12/25/2012

Wajahmu yang Garang



Wajahmu yang Garang
Oleh :
Ibnu Saepul Bahri

Udara segar dipagi hari perlahan membangunkanku dari dunia mimipi ke alam nyata, ku panjatkan do’a kepada Tuhan yang maha kuasa atas kesempatan hidup yang masih diberikan kepadaku agar senantiasa menambah pundi-pundi amal ibadahku, kubersandar sejenak didinding yang mungkin sudah aga kusam, kemudian ku teguk segelas air yang telah kupersiapkan sebelum tidur, tendengar suara burung yang berkicau dari dahan satu kedahan yang lain, matahari menyingsing dari upuk timur ke upuk barat, membuat hidupku terbuai terpesona oleh keagungan-Nya. Subhanallah pagi yang indah bisikku...
kulihat ke arah jam yang tergantung di dinding tepat berada didepan pandanganku, seketika itu aku kaget “Asagfirullahal Adzim kesiangan lagi”. Tanpa terpikir aku segera pergi ke kamar mandi dan membilas seluruh tubuhku, atau setengah badanku, atau juga hanya wajahku dan kepala saja. Baju yang kupakai semalam tak sempat aku lepas karena aku ingat bahwa dosenku sangat kejam dan buas. Sepatu yang tergeletak di depan kamarku telah setia menungguku, tanpa basa-basi segera aku pakai sepatu itu kemudian aku berlari ke kampus yang tak jauh jaraknya, dengan di temani sepatu gujil yang tak pernah dicuci hampir dua tahun lamanya, karena bagiku sehelai debu yang menempel di sepatu adalah sejarah perjuanganku walau sepatu yang kupakai basah kuyup tersiram hujam semalam.
Langkahku semakin cepat, setengah berlari, sehingga akhirnya aku berlari juga. Dalam pikiranku hanya terbayang wajah dosen yang geram menyambut kedatanganku yang terlambat walau tak terasa kakiku menginjak seluruh jemuran kerupuk yang terhampar dipekarangan yang lumayan luas punya ibu kosku. Subhanallah masalah lagi.! Tetapi kakiku memaksaku harus terus berlari ketempat dimana aku harus belajar walau aku sadar aku harus melewati pohon rindang yang selalu dipenuhi oleh ribuan mahasiswa yang lalu lalang, tiga gedung misteri dan tanjakan jebakan pohon nangka yang selalu menjatuhkan nagka-nangka kecil yang selalu berguguran.
Dibawah pohon rindang yang menjadi tempatku nongkrong sama sekali tak terlintas dipikiranku, tabrakan dengan beberapa orang pun terjadi karena lariku yang tergesa-gesa. Suara yang lantang memanggil namaku entah siapa itu ku hiraukan sama sekali dalam hati aku berkata “maafkan aku sahabat bukan aku tak setia padamu untuk ikut nongkrong bareng sambil minum secangkir kopi dan sebatang roko seperti biasanya tapi hidup dan matiku ditangan dosen yang berwajah sangar”. Aku terus berlari walau berapa kali aku harus tertimpa buah nangka kecil yang berjatuhan dari tanggkalnnya, walau terasa sakit, napasku mau habis, sepatuku basah, kakiku menjadi lecet dan wajahku masih bertaburan bunga tidur dimataku. Akkhirnya sampailah di depan gedung dimana aku harus ketemu dengan dosen itu. Ternyata penderitaanku belum berakhrir disini karena masih ada tiga tangga yang harus aku lewati lagi.
Singkat cerita akhirnya aku sampai di depan pintu kelasku. Dan ku buka pintu itu tanpa asi-basi aku langsung duduk dibangku yang paling depan. Tapi kenapa suara ini ramai dengan gelak tawa ternyata aku baru sadar bawha yang di dalam kelas itu anak semester satu, “Ya Allah kenapa penderitaanku ini begitu berat seperti ini” bisikku...
Dengan wajah aga merah aku terpaksa keluar dari kelas itu, ku tarik sejenak napasku dan ku buka hpku yang tak sempat ku lihat dari semalam ternyata ada sms dari beberapa temanku kemudian ku baca
“ jarkom : teman besok katanya tidak ada kuliah coz ci Bapaknya lagi ada acara di luar kota. Sent all”.