Wajahmu yang Garang
Oleh :
Ibnu Saepul Bahri
Udara segar dipagi hari perlahan
membangunkanku dari dunia mimipi ke alam nyata, ku panjatkan do’a kepada Tuhan
yang maha kuasa atas kesempatan hidup yang masih diberikan kepadaku agar
senantiasa menambah pundi-pundi amal ibadahku, kubersandar sejenak didinding
yang mungkin sudah aga kusam, kemudian ku teguk segelas air yang telah
kupersiapkan sebelum tidur, tendengar suara burung yang berkicau dari dahan
satu kedahan yang lain, matahari menyingsing dari upuk timur ke upuk barat,
membuat hidupku terbuai terpesona oleh keagungan-Nya. Subhanallah pagi yang
indah bisikku...
kulihat ke arah jam yang tergantung
di dinding tepat berada didepan pandanganku, seketika itu aku kaget
“Asagfirullahal Adzim kesiangan lagi”. Tanpa terpikir aku segera pergi ke kamar
mandi dan membilas seluruh tubuhku, atau setengah badanku, atau juga hanya
wajahku dan kepala saja. Baju yang kupakai semalam tak sempat aku lepas karena
aku ingat bahwa dosenku sangat kejam dan buas. Sepatu yang tergeletak di depan
kamarku telah setia menungguku, tanpa basa-basi segera aku pakai sepatu itu
kemudian aku berlari ke kampus yang tak jauh jaraknya, dengan di temani sepatu
gujil yang tak pernah dicuci hampir dua tahun lamanya, karena bagiku sehelai debu
yang menempel di sepatu adalah sejarah perjuanganku walau sepatu yang kupakai
basah kuyup tersiram hujam semalam.
Langkahku semakin cepat, setengah
berlari, sehingga akhirnya aku berlari juga. Dalam pikiranku hanya terbayang
wajah dosen yang geram menyambut kedatanganku yang terlambat walau tak terasa
kakiku menginjak seluruh jemuran kerupuk yang terhampar dipekarangan yang
lumayan luas punya ibu kosku. Subhanallah masalah lagi.! Tetapi kakiku
memaksaku harus terus berlari ketempat dimana aku harus belajar walau aku sadar
aku harus melewati pohon rindang yang selalu dipenuhi oleh ribuan mahasiswa
yang lalu lalang, tiga gedung misteri dan tanjakan jebakan pohon nangka yang
selalu menjatuhkan nagka-nangka kecil yang selalu berguguran.
Dibawah pohon rindang yang menjadi
tempatku nongkrong sama sekali tak terlintas dipikiranku, tabrakan dengan
beberapa orang pun terjadi karena lariku yang tergesa-gesa. Suara yang lantang
memanggil namaku entah siapa itu ku hiraukan sama sekali dalam hati aku berkata
“maafkan aku sahabat bukan aku tak setia padamu untuk ikut nongkrong bareng
sambil minum secangkir kopi dan sebatang roko seperti biasanya tapi hidup dan
matiku ditangan dosen yang berwajah sangar”. Aku terus berlari walau berapa
kali aku harus tertimpa buah nangka kecil yang berjatuhan dari tanggkalnnya,
walau terasa sakit, napasku mau habis, sepatuku basah, kakiku menjadi lecet dan
wajahku masih bertaburan bunga tidur dimataku. Akkhirnya sampailah di depan
gedung dimana aku harus ketemu dengan dosen itu. Ternyata penderitaanku belum
berakhrir disini karena masih ada tiga tangga yang harus aku lewati lagi.
Singkat cerita akhirnya aku sampai di
depan pintu kelasku. Dan ku buka pintu itu tanpa asi-basi aku langsung duduk
dibangku yang paling depan. Tapi kenapa suara ini ramai dengan gelak tawa
ternyata aku baru sadar bawha yang di dalam kelas itu anak semester satu, “Ya
Allah kenapa penderitaanku ini begitu berat seperti ini” bisikku...
Dengan wajah aga merah aku terpaksa
keluar dari kelas itu, ku tarik sejenak napasku dan ku buka hpku yang tak
sempat ku lihat dari semalam ternyata ada sms dari beberapa temanku kemudian ku
baca
“ jarkom : teman besok katanya tidak
ada kuliah coz ci Bapaknya lagi ada acara di luar kota. Sent all”.