11/28/2014

Sastra dan Intertekstualitas

Setiap pembaca yang berhadapan dengan teks pasti bertarung dengan proses pemaknaan. Ia di dalam kubangan untuk menentukan bagaimanakah signifikansi teks yang ia baca. Tanpa dia sadari, kode dan signifikansi yang ada di dalam teks tersebut diperoleh dari teks-teks yang pernah ia baca sebelumnya. Dus dengan demikian tanpa ia sadari pula bahwa sebenarnya tidak ada satupun teks yang benar-benar mandiri. Setiap teks yang ada selalu terkait dengan teks-teks lain untuk mendapatkan signifikansi.
Keadaan ini telah disinggung oleh Julia Kristeva (dalam Culler, 1981: 104) bahwa jumlahan pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau intertekstualitas, merupakan hal yang tak bisa dihindari sebab setiap teks bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya. Hal senada disampaikan oleh Laurent Jenny (dalam Culler, 1981: 104) sebagai “outside of intertextuality, the literary work would be quite simply impertceptible, in the same way as an utterance in an as yet unknown language”. Ini artinya bahwa ketika suatu teks benar-benar tidak bergantung kepada teks lain, maka teks tersebut menjadi tidak bersignifikansi. Namun masalahnya, sebagaimana dituturkan oleh Jenny (dalam Culler, 1981: 104), istilah intertekstualitas sendiri juga sulit dimarkai secara tepat sebab “… at what point can one start to speak the presence of one text in another as an instance of intertextuality?“.
Culler menekankan intertekstualitas sebagai dua hal fokus kajian (Culler, 1981: 103). Fokus pertama adalah penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks pendahulu) yang demikian juga berarti istilah ‘otonomi sebuah teks’ adalah istilah yang tidak tepat sebab sebuah teks baru memiliki makna ketika ada teks-teks yang lebih dulu mendahuluinya, jadi tidak ada otonomi. Sedangkan fokus kedua adalah mengenai intelligibility (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang ditentukan oleh kontribusi teks-teks pendahulu terhadap berbagai macam efek signifikansi.

Reflection Life of Mine in the Novel “The Sisterhood of the Traveling Pants” By Ann Brashares

Novel The Sisterhood of the Traveling Pants is a best-selling novel in 2001. The novel talks about friendship, which liked especially for woman. Friendship is important for human life, without friendship is easy to dispute each other. With love we can feel a really life, harmonious, peace and the other which can be calm of our feeling.
Literature is some creativity, which can be written and the other. Literature consists of poetry, prose and essay. Here, I explain about novel, novel is long written story.
Literary theory has been regarded by some of its practitioners as a wholly novel approach to language, literature and interpretation, and by many of its opponents as either ‘poor man’s philosophy’ or as a renunciation of the proprieties of literary scholarship. There is some justification for the views of both sides. On the one hand, literary theory has undoubtedly revealed aspects of the philosophical understanding of language and literature which the Anglo-American traditions of analytical philosophy have tended until recently to ignore; on the other, though, it has itself often ignored many of the insights into art, truth and language that are the concern of the German hermeneutic tradition and of analytical philosophy (Bowie, 1997: 1).
A literary work is not an object that stands by itself and that offers the same view to each reader in each period. It is not a monument that monologically reveals its timeless essence. (Jauss, 1239)
According with Aminuddin (2010: 66), novel adalah kisahan atau cerita yang di emban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.
In line with definition above, Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan masalah kehidupan dalam interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kentemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Oleh karena itu, bagaimanapun fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping ada tujuan estetik (Nurgiyantoro, 2002: 3).
Based on Eneste,  Novel menyampaikan cerita, ide, amanat atau maksudnya dengan pertolongan kata-kata. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar dan suasana dengan bantuan kata-kata.

THE ENGLISH PERIOD


The Old English Period or the Anglo Saxon Period refers to the literature produced from the invasion of Celtic England by Germanic tribes in the first half of the fifth century to the conquest of England in 1066 by William the Conqueror. During the Old English Period, written literature began to develop from oral tradition, and in the eighth century poetry written in the vernacular Anglo Saxon or Old English appeared. One of the most wellknown eighth century Old English pieces of literature is Beowulf, a great Germanic epic poem. Two poets of Old English Period who wrote on biblical and religious themes were Caedmon and Cynewulf.

The Middle English Period consists of the literature produced in the four and a half centuries between the Norman Conquest of 1066 and about 1500, when the standard literary language, derived from the dialect of the London area, became recognizable as "modern English." Prior to the second half of the fourteenth century, vernacular literature consisted primarily of religious writings. The second half of the fourteenth century produced the first great age of secular literature. The most widely known of these writings are Geoffrey Chaucer's The Canterbury Tales, the anonymous Sir Gawain and the Green Knight, and Thomas Malory's Morte d’Arthur. While the English Renaissance began with the ascent of the House of Tudor to the English throne in 1485, the English Literary Renaissance began with English humanists such as Sir Thomas more and Sir Thomas Wyatt.
In addition, the English Literary Renaissance consists of four subsets: The Elizabethan Age, the Jacobean Age, the Caroline Age, and the Commonwealth Period (which is also known as the Puritan Interregnum).
The Elizabethan Age of English Literature coincides with the reign of Elizabeth I, 1558 1603. During this time, medieval tradition was blended with Renaissance optimism. Lyric poetry, prose, and drama were the major styles of literature that flowered during the Elizabethan Age. Some important writers of the Elizabethan Age include William Shakespeare, Christopher Marlowe, Edmund Spenser, Sir Walter Raleigh, and Ben Jonson.

PERIODISASI PUISI



6001200 Old English (AngloSaxon)
Beowulf

12001500 Middle English
Geoffrey Chaucer

15001660 The English Renaissance
15001558
Tudor Period
Humanist Era
Thomas More, John Skelton
15581603
Elizabethan Period
High Renaissance
Edmund Spenser,
Sir Philip Sidney
William Shakespeare

16031625
Jacobean Period
Mannerist Style (15901640)
other styles: Metaphysical
Poets; Devotional Poets

Shakespeare, John Donne, George
Herbert,
Emilia Lanyer
16251649
Caroline Period

John Ford, John Milton
16491660
The Commonwealth
& The Protectorate
Baroque Style, and later, Rococo Style
Milton, Andrew Marvell, Thomas Hobbes
16601700
The Restoration


17001800
The Eighteenth
Century
The Enlightenment;
Neoclassical Period;
The Augustan Age
Alexander Pope, Jonathan Swift, Samuel Johnson
17851830
Romanticism
The Age of Revolution
William Wordsworth, S.T. Coleridge, Jane
Austen, the Brontës
18301901
Victorian Period
Early, Middle and Late
Victorian
Charles Dickens, George Eliot, Robert Browning, Alfred, Lord Tennyson
19011960
Modern Period
The Edwardian Era (19011910);
The Georgian Era (19101914)
G.M. Hopkins, H.G. Wells, James Joyce, D.H. Lawrence, T.S. Eliot
1960
Postmodern and
Contemporary
Period

Ted Hughes, Doris Lessing, John Fowles,
Don DeLillo, A.S. Byatt

POSTMODERNISME DALAM PANDANGAN JEAN FRANCOIS LYOTARD

A.    PENDAHULUAN
Istilah postmodernist muncul pada tahun 1930-an, yang pertama kalidikenalkan oleh Arnold Toynbee. Postmodern merupakan reaksi dari modernism. Walaupun sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian orangbanyak. Banyak versi dalam memberikan penjelasan mengenai istilah postmodern. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan bahwa, postmodernisme merupakan lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagiseperti Jamenson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan darimodernitas, seperti diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of modernity and Post-Modernity . Jean-Francois Lyotard, dalam bukunyaThe Postmodern Condition: A report onKnowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secaralengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas.Lyotard memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelahmodernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dengan modernisme. Halini diperkuat oleh pendapat Flaskas yang mengatakan bahwa postmodernismeadalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa diantaranya adalah gerakanperpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori spesifik, dari sesuatu yang universal menuju kesesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menujukebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut adalah mencerminkantantangan postmodernist kepada modernist.Pemahaman pemikiran postmodernis menjadi penting untuk memahamiberbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tidak lagimemadai untuk dianalisis hanya berdasarkan paradigma ilmiah modern yanglebih menekankan kesatuan, homogenitas, objektivitas, dan universalitas.Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan postmodernis lebihmenekankan pada pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis,dan pengalaman hidup sehari-hari.

RENAISSANCE

Memasuki abad ke-18 dimulailah suatu zaman baru, yang memang telah berakar pada renaissance serta yang mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Abad ke – 18 disebut zaman pencerahan (Aufklarung).
Menurut Immanuel Kant zaman pencerahan adalah zaman manusia keluar dari keadaan tidak akil balik, yang disebabkan karena kesalahan manusia sendiri. Kesalahan itu terletak disini, bahwa manusia tidak mau mmanfaatkan akalnya. Sekarang smboyan orang adalah “Beranilah berpikir!” Voltaire menyebut zaman pencerahan adalah “zaman akal”. Sekarang orang merasa bahwa zaman pemkiran manusia telah tiada lagi. Umat manusia telah merasa bebas, merdeka dan tidak memerlukan lagi tiap kuasa yang dating dari luar dirinya, di bidang apapun. Sekarang orang dapat tanpa gangguan hidup demu kemajuan keadabannya yang tanpa batas.
Sikap pencerahan pada Agama dan wahyu pada umumnya dapat dikatakan memusuhi, mencurigai, atau bertentangan. Sikap itu diungkapkan dalam usaha orang untuk mengganti agama Kristen dengan agama alamiah murni, yang isinya dikembalikan kepada beberapa kebenaran tentang Allah dan jiwa, yang dapat dimengerti oleh akal, dan beberapa peraturan bagi perbuatan kesusilaan tanpa kewajiban untuk berbakti dan menggabungkan diri dengan suatu persekutuan gerejahi.
Sikap pencerahan terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat adalah demikian, bahwa orang membuang jauh-jauh ajaran Descartes. Keterangannya tentang alam dipandang sebagai tidak mencukupi lagi. Orang sudah tidak disilaukan lagi dengan pandangan yang jelas dan terpilah-pilah. Cita-cita pemikiran Pencerahan dipengaruhi sekali oleh ilmu pengetahuan alam, yang telah dibawa pada sampai puncaknya oleh ISAAC NEWTON (1642 – 1727). Newtonlah yang telah memberikan alas kepada fisika klasik, yang menjajikan suatu perkembangan yang tiada batasnya. Hukum-hukum fisika itu diterapkan kedalam ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini disebabkan karena ilmu pasti, biologi, fiolofi, sejarah, tekah mencapai hasil-hasil yang penting sekali. Harapan orang diarahkan pada filsafat. Hal ini menyebabkan filsafat tidak dapat berkembang dengan baik.
Pencerahan berasal dari Inggris. Hal ini disebabkan karena pada kira-kira menjelang akhir abad ke -17, di Inggris berkembanglah suatu tata Negara yang liberal. Oleh karena itu lambat laun pencerahan tumbuh menjadi keyakinan umum diantara para ahli pikir. Dari Inggris gerakan ini dibawa ke Perancis, dan dari sana tersebar ke seluruh Eropa. Di Perancis gerakan ini secara sadar dan terus terang bertentangan dengan keadaan kemasyarakatan, kenegaraan, dan kegerajaan pada waktu itu. Akhirnya Jerman mengikuti jejak Perancis itu. Akan tetapi disini gerakan pencerahan berjalan lebih tenang dan serasi, kurang menampakan pertentangan antara Gereja dan masyarakat.

II.             Pencerahan di Inggris
Di Inggris filsafat pencerahan dikemukakan oleh ahli pikir yang seorang lepas daripada yang lain, kecuali tentunya beberapa aliran pokok. Dasar pengetahuan di bidang agama adalah beberapa pengertian umum yang pasti bagi semua orang dan secara langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yang mendahului segala pengalaman dalam pemikiran akali. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama dan kesusilaan.
Salah satu gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme, yaitu suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke-18, yang menggabungkan diri dengan gagasan Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas ajaran agama alamiah.

11/26/2014

ANALISIS SEMIOTIK PADA SYA’IR “HIRUP DI DUNYA UKUR NGUMBARA”



ANALISIS SEMIOTIK PADA SYA’IR “HIRUP DI DUNYA UKUR NGUMBARA”
Oleh:
Asep Zaenul Falah
1210503022

A.    Sya’ir “Hirup di Dunya Ukur Ngumbara”


Astagfirulloh Robbal baroya
Astagfirulloh minal khotoya
Robbi zidni ‘ilmannafi’a
Wawakifni ‘amalan soliha

Hirup di dunya ukur ngumbara
Harta jeung anak pitnah nu aya
Kuatkeun iman tingkatkeun takwa
Pasti salamet di akhir masa  
.              
Lobakeun pisan mieling mati
Sabab ieu teh datangna pasti
Nyawa dipundut Robbul izzati
Mangkade hirup sing ati-ati  

Datangna ajal diri sumerah
Nyawa jeung jasad tuluy papisah
Anak kulawarga karumpul kabeh
Tuluy dibungkus badan ku boeh  
Nu nganteur jenajah tilu perkara
Amal jeung harta anak kulawarga
Harta jeung anak baralik deui
Amal mimilu nu jadi saksi 

Umur manusa bakal ditanya
Kawit lahirna dugi ka maotna
Waktu ngorana waktu sehatna
Sadaya pisan di pariksana  

Taya hartina hirup di dunya
Salami hirup midamel dosa
Poho ka diri pasti cilaka
Nandangan siksa seuneu naraka  





B.     Penjelasan
Sya’ir Hirup di Dunya Ukur Ngumbara adalah salah satu sya’ir yang sering di kumandangkan di mesjid-mesjid, khusnya di kalangan dunia pesantren yang masih bersifat agraris, tanpa terkecuali di pesantren Assalafiah Babakan Cipanengah Sukabumi. Setiap sore sebelum menjelang magrib tradisi sya’iran (pupujian) atau nadzoman ini masih melekat di pesantren tersebut. Dimana para santri berkumpul dan bersama - sama mengumandangkan berbagai macam sya’ir dengan cara bergantian. Salah satu sya’ir yang sering di kumandangkan yakni sya’ir Hirup di Dunya Ukur Ngumbara.
Salah satu alasan mengapa sya’ir (pupujian) dilakukan setiap sore sebelum menjelang magrib (adzan) itu di disebabka bahwa inti hidup yang mesti direfleksikan bagi setiap Muslim adalah membuat hidupnya lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian setelah seharian disibukan dengan hiruk piuk kegiatan keduniawian. Dengan mengingat kematian, maka diharapkan seluruh manusia dapat menghidupkan kembali sakralitas Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar tata-darigama yang sesuai dengan ajaran Agama Islam yang bernilai universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh budaya lokal.
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah, maka Yang terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas sya’iran (pupujian) jangan dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada sunah Nabi. Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan bahwa kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras. Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Sukabumi, pun uwak – Ajeungan Muchlis – memberikan sya’iran (pupujian) yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan jasad saya untuk terus beramal saleh. 
Dari paparan di atas penulis bertujuan untuk menggali kembali secara menyeluruh mengenai khazanah budaya local (sya’ir) dengan melakukan pengkajian yang lebih mendalam yaitu melalui pendekatan sastra. Pendekatan sastra yang dimasksud adalah sebuah cara yang mengarah pada upaya untuk mempengaruhi emosi dan perasaan pembaca. Seperti yang diketahui, karya sastra (sya’ir) dalam implementasinya membutuhkan berbagai penafsiran yang mendalam untuk mengetahui kedalaman makna apa saja yang terkandung di dalamnya.
Dalam upaya penggalian makna, kirannya pendekatan semiotic cukup relevan untuk di aplikasikan dalam membedah sya’ir Hirup Di Dunya Ukur Ngumbara. Selanjutnya, dalam menganalisis sebuah karya sastra dalam hal ini puisi, Peirce penggunaan dua aspek. Diantaranya; aspek sintaksis dan aspek semantis. (Okke. 2002: 124). Ketiga aspek tersebut selanjutnya langsung dapat dipahami melalalui analisis sya’ir  Hirup Di Dunya Ukur Ngumbara (HDUN) yang sering di kumandang di mesjid-mesjid ini.

C.    Pembahasan
1.      Analisis Aspek Sintaksis
Sya’ir yang sering dikumandangkan di kalangan pondok pesantren ini (HDUN) memiliki kandungan makna yang sangat dalam sekali. Dimana gaya penulisan tiap baitnya disusun dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian untuk senantiasa memberikan suatu pesan yang yang oleh pengarang pada tiap baitnya disisipi ikon tentang kematian. Sya’ir tersebut memiliki empat larik yang tersusun dalam suatu baitnya dan sya’ir ini memiliki tujuh bait. Jika penulis hitung dari jumlah keseluruhan pada HDUN ini hanya memiliki 7 kalimat saja, meskipun pada tiap kalimat pengarang sama sekali tidak mensisipi tanda baca seperti titik, koma pada akhir kalimat. Hal inilah yang kemudian menjadi satu persoalan yang oleh peneliti dijadikan satu bahan interpretasi yang luas untuk memaknai puisi ini, meskipun seiring berjalannya waktu proses inerpretasi ini merupakan satu proses yang tanpa batas.
Melalui interpretasi peneliti mengenai sya’ir tersebut yang memiliki tujuh kalimat yang terdiri dalam tujuh bait dan empat larik dalam satu baitnya, maka oleh penulis di interpretasi secara perbait. Pada bait pertma yang berjumlah 4 larik ditulis dengan syair bahasa arab yang berisi : Astagfirulloh Robbal baroya, Astagfirulloh minal khotoya, Robbi zidni ‘ilmannafi’a, Wawakifni ‘amalan soliha.
Pada kalimat pertama ini penulis mengajak kita untuk terlebih dahulu menundukan kepala dan merendahkan hati dengan menyadari secara seportif bahwa yang haruh kita lakukan dan perbaiki bukanlah sesuatu yang ada diluar sana melain sesuatu yang jauh tersimpan di dalam lubuk hati yang sangat mendalam dengan cara memohon ampun kepada Illahi Robbi atas dosa-dosa yang telah kita lakukan sebelum pada akhirnya ajal menjemput kita. Sedangkan pada bait kedua, penutur mengajak kita untuk sejenak merenungkan tentang perjalanan kita hidup yang pada akhirnya aka ada ujung dari degala pengharana (kematian) dengan kalimat “Hirup di dunya ukur ngumbara”, yang di pertegas dengan segala apa yang kita miliki merupakan satu titipan yang kapan saja siap diambil oleh pemilik-Nya. Dengan demikian pergunakannla apa yang telah menjadi titipan-Nya dengan cara menempuh jalan-jalan keridhoan penciptanya-Nya agar semuanya  tak jadi fitnah belaka dengan ungkapan “Harta jeung anak pitnah nu ay”. Yang pada akhirnya penutur merujuk pada pesan agar kita senantiasa mengukuhkan ketakwaan yang menjadi dasar pijakan untuk kembali kehadira-Nya dengan selamat.
Adapaun pada bait-bait selanjutnya penutur mengungkapkan kalimat-kalimat yang memiliki makna sama dengan kalimat-kalimat sebelumnya yang di dasari pada ajakan kepada kita semua agar senantiasa gegap gempita untuk tidak sedetikpun lengah atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita yang kapan saja akan kembali kehadirat-nya.
Selanjutnya, jika ditinjau sya’ir HDUN tersebut pada sudut pandang ryme (rima) maka tedapatlah pada setiap ariknya berbunyi a,a,a,a pada bait pertma, yang di susul dengan bunyi i,i,i,i, pada kedua. Yang kemudian di tutup dengan bunyi rima yang sama pada bait pertama. Hal ini menujukan bahwa dalam sya’ir HDUN memiliki gabungan rima antara rima lurus yang hadir di bait pertama dan di akhir, kemudian rima berkait pada bait kedua. Kehadiran bunyi rima yang berbeda tersebut penutur ingin mengahadirkan sebuah keunikan pada sya’ir tersebut.

2.      Analisis Aspek Semantis
Jika kita telaah sa’ir HDUN ini, maka kita akan menemukan beberapa gambaran yang disampaikan oleh pengarang tentang kematian yang memiliki hubungan dengan manusia. Yang kemudian dari kesalinghubungan tersebut memiliki makna yang tersirat untuk di interpretasi. Untuk mengetshui makna yang tersirat dapa sya’ir tersebut maka alangkah baiknya terlebih dahilu dibahas mengenai isotopi yang terdapat pada sya’ir tersebut. Adapun yang dimaksud dengan isotopi adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat disepanjang wacana yang memungkinkan memiliki suatu pesan untuk kemudian dipahami sebagai perlambangan yang utuh. Karena itu, dalam isotopi makna mencapai keutuhannya (Rusmana, 2008: 86).
jika isotopi dipahami sebagai sebuah perlambangan yang utuh, maka kita akan temukan beberapa isotopi yang berkaitan dengan alam, manusia, sifat, perbuatan, waktu, tempat, dan isotopi penghubung yang terdapat pada sya’it tersebut.
a.       Isotopi Alam
Adapun yang dimaksud isotopi alam adalah wilayah makna yang terbuka yang dilambangkan dengan alam itu sendiri seperti : Dunya, hirup, harta, akherat, naraka
b.      Isotopi kematian
Ajal, maot,
c.       Isotopi Manusia
Adapun yang dimaksud isotopi alam adalah wilayah makna yang terbuka yang dilambangkan dengan alam itu sendiri seperti : hirup, anak, nyawa, jasad, keluarga, umur, ngora, sehat, poho.
d.      Isotopi sifat
Isotopi sifat yang ada pada sya’ir HDUN diantaranya; ngorana, poho,
e.       Isotopi perbuatan
Diantaranya; ngumbara, Kuatkeun, tingkatkeun , Lobakeun, Mieling, sing ati-ati, Nandangan, midamel , pariksana , ditanya, mimilu, baralik , nganteur , dibungkus , sumerah, karumpul, dipundut
f.       Isotopi penghubung
Diantarnya; di, jeng 3x, nu, tuluy, ku, ka.
Terdapat kurang lebih eman isotopi yang d kemukakan oleh penulis yang tentu didalamnya terdapat motif yang mendukung untuk membangun sebuah tema dari sya’ir tersebut. Adapun yang dimaksud motif menurut Okke yaitu unsure yang terus menerus diulang dan beberapa motif akan mendukung kehadiran tema (Rusmana, 2008: 88).
Jika kita lihat dari kelompok motif yang telah di jelaskan di atas, maka isotopi perbuatan yang disusul dengan isotopi manusia dan alama yang paling banyak menonjol pada sya’ir tersebut. Hal ini bisa kita nyatakan bahwa sya’ir tersebut memiliki motif utama yaitu aktifitas yang didalamnya senantiasa merenungkan akan datangnya ajal yang tanpa pandang bulu. Adapun isotopi manusia dan alam pada sya’ir ini memiliki arti bahwa perbutan manusia akan selalu diiringi dengan kehendak alam yang pada kedudukannya kita sebagai manusia sedang melakukan perjalan (ngumbara) akan pada akhirnya aka nada akhirnya.
Selanjutnya, kehadiran isotopi sifat pada kata ngora, poho merupakan isotopi yang memiliki kandungan makna yang dalam, dimana manusia harus senantiasa mengingat bahwa sifat yang kita miliki selama hidup di dunia sudah pasti tidak akan abadi, seperti sifat muda yang pada akhirnya tua, begitupun dengan lupa yang menjadi sunatullah dari dari hokum alam
Kehadiran dari isotopi penghubung berfungsi sebagai penguat dari kalmat-kalimat yang hadir dalam sya’ir tersebut. Kata di, tuluy, jeng, ka merupakan bentuk kata penghubung yang pada kalimat selanjutnya menunjukan pada suatu sikap penegasan tentang sesuatu yang berkaitan dengan kematian. Dalam isotopi pengubung ini merupakan salah satu unsur yang digunakan untuk memperjelas bagian-bagian dari kata yang di gunakan pada sya’ir Hirup di Dunia Unkur Ngumbara agar dapat dipahami yang bersifat komunikatif.
3.      Kesimpulan
Dari hasil penganalisisan diatas, maka penulis mencoba menyimpulkan bahwa sya’ir HDUN memiliki nuasa ajakan kepada seluruh manusia agar kita senantiasa mengingat bahwa hidup di dunia hanyalah tempat bersinggah yang harus di manfaatnya dengan sebaik mungkin dengan cara menanam amal kebaikan sebanyak-banyaknya agar kelak mendapatkan hasil yang sesuai di hari pembalasan. Adapun tema yang di ungkapkan dai sya’ir tersebut adalah tema tentang kematian dimana penulis selalu menyisipi kata-kata kematian pada setiap baitnya.
Adapun isotopi perbuatan yang hadir dominan dalam karya ini menunjukkan memiliki motif utama yaitu aktifitas yang didalamnya senantiasa merenungkan akan datangnya ajal yang tanpa pandang bulu. Adapun isotopi manusia dan alam pada sya’ir ini memiliki arti bahwa perbutan manusia akan selalu diiringi dengan kehendak alam yang pada kedudukannya kita sebagai manusia sedang melakukan perjalan (ngumbara) akan pada akhirnya aka nada akhirnya. pada isotopi alam juga dapat dijadikan cerminan bagi kehidupan manusia, di mana mereka dengan kepasrahannya tunduk pada aturan dan takdir yang telah digariskan oleh sangpencipta.