Entah menarik atau tidak, terkait tema yang saya angkat untuk tugas essay ini. Namun, seiring berjalannya waktu, dari hasil pantauan dan permenungan (kontemplatif) saya sebagai mahasiswa, mengutip adagium salah satu acara di layar kaca negeri kita yang menjadi media trendsetter pada hampir seluruh
lapisan masyarakat bahwa: masih banyak hal yang tabu menjadi layak untuk diperbincangkan! Dalam hal ini, termasuk pula mengenai identitas mahasiswa itu sendiri. Di sini, identitas yang dimaksud adalah persoalan ke-eksistensian mahasiswa dalam melakoni kehidupan bermahasiswanya. Maklum, mahasiswa selalu diidentikkan sebagai satu dari komunitas unik yang ada di masyarakat. Unik, selain karena mereka ada di kelas social menengah (middle class), mereka – dalam kehidupannya ketika menjadi mahasiswa – cenderung terlihat ‘terpisah’ dari habitat masyarakatnya. Mahasiswa senantiasa dirindukan, untuk suatu saat, menjadi generasi unggul yang pada nantinya bisa membawa dan memberikan perubahan bagi kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbangsa. Sementara, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang mempertanyakan – untuk tidak menyebut menggugat - ke-eksistensi-an Mahasiswa. Mengapa demikian? Hal ini disinyalir bahwa mahasiswa yang pada hakikatnya merupakan agent of social change, masih sering terjebak pada persoalan-persoalan yang secara epistemologis keilmuan, mereka (seharusnya) bisa mengatasinya. Permasalahan itu, menurut hemat saya, ialah terletak pada skala realitas bahwa mahasiswa itu sendiri belum tahu hakekat dan eksistensinya sebagai Mahasiswa.
lapisan masyarakat bahwa: masih banyak hal yang tabu menjadi layak untuk diperbincangkan! Dalam hal ini, termasuk pula mengenai identitas mahasiswa itu sendiri. Di sini, identitas yang dimaksud adalah persoalan ke-eksistensian mahasiswa dalam melakoni kehidupan bermahasiswanya. Maklum, mahasiswa selalu diidentikkan sebagai satu dari komunitas unik yang ada di masyarakat. Unik, selain karena mereka ada di kelas social menengah (middle class), mereka – dalam kehidupannya ketika menjadi mahasiswa – cenderung terlihat ‘terpisah’ dari habitat masyarakatnya. Mahasiswa senantiasa dirindukan, untuk suatu saat, menjadi generasi unggul yang pada nantinya bisa membawa dan memberikan perubahan bagi kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbangsa. Sementara, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang mempertanyakan – untuk tidak menyebut menggugat - ke-eksistensi-an Mahasiswa. Mengapa demikian? Hal ini disinyalir bahwa mahasiswa yang pada hakikatnya merupakan agent of social change, masih sering terjebak pada persoalan-persoalan yang secara epistemologis keilmuan, mereka (seharusnya) bisa mengatasinya. Permasalahan itu, menurut hemat saya, ialah terletak pada skala realitas bahwa mahasiswa itu sendiri belum tahu hakekat dan eksistensinya sebagai Mahasiswa.
Galibnya, mahasiswa yang menimba di suatu perguruan tertentu itu adalah sekumpulan kelompok anak manusia yang heterogen. Heterogen ini diasumsikan bahwa mereka berasal dari daerah, suku atau ras, dan tingkat klasifikasi social yang berbeda-beda. Hal ini menjadi persoalan ketika mereka – yang beragam level heterogenitasnya – bertemu, berkomunikasi, dan berdialektika di ruang dan waktu yang sama. Dialektika itu tentu saja tidak selalu berjalan lancar dan dinamis, ia bisa kadang stagnan, mandeg, dan terjerambab pada persoalan-persoalan mendasar terkait proses adaptif diri para mahasiswa itu. Sekali lagi, identitas mahasiswa sangat beragam dan begitu fenomenal. Bukankah identitas seorang mahasiswa itu cukup dipahami oleh orang lain? Dan mengenai ke-eksistensian, mahasiswa itu bisa meperolehnya secara individu dan berkelompok (Hofsted: 2002). Tolak ukur dari individu dan kelompok dari mahasiswa adalah keragaman tingkah laku mereka dalam menjalankan tugas dan perannya. Lebih spesifik, fenomena keragaman identitas mahasiswa inilah yang menjadi stressing point atau focus utama pengkajian yang tertuang dalam essay ini.
Mahasiswa
Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat.
Menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan menjadi calon-clon intelektual.
Dari pendapat di atas, bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang yang menempuh jenjang karir akademiknya di perguruan tinggi yang, pada akhirnya, diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
Berdasarkan pengkajian dan pengamatan langsung penulis, yang baru setahun lebih menjadi mahasiswa, berikut semacam kategorisasi terkait identitas mahasiswa.
Mahasiswa Kupu-kupu
Pemaknaan kupu-kupu di sini bukan pada sisi metamorphosis dari hewan mungil nan indah itu. Kupu-kupu, dalam konteks pergaulan mahasiswa di UIN SGD Bandung, ialah akronim dari Kuliah-Pulang, Kuliah-Pulang. Jika sekilas kita memperhatikana secara kasat mata, mahasiswa hanyalah sekumpulan pelajar yang setiap harinya pulang pergi dari rumah (atau tempat kos; pesantren) ke kampus. Sebuah rutinitas yang tidak buruk, memang. Tapi, hal ini menjadi problematika yang cukup mengganjal sebagai gejolak dalam internal diri mahasiswa; perihal ‘eksistensi’ mahasiswa sebagai agent of social change. Mahasiswa penganut kelompok ini, diduga kurang memiliki rasa peka social yang tinggi terkait diri dan lingkungan tempat mereka menimba ilmu. Mereka cederung tidak tahu, mungkin juga tidak mau tahu, tentang fenomena dan realita kampusnya. Mereka tidak cukup tahu mengenai, misalnya undang-undang pendidikan, kebijakan birokrasi kampus dan polarisasi organisasi internal kampus, dan seterusnya. Tentu, bila saya melampirkan penjelasan demikian, dan tanpa maksud mengatakan dengan memberi kesan negatif, maka akan mencuat banyak pertanyaan, di antaranya adalah: Sebenarnya apa sih yang seharusnya dilakukan mahasiswa agar rutinitas kuliah-pulang kuliah-pulang itu tidak berkonotasi negatif? Apa harus terselip agenda kuliah-nongkrong, yang bagi sebagian orang dianggap tidak berguna dan membuang-buang waktu? Bukankah lebih baik pulang sehabis kuliah untuk melakukan kegiatan lain, semisal kerja sambilan atau membantu pekerjaan rumah orang tua? Nah, kiranya beberapa pertanyaan ini, mungkin bisa lebih banyak lagi, yang harus menjadi PR bersama untuk menjawab semua itu.
Mahasiswa Sylabus atau Formal-Akademik
Penamaan mahasiswa syllabus, jelas sendiri saya ambil dari kata ‘syllabus’. Sylabus adalah rujukan, bahan, atau ‘kurikulum’ rutin yang akan disajikan pada suatu mata kuliah tertentu. Selama satu semester ini atau tertentu, mahasiswa –dibimbing dosen pengampu mata kuliah itu- akan menapaki jalannya perkuliahan itu berdasarkan ‘rumus patokan’ atau syllabus tersebut. Di sini, dengan berbagai macam factor yang melatarinya, sebagian besar mahasiswa cenderung akan menerima begitu saja materi-materi perkuliahan yang ada pada syllabus tanpa memperdulikan realita yang ada disekitarnya. Atau, secara lebih spesifik mereka tidak menelaah relevansinya dengan konteks disiplin ilmu, kejurusan dan kebudayaan pendidikan di negeri kita. Mahasiswa, seringnya, hanya menelan mentah-mentah apa-apa yang sudah disuguhkan bagi mereka dan menjalani system pendidikan yang legal-formalistik. Mahasiswa, di tempat lain, akhirnya terjebak pada aktifitas ilmiah monoton yang kurang memanusiakan sang manusianya itu sendiri.
Muatan problem di ranah ini, sungguh sangat dilematis dan panjang untuk diurai di sini. Sebab, berbicara syllabus berarti berbicara kurikulum. Membincang kurikulum berarti mendiskusikan regulasi kebijakan dari para penentu, perumus kebijakan terkait pendidikan kita di negeri tercinta ini. Dan, ini merambah ke ranah-ranah lain dalam persinggungan negara, yakni politik, budaya, ekonomi, ideology, filsafat berbangsa dan sebagainya.
Mahasiswa Hedonis
Term ‘hedon’ sangat dekat dengan gaya hidup atau lifestyle. Hedon sering dipersepsikan sebagai kaum pemuja kebebasan, kesenangan dalam hidup. Dalam budaya bermahasiswa kita, kata hedon pun sering dilibatkan dalam dialaketika kampus. Beberapa golonggan, dari seluruh komunitas mahasiswa di kampus, dilabeli dengan istilah Mahasiswa Hedonis.
Adalah sesuatu yang asasi ketika setiap orang ingin senang dan berbahagia dalam hidupnya. Disebut problem adalah ketika terjadi ketimpangan dalam metode proses, penempatannya yang salah ruang dan waktu yang tidak semestinya. Saya mengamati, mayoritas mahasiswa, maksud saya di UIN Bandung, adalah para perantau (kaum urban) dari daerah (nya masing-masing). Terjadi setidaknya pergeseran nilai, bahwa mereka hari ini, sebagaian besar, menempati tinggal atau bermukim di tempat kos. Artinya, secara system kehidupan berkebudayaan kita, mereka berubah menjadi kaum mandiri (meski, secara financial mereka masih disantuni setiap bulan oleh orang tuanya) tidak menjalani system atau pola yang sama sebagaimana mereka tinggal dengan keluarga mereka. Mahasiswa adalah remaja-remaja yang akan bermetamorfosa menjadi dewasa. Mereka sering gamang, kurang siap, mengendalikan diri di tengah pusaran nilai ‘baru’ yang melingkupinya kini. Ditunjang berbagai factor, yang tentu saja berbeda-beda dari setiap pelakunya, mereka mencari ruang ekspresi di tempat-tempat, atau dengan media-media lain. Jadilah, mereka hedonis. Mahasiswa Hedonis.
Mahasiswa Apatis
Apatisme adalah semacam bentuk ketidakpuasan terhadap realita, system, keadaan dengan cara menafikan dan tidak memperdulikannya. Orang apatis menganggap media ekspresi untuk merespons ‘musuh’ nya itu dengan cara apatisme itu. Diam, cuek, tidak mau tahu, acuh tak acuk dan pelbagai sinonim lainnya. Mahasiswa pun bisa berpeluang mengalami dan menjadi manusia apatis. Entah lantaran jenuh dengan system perkuliahan yang ada, ketikmampuan bergaul dengan orang lain di kelas, organisasi dan sebagainya; mereka menjadi kehilangan kendali untuk membangun medium dan akhirnya memilih menjadi apatis. Apatisme sangat berlipat-lipat, tergantung tingkat atau level kekecewaan yang menjadi faktornya. Artinya, mahasiswa apatis, bisa dan mungkin mencari ruang-ruang lain sebagai ‘rumah’ baru bagi ‘duka-duka’ mereka.
Mahasiswa Aktif dan Kritis
Inilah yang dibutuhkan dan menjadi cita ideal bagi makhluk yang bernama mahasiswa. Aktif, karena selain sebagai calon intelektual masa depan, materi ilmu yang diemban mereka diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi nusa, bangsa dan agama. Kritis, sebab mereka adalah penghuni kelas social menengah yang paling memungkinkan untuk melakukan fungsi control.
Yang menarik adalah fenomena bahwa mahasiswa aktif sering dianggap tidak kritis, mereka lebih menjadi mahasiswa syllabus, dan terkadang apatis terhadap persoalan mendasar terkait kemahasiswaan dan kampusnya. Mahasiswa kritis (seringkali disebut ‘aktifis’) sebaliknya dikenal jarang terlihat di kelas atau kampus. Mereka malas ke kampus untuk kuliah, dengan berbagai eskalasi factor dan argumentasinya terkait kemalasan itu. Maka, menurut saya, saatnya mahasiswa bertabayun, dan sekuat tenaga berposisi bahwa mahasiswa bisa aktif dan, juga bisa kritis. Dari Materi Ilmu menuju Gairah Gerakan. Dari Saleh Ritual ke Saleh Social.