4/26/2025

"RASA: Jalan Pulang Menuju Diri dan Ilahi"

Gerak di luar adalah bayangan dari gerak di dalam. Alam semesta ini adalah cermin dari batin kita sendiri

Dalam perjalanan kehidupan, saya memulai latihan rasa bukan hanya dengan berpikir atau membaca, tetapi dengan masuk ke dalam. Saya belajar menyelam ke kedalaman batin saya sendiri—berdiam, memperhatikan, dan menghayati setiap detik kehidupan dengan penuh kesadaran.

Saya hidup dalam penyelaman dan penghayatan, tidak hanya dalam momen sunyi, tapi juga dalam keseharian yang biasa. Dalam segala hal yang terpandang oleh mata, saya belajar untuk merespek dan menghormatinya, lalu menyelaminya seolah menjadi bagian darinya.

Ketika saya melihat sebuah batu, saya tidak hanya melihat benda keras yang diam. Saya belajar menyatukan rasa—seolah saya adalah batu itu. Saya rasakan bagaimana ia menanggung panas mentari siang dan dingin hujan malam, diam dalam keteguhan, dalam sunyi yang penuh makna.

Lalu saya lanjutkan kepada pohon, air, tanah, binatang, bahkan bulan, bintang, matahari, awan, dan angin. Setiap elemen alam semesta, saya selami dengan hati. Saya hayati hingga seluruh sel tubuh saya seakan bersatu dengan mereka. Saya merasa menjadi bagian dari semesta, dan semesta menjadi bagian dari saya.

Ketika penghayatan itu semakin dalam, saya menyadari bahwa alam ini bukan lagi objek di luar diri, tapi sudah menyatu, manunggal dalam rasa. Saya menjadi awan, dan awan itu bergerak mengikutiku. Saya menjadi angin, dan ia pun berhembus bersama napas saya.

Dari situ, saya paham bahwa segala gerak di luar adalah pantulan dari gerak di dalam. Alam bergerak sebagaimana hati kita bergerak. Maka saya pun mulai memahami alur-orbit semesta, dan dari situ saya mengenal siapa itu Robbul 'Alamin, Sang Pengatur Segala.

Dalam penyelaman rasa ini, perlahan saya mulai mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Saya bisa ikut meneteskan air mata saat menyentuh duka dan gejolak yang dirasakan jiwa lain. Saya bisa menangis tanpa tahu kenapa, hanya karena rasa yang menyatu dengan penderitaan sesama.

Dulu, saya sering menulis sambil menangis. Bukan karena sedih pribadi, tapi karena rasa itu mengalir dalam. Rasa itu membawa saya pada firman Tuhan yang menggetarkan batin:

"Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri, yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat menginginkan kebaikan bagi kamu, dan ia pula menumpahkan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman."
(QS. At-Taubah: 128)

"Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia; kepada-Nya aku berserah diri, dan Dialah Pemilik ‘Arsy yang agung.'"
(QS. At-Taubah: 129)

Ayat ini, bagi saya, bukan sekadar teks. Ia adalah pantulan rasa kasih Nabi yang begitu dalam terhadap umatnya. Rasa itulah yang ingin saya latih—agar saya pun, meski tak sempurna, bisa menyentuh kasih itu dalam diri.

4/25/2025

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

Oleh : Asep Zaenul Falah

Sebagai seorang kepala madrasah yang selama ini berjuang dalam keterbatasan, namun tak pernah padam harapan, saya merasa terpanggil untuk menyampaikan suara hati atas langkah yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, terkait evaluasi dan penahanan sementara dana hibah.

Kebijakan ini, bagi sebagian pihak mungkin terasa mengejutkan, bahkan kontroversial. Namun bagi kami—lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar jangkauan kekuasaan dan politik—justru merupakan angin segar yang kami rindukan sejak lama. Langkah ini menjadi simbol keberanian dan ketegasan seorang pemimpin yang tidak silau oleh kepentingan politik sesaat, melainkan berpihak pada keadilan dan kebenaran yang hakiki.

Fakta di lapangan selama ini menunjukkan betapa tajamnya ketimpangan dalam penyaluran dana hibah. Banyak lembaga yang mendapatkan kucuran dana bukan karena urgensi dan kebutuhan riilnya, melainkan karena kedekatan politik. Sementara kami yang tidak memiliki akses politik, hanya bisa memandangi dari kejauhan, merasa termarjinalkan dan sering kali tak terdengar suaranya.

Langkah evaluasi total yang diambil oleh Kang Dedi adalah jalan awal menuju perubahan sistem yang lebih adil, transparan, dan merata. Tatakelola dana publik harus didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan pada jaringan kekuasaan. Sudah saatnya Jawa Barat membangun peradaban pendidikan yang berpondasi pada nilai, bukan sekadar angka.

Kami, para pendidik di akar rumput, mendambakan sosok pemimpin yang mampu menjadi teladan, yang melihat rakyat dengan mata hati, bukan dengan kepentingan. Sosok pemimpin yang berani meluruskan apa yang bengkok, meskipun harus menanggung risiko.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh elemen masyarakat Jawa Barat—terutama para pelaku pendidikan dan penggerak perubahan di komunitas lokal—untuk mendukung dan mengawal setiap langkah kebijakan yang berpihak pada keadilan. Ini bukan sekadar soal dana, ini adalah tentang masa depan generasi kita.

Semoga niat baik ini mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi awal dari lembaran baru bagi Jawa Barat yang lebih adil dan bermartabat.

4/24/2025

"Antara Bapak Dewek dan Bapak Aing” Sebuah Catatan Kritis dari Kepala Madrasah

Sebagai pendidik sekaligus bagian dari elemen masyarakat yang terus berupaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kebeningan hati, dan keteladanan dalam kepemimpinan, saya merasa perlu memberikan sedikit catatan terhadap tren kemungkinan pencitraan yang sedang berkembang di Kabupaten Sukabumi, khususnya terkait dengan istilah “Bapak Dewek” yang disematkan pada Bupati Sukabumi.

Istilah ini secara sepintas memang terdengar akrab dan merakyat, namun jika ditelisik lebih dalam, ada sesuatu yang mengganjal secara kultural maupun etis. Mengapa? Karena istilah ini terkesan dipaksakan untuk membentuk kedekatan artifisial antara pemimpin dan masyarakat, sesuatu yang pada akhirnya bisa menjadi kontraproduktif, terutama bagi generasi muda khusunya para pelajar yang sedang mencari sosok teladan sejati.

Mari kita bandingkan secara jujur dengan istilah “Bapak Aing” yang melekat pada figur Kang Dedi Mulyadi, sebagai GUbernur di Jawa Barat. Julukan tersebut bukan lahir dari tim branding, bukan pula dari konstruksi politik, tetapi dari ketulusan seorang anak kecil bernama Egi, yang kala itu menyebut Kang Dedi sebagai “Bapak Aing” secara spontan karena kedekatan emosional dan kasih sayang yang ia rasakan. Dari sanalah istilah itu berkembang, menyebar, dan akhirnya diterima oleh masyarakat luas sebagai simbol kepemimpinan yang membumi dan berpihak pada Masyarakat kecil, Masyarakat yang selama ini terasingkan.

Sementara itu, istilah “Bapak Dewek” terasa lahir dari dapur marketing politik, bukan dari ruang hati masyarakat kecil. Ia seakan ingin menggiring persepsi publik bahwa kedekatan bisa dibentuk melalui narasi, bukan melalui aksi nyata yang dirasakan oleh rakyat. Padahal, istilah yang melekat pada seorang pemimpin, terutama di tengah krisis kepercayaan publik, harusnya lahir dari bukti keberpihakan dan kebijakan yang berdampak, bukan sekadar permainan diksi.

Sebagai kepala madrasah, saya sangat menyadari bahwa narasi kepemimpinan memiliki dampak langsung pada pembentukan karakter siswa. Jika narasi itu artifisial dan dibuat-buat, maka ada risiko besar generasi muda akan belajar bahwa pencitraan bisa menggantikan keteladanan. Ini tentu tidak sehat untuk masa depan kepemimpinan kita.

Saya tidak bermaksud merendahkan atau menolak istilah “Bapak Dewek”, namun kita harus jujur bahwa penyematan sebuah gelar informal dari rakyat haruslah tumbuh dari bawah ke atas—dari pengalaman masyarakat, dari hati yang tersentuh oleh kebijakan, dari air mata yang terhapus karena hadirnya solusi nyata dari sang pemimpin.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh pihak, khususnya para pengambil kebijakan di Kabupaten Sukabumi, untuk lebih mengedepankan substansi daripada pencitraan, lebih menanamkan keberpihakan daripada simbolisme, dan lebih mementingkan warisan nilai daripada sekadar warisan nama.

Pemimpin yang besar tidak memerlukan gelar buatan, karena panggilan cinta rakyat akan lahir sendiri dari ketulusan dan keberpihakannya.

PENDIDIKAN SEKOLAH - Menanam harapan, bukan sekadar angka kelulusan



Sekolah bukanlah pabrik yang menghasilkan produk jadi. sekolah adalah taman yang menumbuhkan manusia. di dalamnya, anak-anak belajar bukan hanya tentang angka dan huruf, tetapi tentang arti menjadi manusia seutuhnya. sebagai kepala madrasah, saya menyaksikan setiap hari bagaimana anak-anak tumbuh—dengan gelisahnya, dengan semangatnya, dengan pertanyaannya yang polos tapi bermakna.

Pendidikan sekolah, dalam pandangan saya, bukanlah proyek lima tahunan. ia adalah ikhtiar panjang yang melebihi umur pemimpin dan masa jabatan. karena itu, saya percaya bahwa arah pendidikan seharusnya tidak mudah berubah oleh dinamika politik sesaat. nilai-nilai dalam pendidikan harus dijaga dalam kebeningannya—jujur, sabar, dan berpihak pada masa depan anak-anak, bukan pada ambisi siapa pun.

Hari ini kita dihadapkan pada tantangan besar: sekolah dituntut untuk menghasilkan lulusan yang "siap kerja", tapi juga harus membentuk pribadi yang utuh, yang tahu cara menghormati orang tua, mencintai tanah air, dan berempati pada sesama.

Sekolah dituntut menghasilkan prestasi akademik, tapi juga diharapkan membina karakter yang kuat dan hati yang lembut. ini bukan pekerjaan ringan, tapi saya yakin, jika kita ikhlas dan konsisten, hasilnya akan jauh melampaui sekadar angka kelulusan.

di madrasah kami, kami mencoba merawat ruh pendidikan: menjadikan guru bukan sekadar pengajar, tapi pendamping jiwa; menjadikan kurikulum bukan sekadar silabus, tapi jembatan menuju kehidupan yang bermakna. kami sadar, gedung kami mungkin tak semegah sekolah kota, tapi kami punya harapan yang besar. kami ingin anak-anak kami tumbuh dengan jati diri, dengan akhlak, dan dengan kesadaran bahwa hidup bukan hanya soal mencari pekerjaan, tapi soal menjadi manusia yang berguna.

saya menulis ini bukan untuk mengeluh, bukan pula untuk menggurui. saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan siapa pun yang masih percaya pada pendidikan: bahwa sekolah adalah harapan. mari jaga sekolah agar tetap menjadi ruang yang merdeka, tempat anak-anak kita menemukan cahaya dalam dirinya. bukan cahaya dari sorot politik, tapi cahaya dari dalam: dari ilmu, akhlak, dan kasih sayang.