“Dedikasi
untuk Ibu”
Ibnu Saepul Bahri
ibu
ku pandangi sayu matamu
saat kau tidur lelap
rasa lelah, letih, lunglay
terpancar di wajahmu
setelah seharian penuh kau
kerahkan hidupmu untukku
untuk menuntaskan kewajibanmu
sebagai peganti ayah
Ibu
Aku ingin menciummu, dengan
kehangatan seorang anak
Dan bercerita tentang apa yang
ku inginkan
Untuk membuatmu bahagia
Untuk membuatmu tersenyum
Aku ingin mengukir senyummu
dalam setiap langkahku
Untuk menyongsong hari tuamu
Hari yang penuh kehangatan dan
kebahagiaan meski tanpa ayah
Demikianlah
puisi yang di bacakan oleh Aji, Seorang anak yang duduk di bangku kelas 2 SMP
itu. Puisi itu di buatnya ketika malam saat ibunya tertidur lelap, dengan
tetesan air mata ia ia curahkan rasa kasih sayang yang penuh kelembutan untuk
ibunya, lewat goresan tinta hitam yang menari di atas kertas putih dengan
mengikuti alunan pemikiran dan perasaan
terus ia tumpahkan demi sebuah karya yang tiada lain hanya untuk seorang
pahlawan wanita yang selalu menjadi motivasi dalam hidupnya,
Setelah
ia selesai membuat puisi itu, ia bersandar di dinding yang sudah aga kusam,
dengan tetesan air mata ia terus membayangkan sosok seorang ibu yang hidup
tanpa seorang pelindung yang biasa dijadikan sebuah sandaran dikala luka dan
duka dikala susah dan bahagia, kini hanya Ajilah yang menjadi pelindung bagi
ibunya setelah 5 tahun sudah ia ditinggalkan oleh ayah tercintanya saat ia
duduk dibangki kelas 2 SD.
Melihat
jam yang berada tepat di depan pandangannya sudah hampir menujukan pukul 02.00,
suara pintu yang berpusat di kamar sebelahnyapun terdengan jelas oleh aji,
namun aji tetap khusu bersandar di dinding dengan pena di tangannya dan sehelai
kertas yang selalu menjadi teman curhatnya di kala sunyi, entah apa yang sedang
ia tuliskan lagi di atas sehelai kertas yang
dipegangnya itu.
Rasa
penasaran terhadap suara pintu yang beberapa menit lalu ia hiraukan kini ia
memacu untuk melangkahkan kakinya agar ia tahu siapa yang keluar atau masuk
dari kamar sebelahnya. Dengan langkah yang pelan layaknya seorang maling yang
akan mengambil sesuatu ia pun membuka pintu kamarnya menuju kamar yang berada
di sebelahnya. Dengan perlahan ia mendekati kamar dan mendengar tangisan yang
merintih di dalam kamar itu itu, kemudian dengan pelan dan tenang ia buka,
ternyata suara tangisan itu berasal dari ibunya yang ia liat sedang khusu berdo’a
sehabis shalat tahajud, dengan rasa iba ajipun meneteskan air mata dan
menghampri ibunya.
“Ibu...kenapa
nangis, ibu inget ayah yah?” tanya Aji dengan penuh rasa iba melihat ibunya
terinta
“Eh
Aji...baru bangun ya?” ujar sang ibu dengan berkaca-kaca mengusap air mata yang
menetes di wajahnya.
“Engga
ko nak, ibu Cuma sedih aja belum bisa ngebahagiain aji makannya ibu berdo’a
untuk Aji” jawab Ibu sambil mengelus-ngelus kepala Aji.
“Aji
bahagia ko Bu, karena aji masih punya ibu meskipun ayah udah ga ada” ujar aji
sambil menatap mata ibunya yang sayu kemerah-kemarahan.
“Ya
udah, Aji ke air gih ambil air wudhu terus shalat kita do’ain sama-sama buat
ayah” suruh sah ibu sambil mengambil al-qur’an yang akan dibacanya.
“ya
udah Aji ke air dulu Bu...”
Bakti
Aji kepada Ibunya membuat sang ibu merasa bersalah karena tidak mampu
memberikan lebih seperti orang tua lain yang memberikan segalanya pada anak
remaja seusianya. Semngat Aji untuk membahagiakan Ibunya terus menjadi tekad
yang kuat, ia berharap suatu hari ia dapat membantu ibnunya yang semakin hari
semakin terlihat lelah karena di usianya yang sudah hampir 40 tahun. Prestasi
Ajipun di sekolah sangat dibanggakan oleh gurunya-gurunya, selain ia berbakti
kepada ibunya, di sekolahpun ia terkenal dengan sebutan siswa yang teladan, tak
heran teman-temannyapun banyak yang menyukai sosok Aji.
Setelah
ia mengambil air wudhu, ia pun bergegas mengambil sarung dan peci untuk
dipakainya. Dengan penuh keharmonisan dan ketenangan ajipun shalat di sebelah
ibunya yang sedang membaca al-qu’an dengan suara yang syahdu.
***
Pagi
yang indah menyambut hanyat Aji dengan titian pajar yang mulai menyingsing dari
upuk timur ke upuk barat, burung-burung berkicau dari dahan satu ke dahan yang
lain, membuat semangat Aji untuk menuntut ilmu layaknya seekor singa yang
sedang kelaparan. Dengan bekal alakadarnya tak membuatnya berckecil hati, ia
tetap semangat melangkahkan kakinya demi sebuah cita-cita yang ia inginkan,
yaitu melihat sang ibu terinta Bahagia di usianya yang sudah aga tua.
“Ibu...Aji
berangkat ya bu. Terima kasih bekalnya ya Bu” pamit Aji sambil mencium tangan
ibunya.
“Iya
nak, belajar yang rajin...awas jangan nakal di sekolah, maafin ibu Cuma bisa
ngasih uang jajan seadanya” ucap sang ibu dengan perasaan haru.
“Cukup
ko Bu, alhmdulillah...” jawab Aji menenagkan perasaan ibuya.
Dengan
sepaeda tua yang bermerek BMX, ia terus mengayuh untuk berangkat ke sekolah,
sedikitpun ia tak pernah mengeluh dengan keadaannya yang tak seperti
orang-orang seusianya. Ibunya yang hanya seorang guru di sekolah agama tak
mampu membelikan kendaraan bermotor untuk pergi kesekolah seperti
teman-teamnnya. Walaupun ia hanya berangkat dengan sepeda tua hasil pemberian
dari saudaranya, tapi ia tak pernah kesiangan, ia selalu tepat waktu meski
jarak antara sekolah dan rumahnya aga lumayan jauh.
Hari
itu tepat pada hari selasa, dimana tugas bahasa indonesiapun untuk membuat
puisi telah menanti. Para siswa di kelas sangat ramai sekali membicarakan puisi
hasil karya mereka. Dengan beragam tema yang mereka gunakan pada puisi mereka.
Tak
lama kemudian guru bahasa indonesia yang biasa di sapa dengan nama Bu Mirapun
datang dengan senyuman dan salam kepada para siswanya.
“Selamat
pagi anak-anak” ujar Bu Mira dengan senyum yang merona.
“Pagijuga
Bu...” jawab kompak anak-anak kelas
Seperti biasa bu Mira mengabsen
anak-anak kelasnya, untuk bisa mengetahui siapa yang tidak hadir. Sosok Bu Mira
sangat ramah dan peyang sekali, ia mengetahi sosok kehidupan para siswanya,
sehingga tak aneh kalau setiap mata pelajarannya tak ada satupun yang absen.
“ Anak-anak gimana sudah beres tugas
puisi yang ibu berikan meinggu lalu?” tanya bu Mira dengan suara yang khas
“Sudah Bu...” jawab serentak seluruh
siswa
“ baik lah anak-anak, sebelun ibu
melanjutkan ke materi selanjutnya, ibi akan memanggil satu-persatu di antaea
kalian untuk membacakan puisi hasil kalian. Ibu harap kalian menampilkan yang
terbaik” ujar bu Mira
hari keberuntunganpun tiba untuk
aji, dimana ia adalah salah satu siswa yang pertamana yang di pilih bu Rini
untuk membacakan puisi hasil karyanya. Dengan mimik muka yang tenang ia pun
berjalan ke depan dengan penuh kesederhanaan, ia berdiri di sebelah bu Mira dan
tepat di hadapan teman-temannya.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi Ibu
Rini yang selalu kita banggakan, selamat pagi teman-teman tercintaku,
terimakasih saya ucapkan kepada Bu Mira yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk membacakan sebuah puisi. Puisi ini saya beri judul Ibu.
Ibu....
ku pandangi sayu matamu
saat kau tidur lelap
rasa lelah, letih, lunglay
terpancar di wajahmu
setelah seharian penuh kau
kerahkan hidupmu untukku
untuk menuntaskan kewajibanmu
sebagai peganti ayah
Ibu....
Aku ingin menciummu, dengan
kehangatan seorang anak
Dan bercerita tentang apa yang
ku inginkan
Untuk membuatmu bahagia
Untuk membuatmu tersenyum
Aku ingin mengukir senyummu
dalam setiap langkahku
Untuk menyongsong hari tuamu
Hari yang penuh kehangatan dan
kebahagiaan meski tanpa ayah
Dengan serentak teman-teman
sekelasnya memberikan tepuk tangan untuk mengapresiasi puisi hasil karya Aji,
Ibu gurunya takjub sekali melihat ekpresi yang Aji tunjukan ketika membaca
puisi. Dengan penuh penghayatan ajinpun meneteskan air mata, bahkan ada di
antara temannyapun yang ikut meneteskan air matanya. Aji teringat akan sosok
Ibunya tercinta yang sangat ia banggakan. Kepergian ayahnya membuat ajisemakin
menyayangi dan menjaga ibu dan adiknya.sifat yang tegas dan tak pernah putus
asa selalu aji perlihatkan pada semua orang. Puisi yang ia bacakan tiada lain
mewakili apa yang sedang ia rasakan. Karena penghayatannya yang begitu mendalam
sampai-sampai bu Mirapun Mengelus-ngelus kepalanya dengan mata yang
berkaca-kaca.
To be
continue