Demokrasi, sejak kelahirannya di tanah Yunani kuno, adalah janji besar tentang kebebasan dan kedaulatan rakyat. Ia hadir sebagai antitesis dari kekuasaan yang terpusat, sebagai bentuk perlawanan terhadap tirani, sebagai panggung bagi suara-suara kecil untuk didengar. Dalam demokrasi, setiap individu adalah subjek politik; setiap suara dihitung, setiap hak dijamin. Namun, dalam realitas modern yang kompleks dan sarat kepentingan, demokrasi menghadapi musuh dalam selimut — oligarki.
Oligarki, atau kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir elite kaya dan berkuasa, bukanlah entitas asing dalam sejarah politik. Ia pernah menjadi lawan terang-terangan dari demokrasi. Namun kini, ia menyamar — berbaur, berkamuflase, dan bahkan memanfaatkan mekanisme demokrasi itu sendiri untuk melanggengkan kekuasaan. Prosedur demokrasi seperti pemilu, partai politik, bahkan kebebasan pers, bukan lagi ruang kebebasan yang merdeka, melainkan ladang investasi kekuasaan bagi mereka yang memiliki modal besar.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, demokrasi prosedural berjalan dengan baik: pemilu dilaksanakan secara rutin, partai politik aktif, media bebas. Namun secara substansial, ruang-ruang pengambilan keputusan kian sempit bagi rakyat. Kebijakan publik seringkali tidak berpihak pada kepentingan orang banyak, melainkan lebih menguntungkan pemilik modal, pemilik lahan, atau pemilik media. Rakyat hanya hadir saat pemilu — dimobilisasi, diiming-imingi, dibujuk dan dipersuasi — namun dilupakan setelahnya.
Bayang-bayang oligarki bekerja dengan senyap namun sistematis. Mereka membiayai kampanye politik, menyusup ke dalam birokrasi, menguasai narasi di media massa, dan bahkan membentuk opini publik lewat buzzer dan influencer. Ironisnya, semua ini terjadi di bawah naungan legalitas demokrasi. Kekuasaan tak lagi direbut dengan kekerasan, tetapi dengan uang dan pengaruh. Demokrasi berubah menjadi etalase belaka — tampak indah di luar, tetapi rapuh dan kosong di dalam.
Dalam kondisi ini, demokrasi menjadi "wajah tanpa rupa" — identitasnya tidak lagi jelas. Ia tidak benar-benar mewakili rakyat, namun juga tidak sepenuhnya diktator. Ia menggantung di antara simbolisme dan manipulasi, di antara harapan dan kenyataan yang mengecewakan.
Apakah ini akhir dari demokrasi? Tidak. Namun ini adalah panggilan darurat bagi mereka yang peduli akan masa depan bangsa. Demokrasi harus diselamatkan dari penjarahan oligarki. Reformasi politik perlu digalakkan kembali: transparansi pendanaan politik, pembatasan kekuasaan elite bisnis dalam ranah publik, serta penguatan lembaga pengawas dan masyarakat sipil.
Lebih dari itu, rakyat perlu direvolusi secara kultural. Literasi politik, kesadaran kritis, serta keberanian bersuara adalah fondasi baru yang harus dibangun. Rakyat tidak bisa terus-menerus menjadi penonton atau korban. Mereka harus menjadi aktor sejati dalam panggung demokrasi. Bila tidak, demokrasi hanya akan menjadi sistem kosong yang dipakai untuk mengesahkan kekuasaan segelintir orang atas nama rakyat.
Demokrasi, bila tidak dijaga, akan dimakan dari dalam. Ia tidak akan mati karena kudeta atau perang, tetapi karena pengkhianatan diam-diam dari mereka yang mengaku sebagai penjaganya. Dan saat itu terjadi, yang tersisa hanyalah nama — tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa wajah.