1/18/2013

JEJAK BERDARAH KOMUNIS



Pada perkembangannya kita akan membahas tentang perkembangan dan ideologi komunis, sebagai mana yang telah kita saksikan betapun indah dan manis janji mereka untuk menciptakan perdamaian dan keadilan di dunia, teori Mark dan Enjels ternyata malah bersimbah darah dan menebar maut. Dengan menjadikan teori Darwin sebagai teori pembenaran secara ilmiahnya, ideologi komunis tersebut begitu cepat dalam perkembangannya , dan memunculkan revolusi pertama di Rusia.
Setelah meraih kekuasaan, Lenin, sang pemimpin revolusi medirikan pemerintahan diktator dan menebar ketakutan ke seantero Rusia. Kini kita tahu bahwa Lenin sama sekali tidak mempunyai rasa belas kasih sedikit pun pada musuhnya. Dan ia bertanggung jawab atas puluhan ribu penentangnya yang di siksa hingga mati atau di tembak.
Lebih jauh, kita juga tahu bahwa kelaparan akibat kebijakannya yang salah telah merenggug 5juta nyawa rakyat tak berdosa. Fakta-fakta yang dibenarkan oleh arsip ini mengungkap sejah berdarah komunisme kepada kita semua.
Lembaran paling berdarah dari sejarah kelam itu, ternyata, ditulis oleh diktator lainnya, yang bahkan jauh lebih kejam dari Lenin. Diktator itu adalah Stalin, yang dinobatkan sebagai pembunuh terkejam sepanjang sejarah.
PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH REZIM SETALIN
1.      Bencana Akibat Kebijakan Kepemilikan Oleh Negara
Stalin memerintah stetelah kepemimpinan Lenin dan memerintah Unisopyet dengan menebar ancaman dan siksaan selam 30 tahun berikutnya. Selama itu juga ia bertanggung jawab atas hilangnya 40ribu juta nyawa.
Stalin menghabiskan tahun-tahun pertamanya untuk memperkuat kedudukannya, ia berhasil menyingkirkan Rously yang dianggap sebagai pesaing pertamanya, yang kemudian di tangkap dan diasingkan.
Di tahaun 1929, Stalin memberlakukan kebijakan yang disebut dengan Kebijakan Kepemilikan oleh Negara. Percobaan lenin pengambil alihan tanah oleh negara sudah setengah jalan, dan petani rusia masih bertani di lahan mereka sendiri serta menjual hasil tani mereka sendiri di pasar. Dengan kebijakan itu Stalin mencoba untuk meneruskan usaha yang dirintis oleh Lenin sebelumnya dengan mengambil alih hasil tani dan tanah seluruhnya atasnama negara.
Kebijakan tersebut diawali dengan sebuah document film yang sering kita sebut denga “Propaganda” dimana Stalin menaiki traktor serta memainkan perannya sebagai pemimpin yang akan membawa pertanian Unisopyet ke era baru. Para petani rusia telah diperlihatkan pada perayaan komunisme didepan karikatur yang disebut dengan Kar mark sambil menari kegirangan.
Namun kenyataan yang ada sangatlah berbeda, ditahun 1930 hasil panen petani mulai disita oleh pemerintah, tentara merah mengambil satu demi satu disetiap lahan, selain itu ada juga sejumlah petani yang menyimpan rahasia hasilnya untuk tidak diberikan kepada pemerintah, hal itu membuat tentara partai komunis mencari kesetiap penjuru sampai pada akhinya menemukan sebagaian hasil tani yang disembunyikan oleh para petani itu. Selain hasil tani para petugas juga menyita alat-alat untuk bertani sampai akhirnya para petani diterlantarkan dengan tidak memiliki apa-apa.
Akhinya bencana yang disebut Lenin itupun menguntungkan bagi orang komunis yaitu terjadinya kelaparan yang tidak bisa dielakan.
***

Dedikasi untuk Ibu



“Dedikasi untuk Ibu”
Ibnu Saepul Bahri

ibu
ku pandangi sayu matamu
saat kau tidur lelap
rasa lelah, letih, lunglay terpancar di wajahmu
setelah seharian penuh kau kerahkan hidupmu untukku
untuk menuntaskan kewajibanmu sebagai peganti ayah
Ibu
Aku ingin menciummu, dengan kehangatan seorang anak
Dan bercerita tentang apa yang ku inginkan
Untuk membuatmu bahagia
Untuk membuatmu tersenyum
Aku ingin mengukir senyummu dalam setiap langkahku
Untuk menyongsong hari tuamu
Hari yang penuh kehangatan dan kebahagiaan meski tanpa ayah
Demikianlah puisi yang di bacakan oleh Aji, Seorang anak yang duduk di bangku kelas 2 SMP itu. Puisi itu di buatnya ketika malam saat ibunya tertidur lelap, dengan tetesan air mata ia ia curahkan rasa kasih sayang yang penuh kelembutan untuk ibunya, lewat goresan tinta hitam yang menari di atas kertas putih dengan mengikuti alunan pemikiran dan perasaan  terus ia tumpahkan demi sebuah karya yang tiada lain hanya untuk seorang pahlawan wanita yang selalu menjadi motivasi dalam hidupnya,
Setelah ia selesai membuat puisi itu, ia bersandar di dinding yang sudah aga kusam, dengan tetesan air mata ia terus membayangkan sosok seorang ibu yang hidup tanpa seorang pelindung yang biasa dijadikan sebuah sandaran dikala luka dan duka dikala susah dan bahagia, kini hanya Ajilah yang menjadi pelindung bagi ibunya setelah 5 tahun sudah ia ditinggalkan oleh ayah tercintanya saat ia duduk dibangki kelas 2 SD.
Melihat jam yang berada tepat di depan pandangannya sudah hampir menujukan pukul 02.00, suara pintu yang berpusat di kamar sebelahnyapun terdengan jelas oleh aji, namun aji tetap khusu bersandar di dinding dengan pena di tangannya dan sehelai kertas yang selalu menjadi teman curhatnya di kala sunyi, entah apa yang sedang ia tuliskan lagi di atas sehelai kertas yang  dipegangnya itu.
Rasa penasaran terhadap suara pintu yang beberapa menit lalu ia hiraukan kini ia memacu untuk melangkahkan kakinya agar ia tahu siapa yang keluar atau masuk dari kamar sebelahnya. Dengan langkah yang pelan layaknya seorang maling yang akan mengambil sesuatu ia pun membuka pintu kamarnya menuju kamar yang berada di sebelahnya. Dengan perlahan ia mendekati kamar dan mendengar tangisan yang merintih di dalam kamar itu itu, kemudian dengan pelan dan tenang ia buka, ternyata suara tangisan itu berasal dari ibunya yang ia liat sedang khusu berdo’a sehabis shalat tahajud, dengan rasa iba ajipun meneteskan air mata dan menghampri ibunya.
“Ibu...kenapa nangis, ibu inget ayah yah?” tanya Aji dengan penuh rasa iba melihat ibunya terinta
“Eh Aji...baru bangun ya?” ujar sang ibu dengan berkaca-kaca mengusap air mata yang menetes di wajahnya.
“Engga ko nak, ibu Cuma sedih aja belum bisa ngebahagiain aji makannya ibu berdo’a untuk Aji” jawab Ibu sambil mengelus-ngelus kepala Aji.
“Aji bahagia ko Bu, karena aji masih punya ibu meskipun ayah udah ga ada” ujar aji sambil menatap mata ibunya yang sayu kemerah-kemarahan.
“Ya udah, Aji ke air gih ambil air wudhu terus shalat kita do’ain sama-sama buat ayah” suruh sah ibu sambil mengambil al-qur’an yang akan dibacanya.
“ya udah Aji ke air dulu Bu...”
Bakti Aji kepada Ibunya membuat sang ibu merasa bersalah karena tidak mampu memberikan lebih seperti orang tua lain yang memberikan segalanya pada anak remaja seusianya. Semngat Aji untuk membahagiakan Ibunya terus menjadi tekad yang kuat, ia berharap suatu hari ia dapat membantu ibnunya yang semakin hari semakin terlihat lelah karena di usianya yang sudah hampir 40 tahun. Prestasi Ajipun di sekolah sangat dibanggakan oleh gurunya-gurunya, selain ia berbakti kepada ibunya, di sekolahpun ia terkenal dengan sebutan siswa yang teladan, tak heran teman-temannyapun banyak yang menyukai sosok Aji.
Setelah ia mengambil air wudhu, ia pun bergegas mengambil sarung dan peci untuk dipakainya. Dengan penuh keharmonisan dan ketenangan ajipun shalat di sebelah ibunya yang sedang membaca al-qu’an dengan suara yang syahdu.
***
Pagi yang indah menyambut hanyat Aji dengan titian pajar yang mulai menyingsing dari upuk timur ke upuk barat, burung-burung berkicau dari dahan satu ke dahan yang lain, membuat semangat Aji untuk menuntut ilmu layaknya seekor singa yang sedang kelaparan. Dengan bekal alakadarnya tak membuatnya berckecil hati, ia tetap semangat melangkahkan kakinya demi sebuah cita-cita yang ia inginkan, yaitu melihat sang ibu terinta Bahagia di usianya yang sudah aga tua.
“Ibu...Aji berangkat ya bu. Terima kasih bekalnya ya Bu” pamit Aji sambil mencium tangan ibunya.
“Iya nak, belajar yang rajin...awas jangan nakal di sekolah, maafin ibu Cuma bisa ngasih uang jajan seadanya” ucap sang ibu dengan perasaan haru.
“Cukup ko Bu, alhmdulillah...” jawab Aji menenagkan perasaan ibuya.
Dengan sepaeda tua yang bermerek BMX, ia terus mengayuh untuk berangkat ke sekolah, sedikitpun ia tak pernah mengeluh dengan keadaannya yang tak seperti orang-orang seusianya. Ibunya yang hanya seorang guru di sekolah agama tak mampu membelikan kendaraan bermotor untuk pergi kesekolah seperti teman-teamnnya. Walaupun ia hanya berangkat dengan sepeda tua hasil pemberian dari saudaranya, tapi ia tak pernah kesiangan, ia selalu tepat waktu meski jarak antara sekolah dan rumahnya aga lumayan jauh.
Hari itu tepat pada hari selasa, dimana tugas bahasa indonesiapun untuk membuat puisi telah menanti. Para siswa di kelas sangat ramai sekali membicarakan puisi hasil karya mereka. Dengan beragam tema yang mereka gunakan pada puisi mereka.
Tak lama kemudian guru bahasa indonesia yang biasa di sapa dengan nama Bu Mirapun datang dengan senyuman dan salam kepada para siswanya.
“Selamat pagi anak-anak” ujar Bu Mira dengan senyum yang merona.
“Pagijuga Bu...” jawab kompak anak-anak kelas
            Seperti biasa bu Mira mengabsen anak-anak kelasnya, untuk bisa mengetahui siapa yang tidak hadir. Sosok Bu Mira sangat ramah dan peyang sekali, ia mengetahi sosok kehidupan para siswanya, sehingga tak aneh kalau setiap mata pelajarannya tak ada satupun yang absen.
            “ Anak-anak gimana sudah beres tugas puisi yang ibu berikan meinggu lalu?” tanya bu Mira dengan suara yang khas
            “Sudah Bu...” jawab serentak seluruh siswa
            “ baik lah anak-anak, sebelun ibu melanjutkan ke materi selanjutnya, ibi akan memanggil satu-persatu di antaea kalian untuk membacakan puisi hasil kalian. Ibu harap kalian menampilkan yang terbaik” ujar bu Mira
            hari keberuntunganpun tiba untuk aji, dimana ia adalah salah satu siswa yang pertamana yang di pilih bu Rini untuk membacakan puisi hasil karyanya. Dengan mimik muka yang tenang ia pun berjalan ke depan dengan penuh kesederhanaan, ia berdiri di sebelah bu Mira dan tepat di hadapan teman-temannya.
            “Assalamu’alaikum, selamat pagi Ibu Rini yang selalu kita banggakan, selamat pagi teman-teman tercintaku, terimakasih saya ucapkan kepada Bu Mira yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk membacakan sebuah puisi. Puisi ini saya beri judul Ibu.
Ibu....
ku pandangi sayu matamu
saat kau tidur lelap
rasa lelah, letih, lunglay terpancar di wajahmu
setelah seharian penuh kau kerahkan hidupmu untukku
untuk menuntaskan kewajibanmu sebagai peganti ayah
Ibu....
Aku ingin menciummu, dengan kehangatan seorang anak
Dan bercerita tentang apa yang ku inginkan
Untuk membuatmu bahagia
Untuk membuatmu tersenyum
Aku ingin mengukir senyummu dalam setiap langkahku
Untuk menyongsong hari tuamu
Hari yang penuh kehangatan dan kebahagiaan meski tanpa ayah

            Dengan serentak teman-teman sekelasnya memberikan tepuk tangan untuk mengapresiasi puisi hasil karya Aji, Ibu gurunya takjub sekali melihat ekpresi yang Aji tunjukan ketika membaca puisi. Dengan penuh penghayatan ajinpun meneteskan air mata, bahkan ada di antara temannyapun yang ikut meneteskan air matanya. Aji teringat akan sosok Ibunya tercinta yang sangat ia banggakan. Kepergian ayahnya membuat ajisemakin menyayangi dan menjaga ibu dan adiknya.sifat yang tegas dan tak pernah putus asa selalu aji perlihatkan pada semua orang. Puisi yang ia bacakan tiada lain mewakili apa yang sedang ia rasakan. Karena penghayatannya yang begitu mendalam sampai-sampai bu Mirapun Mengelus-ngelus kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca.
To be continue