etika dengan alasan pernyataan semacam itu hanya merupakan ungkapan rasa (ekspresi) semata, pada dasarnya dapat dikembalikan kepada fungsi bahasa. Fungsi bahasa tidak semata-mata kognitif, tetapi juga emotif, imperative, bahkan seremonial.
I. Filasafat bahasa biasa
Berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik sebagai reaksi ketidakpuasan dunia pemikiran filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme terutama kalangan teolog, yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika. Para tokoh filsafat analitika bahasa menyadari bahwa dalam kenyataannya banyak problem-problem filsafat dapat diselesaikan melalui analisis bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan pusat perhatian kalangan filsuf analitika. Ungkapan-ungkapan metafisikamendapat perhatian yang serius bahkan pada aliran atomisme logis dan positivisme logis ingin membersihkan filsafat dari metafisika. Untuk itu mereka memilih proyek yang spektakuler dan sangat ambisius yaitu ingin mewujudkan suatu bahasa yang ideal, yaitu bahasa yang memiliki struktur logika yang sesuai dengan struktur logika dari realitas dunia. Dalam masalah ini Wittgenstein dalam karynya Tractatus Logico Philosophicus merupakan karya yang besar yang menekankan tentang logika bahasa. Para tokoh filsafat analitika bahasa memusatkan perhatian pada aspek semantik bahasa, sehingga melalui kategori-kategori logika mereka menentukan bahasa yang bermakna atau bahasa yang tidak bermakna. Mereka dengan keyakinan yang kuat menyatakan bahwa berdasarkan logika bahasa ungkapan-ungkapan metafisika dari kalangan penganut idealisme terutama bidang teologi, etika, aksiologi, estetika dan terutama ontologi pada hakikatnya tidak bermakna. Ungkapan-ungkapan metafisika itu sebenarnya tidak mengungkapkan realitas empirik, oleh karena itu ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya adalah nirarti atau sama sekali tidak bermakna.
Reaksi yang sangat radikal dari kalangan atomisme logis dan prinsip verifikasi positivisme logis tersebut memang sempat menggemparkan dunia pemikiran filsafat di Eropa terutama di Inggris, bahkan Ludwig Wittgenstein sendiri mendapat gelar doktornya karena karyanya Tractatus Logico Philosophicus. Begitu juga gurunya Bertrand Russell yang dengan tegas menyatakan bahwa ungkapan-ungkapan bahasa metafisika pada hakikatnya adalah omong kosong belaka, karena sama sekali tidak melukiskan suatu realitas dunia, dan tidak melukiskan suatu kebenaran peristiwa secara empiris. Namun dengan dasar-dasar yang kuat para tokoh filsafat analitik yang mendasarkan aspek semantik bahasa melalui struktur logika, mereka lupa bahwa aspek semantik sendiri memiliki sifat metafisis karena tidak dapat diamati dengan dengan indra manusia.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam filsafat atomisme logis sendiri terkandung suatu prinsip metafisika. Hal ini sebagaimana diakui sendiri oleh Russell yaitu bahwa teori atomisme logis ingin menjelaskan suatu struktur hakiki bahasa yang sepadan dengan dunia, atau dengan lain perkataan teori ini ingin mengungkapkan bahwa bagaimana akhirnya dunia diasalkan kepada fakta-fakta atomis. Hal yang demikian ini jelas merupakan suatu pendapat yang bersifat metafisis. Bahkan sebagaimana kita ketahui bahwa pemikiran Russell itu sama sekali tidak berdasarkan pada data-data empiris, melainkan berasal dari suatu analisis melalui bahasa. Dengan demikian nampak jelas bagi kita bahwa metafisika yang terkandung dalam teori Russell itu merupakan suatu pluralisme radikal, dalam sejarah filsafat analitika bahasa.
Begitu juga pemikiran Wittgenstein melalui Tractatus yang mendasarkan pada aspek semantik bahasa dengan menekankan struktur logika dalam kenyataannya juga terkandung di dalamnya dasar-dasar metafisika. Formulasi logika bahasa menemui berbagai macam keterbatasan dan kesulitan, sehingga ia sendiri menyatakan bahwa setiap orang yang membaca Tractatus akhirnya akan sampai pada suatu titik di mana dia akan mengerti bahwa ungkapan-ungkapan bahasa dalam Tractatus sebenarnya tidak bermakna. Hal itu dikatakan oleh Wittgenstein dianalogkan seperti orang yang memanjat melalui tangga dan setelah sampai pada tujuan maka tangga tersebut dibuangnya (Bertens, 1981 : 47).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar