Islam adalah agama universal, yang selalu berdialog dengan situasi
struktural historis, di tempat yang pernah ia singgahi. Pergulatannya dengan
system ekonomi-politik, setting social, serta
budaya yang pernah Ia jumpai,
tidak membuatnya kaku untuk berbaur dengan tradisi yang lain. Bahkan
kehadirannya di suatu ruang dan waktu tertentu, selalu menciptakan perubahan
yang berarti. Wal hasil, dalam keadaan apapun dan dimana pun, islam selalu
melakukan take and give, dengan tradisi yang lain, dengan dibarengi
karekteristik islam yang kuat.
Paparan tersebut menghendaki, islam yang ada di Indonesia pun, harus
dipahami sebagai sebuah produk sejarah,
yang akan terus berdialog dengan realitas social. Sebelum melangkah lebih jauh,
mari kita tengok terlebih dahulu, peta penyebaran Islam di nusantara pada masa
lampau. Menurut catatan sejarah Dinasti
Tang(cina), dari kali pertama Islam
dibawa saudagar Persia dan arab ke bumi
nusantara, pada tahun 670 M, hingga
tahun 1433M, formasi social-keagamaan di sepanjang pesisir pantai utara,
terdiri dari dua kelompok. Kelompok Pertama, orang-orang asing, yaitu arab,
Persia dan cina yang menganut Islam. Dan kelompok kedua, penduduk pribumi yang
memegang keyakinan animisme dan dinamisme. Artinya, 7 abad lebih, Islam
bergerak secarfa lambat. Akan tetapi, pasca datangnya Wali Songo, dari tahun
1470M, hingga tahun 1515M, Islam bergerak secara massif dan progressif. Bahkan
adipati di pesisir pantai utara, hampir seluruhnya dipegang orang Islam.
Bayangkan, hanya kurang dari 50 tahun, Islam bisa bergerak dengan cepat.
Kemudian yang menjadi masalah pokoknya, kenapa ada perbedaan yang begitu
signifikan, antara penyebaran Islam yang sangat lambat pra Wali Songo, dengan
penyebaran Islam pasca datangnya Wali Songo, yang begitu cepat? Ternyata,
perbedaan yang begitu signifikan itu, dipengaruhi system social yang berlaku
pada masa itu. sebagaimana yang
tercantum dalam kitab halukantara, status seseorang, ditentukan oleh factor
ekonomi. Semakin kaya seseorang, maka semakin rendah status sosialnya. Dan
secara kebetulan, penyebar Islam pertama, adalah orang kaya raya, yaitu para
saudagar. Sementara, Wali Songo adalah para pengajar, yang di mata penduduk
pribumi tinggi derajatnya, karena mereka dianggap kaum brahmana(pengajar
spiritual yang menjauhi dunia). Jika factor struktur social begitu mempengaruhi
penyebaran Islam Wali Songo, maka factor
yang menentukan keberhasilan dakwah Wali Songo, kehebatan mereka mendialogkan
Islam dengan budaya local. Misalnya, nujuh bulanan yang didialogkan dengan
berdikir, dan pementasan wayang, yang diwarnai cerita Islam.
Sebuah catatan kecil penting untuk ditekankan dalam tulisan
ini. Meski harus meloncat langsung ke akhir abad 19. Pada periode itu, salah
satu Ormas Islam, yang bernama NU, pernah mengeluarkan fatwa Revolusi Jihad
untuk melawan penjajah, pada 10 November 1945. Artinya, Islam di nusantara,
tidak hanya berbicara pada tataran budaya saja, tetapi larut dalam perjuangan
melawan kesewenang-wenangan kolonialisme dan imperialism. Bahkan kajian sejarah
menunjukkan, bahwa kantong-kantong perlawanan menuju kemerdekaan, adalah
masyarakat tasawuf dan komunitas pesantren.
Kemudian,jika dulu di zaman kolonialisme dan imperialism, konstruksi
ketidakadilan struktural di tingkatan nasional maupun lokal, bisa menggerakkan
Islam sebagai bahan bakar untuk melakukan perlawanan. Hari ini, nampaknya Wajah
vulgar neoimperialisme tidak cukup mendapatkan jawaban responsif dari Islam.
Dalam banyak hal, dan dataran, secara kasat mata justru terjebak dengan gerak
kolaboratif dan kooptatif dengan kekuatan penindasan. Apa makna dan konsekuensi
sosial ke-islam-an kita, ketika dihadapkan kemiskinan yang semakin massif dan
eskalatif? Ketika dihadapkan dengan korupsi dan kebijakan yang antikerakyatan?
Kemudian hal yang terpenting, Apa yang harus kita lakukan, sebagai kader PMII
yang selalu mengklaim diri sebagai pembela kaum mustadafin, namun pada saat
yang sama, tidak pernah melakukan gerakan kongkrit dalam menghadapi kemiskinan
yang massif dan pejabat korup ?
Di titik inilah, tulisan ini mencoba untuk menggali
sejarah perjuangan Islam di nusantara kaitannya dengan peran PMII , agar mengembalikan
Islam menjadi kekuatan sejarah transformasional. Sebuah gerakan transformasional yang mencoba mengelak dari jebakan global dan
penjinakan neoliberal, sekaligus pemaknaan yang naïf, dan respons terhadap
pembajakan Islam oleh kalangan wahhabi dan salafi semata. Islam yang bukan sekedar dibenturkan dengan
wacana dan praktek kekerasan serta sikap antitradisi dan kemajemukan kultural
yang berbasis agama, namun Islam yang
berusaha menggerakkan perubahan sosial.
To be continue……..