6/15/2013

Catatan di Kampus Hijau

Kampus Uin SGD Bandung masih terdengar bising karena proses pembangunan kampus masih belum selesai, sementara sinar mentari menyinari kampus dengan begitu garangnya. Meskipun begitu, Asep Zaenul falah, mahasiswa program S1 jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI), nampaknya sama sekali tidak merasakan kepanasan. Bagaimana tidak,  mahasiswa yang  sering di sapa dengan panggilan Zef oleh teman-temannya itu sedang duduk asyik dengan secangkir kopi di bawang pohon rindang (DPR). Ditengah lalu-lalangnya para mahasiswa dengan penuh pecaya diri dia berjalan menghampiri teman akrabnya yang bernama Ilham seraya berkata, “Ham gimana tentang ageda kita bulan ini?
Ilham terlihat aga kebingungan saat tiba-tiba zef datang dihadapannya dan menanyakan tentang agenda bulan ini, dengan gaya yang khas da so tau ia menjawab.” Agenda yang mana Zef..?” sahutnya sambil mengingat-ingat kembali.
“ah kamu Ham masih muda udah pikun gitu kaya orang yang udah tua aja” kata Zef sambil menyapa pundaknya dan berjalan mencari tempat duduk disekitarnya sambil meneruskan pembicaraannya, “agenda buat gerakan- gerakan yang revolusioner itu Ham”,
“O..h itu zef, Ok kira-kira kapan kita melakukan gerakan-gerakan revolusioner untuk melakukan sebuah perubahan kea rah lebih baik, soalnya saya sudah tak sabar ni dan jengkel melihat kampus kita yang kaya gini.” jawab ilham dengan jiwa nasionalisnya yang menggebu-gebu - maklum ia kan salah satu aktivis kampus yang baru naek daun.

Bagai mana bisa, tiga bulan yang lalu ilham menjadi salah satu plopor yang menolak terhadap biaya PPL yang dianggapnya tidak prosedural,  karena untuk biaya PPL itu sendiri para mahasiswa semester VI harus mengeluarkan uang sebesar 650ribu setara dengan uang bekalnya untuk satu bulan. Tapi ia sama sekali tidak mempersoalkan tentang seberapa besar atau kecilnya uang yang dikeluarkan, akan tetapi hanya satu yang menjadi pertanyaanya yaitu “ secara procedural tidak?”.
Pertanyaan itulah yang masih terdengar ketelingaku dari seorang aktivis yang baru naek daun itu. Saya masih ingat saat Ilham berkunjung ke kosanku hanya untuk  berdiskusi mengenai biaya PPL yang dianggapnya tidak prosedural. dengan sebatang roko ia memulai sebuah pertanyaan-pertanyaan riangan kapada saya dengan ungkapan, “Zef gimana kamu mau jadi ikut ga PPL ke Jogja bulan ini..?”
“emang kenapa Ham?” jawabku sambil mereguk kopi hitam yang masih panas.
“Engga Zef saya sedikit aga heran dengan kebijakan birokrasi..!!!, coba kamu bayangin masa kita harus bayar lagi padahal biaya praktikum sudah jelas-jelas ada alokasinya dari pihak al-jami’ah dan setiap semester kita bayar 300rbu untuk praktikum” tutur Ilham dengan muka aga serius dan sedikit kelihatan kesal. “jadi gimana Zef menurutmu? Lanjutnya kepadaku dan berharap ada solusinya.
“kalau saya si udah komitmen untuk tidak ikut PPL ke Jogja soalnya saya tidak punya uang untuk bayarnya, kan tau sendiri kamu Ham saya hanya dibiayai oleh ibuku saja, lagian kata senior-senior kita yang dulu pernah PPL ke Jogja juga bilang katanya percuma disana juga paling Cuma photo-photo’an doang, setelah itu tetap ko bikin laporannya ke bah google lagi”.
Mendengar apa yang diutarakan oleh Zef kepada Ilham, membuatnya semakin yakin untuk menolaknya. Sambil menyalakan rokoknya kembali Ilham mencoba untuk melanjutkan pernyaannya. “trus gimana dong zef solusinya..?
“solusi apa..?” kataku.
“Ya…solusi untuk untuk menolaknya bahkan kalau bisa agenda PPL ke Jogja ini harus dihapuskan” sahutnya dengan aga sewot
“menurut saya si terkait masalah PPL yang kata kamu itu harus dihapuskan saya kurang setuju, soalnya PPL itu penting bagi para mahasiswa dan itu ada dalam TRI DHARMA Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Akan tetapi yang harus jadi persoalan terkait PPL itu sendiri, substansial tidak. Kalau pendapat saya si mengenai PPL ke Jogja tidak harus kamu tolak juga Ham, soalnya kasian mahasiswa dan dosen-dosen yang sudah mengkonsepnya dan kasian juga untuk mereka yang belum pernah ke Jogja seperti saya, kan bisa sambil jalan-jalan.” Jawabku sambil tersemyum aga sedik menggurui.
“bener juga si Zef apa kata kamu, tapi masa si ke Jogja aja kita harus bayar sebesar 650rebu padahal kan banyakan.” Kata Ilham dengan muka aga sedikit enak di pandang
“emang kamu mau ikut Ham?” tanyaku
“kalau aku si sama ama kamu Zef, untuk tidak ikut.”
“terus kenapa kamu harus pusing-pusing segala mengurusi hal itu” tanyaku dengan penuh heran.
“Ya…saya Cuma kasian Zef sama temen-temen kita yang kurang mampu dan harus banting tulang untuk mencari uang sebesar itu, kemarin saya dengarkan ungkapan si Dita.”
“emang kenapa si Dita.?” Tanyaku dengan aga heran
“saya lihat Dita belakangan ini tak seperti biasanya, tiap kuliah ia langsung pulang, jarang sekali ngobrol-ngborol sambil menikmati secangkir kopi dengan kita.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh Ilham mengenai Dita saya semakin penasaran, dan emang benar apa yang dikatakan Ilham itu. Dita adalah sahabat saya di kelas, sosoknya yang kalem dan wajahnya yang putih menjadi pelengkap dalam dirinya. Sehabis pulang kuliah ia selalu mengajak saya dan Ilham untuk menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, agar kepenatan setelah mengikuti perkuliahan berharap hilang, Akan tetapi akhir-akhir ini sayapun merasakan sikap Dita yang tak seperti biasanya.
“Zef ko nglamun ci kamu..? ada apa?” bentak ilham. Ya udah aku mau pulang dulu ni, pacarku dari tadi ngsms’an terus. Makasih Zef ya, tar kita obrolin lagi masalah ini.
***
waktu sudah menujukan pukul 10.05, mengingat beberpa jam lagi aku harus berangkat kuliah sebagai bentuk baktiku pada orang tua. Dengan segera ku ambil peralatan mandi yang telah siap menunggu di atas rak sepatu yang biasa ku simpan.
Sesampainya di kampus, aku menerima sms dari kosma kelas yang mengimformasikan bahwa hari ini kuliah libur, karena dosennya sakit. Informasi tersebut membuat saya kesal. bagaimana tidak, setiap aku mau kuliah dosennya kadang-kadang ga masuk, tapi pas aku tidak kuliah, eh..dosennya malah pada masuk.
Karena hari ini tidak ada kuliah, jadi saya harus melakukan kegiatan yang tak pernah didapatkan dibangku kuliah yang harus menghabiskan beberapa SKS. Tapi kebingungan kembali melanda fikiranku, apa yang harus aku lakukan. Mengingat semangat ilham dan rasa kepeduliannya terhadap sesama, membuat saya harus melakukan sesuatu untuk membantunya.
Kegiatanku hari ini melakukan sebuah advokasi kebijakan mengenai PPL dengan cara lobi.
Sasaran akhir lobi adalah perubahan kebijakan public. Perubahan kebijakan public yang dimaksud bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti: (i) pencabutan sebuah peraturan (ii) penggantian sebuah peraturan (iii) penyempurnaan peraturan, dan sebagainya. Sementara bentuk perauran itu bisa terdiri atas UU, SK Mentri atau Rektor, SK Gubernur atau Dekan, Perda atau sebaginya. Mungkin itulah kegiatan aktivis sepeti saya yang akan melakukan advokasi kebijakan. Hal ini khusunya terkait dengan kebijakan PPL ke jogja.
Aku langkahkan kaki ini untuk mencari informasi mengenai biaya praktikum – Karo yang berada di aljami’ah adalah sasaranku.
Setibanya di lantai 2 al-jami’ah, tepat di depan kantor Karo yang mengurusi bagian keuangan. Entah mengapa jantungku berdetak kencang. mungkin karena sebelumnya saya belum mengenalnya dan ini adalah kali pertamaku.
Melihat pintu kantor bagian keuangan al-jamiah terbuka, menjadi kesempatanku untuk memastikan apakah ada orang di dalamnya atau tidak. Setelah kulihat ternyata karo bagian keuangan sedang duduk santai di atas kursi goyang dengan hand phone di tangannya.
“Assalmu’akum..?” sapaku kepadanya tepat di depan pintu masuk. Namun ia sama sekali tidak menyapa kembali sapaanku, mungkin suaraku aga kurang kencang. Dan ku naikan kembali nada suaraku untuk memastikan bahwa Karo bisa mendengar suaraku.
Tiba-tiba ia menyahut sapaanku, dan memandang kea rah pintu tepat dimana aku berdiri. Ia menyilahkan aku untuk masuk dan mempersilahkan duduk tepat di hadapannya. Badanku sedikit gemetar dan perasaanku seolah-olah berada pada ruangan yang sunyi dan menakutkan. Tapi semua itu berubah ketika ia menyapaku dengan penuh sopan-santun, aku mengangkatkan mukaku.
“Ada perlu ada De?”. tanyanya dengan nada penuh wibawa.
“Engga Pa, kedatangan saya kesini mau Tanya mengenai alokasi biaya untuk praktikum” sahutku.
“Oh.. Emang Ade dari fakultas mana dan jurusan apa?”,
“ saya dari fakultas Adab dan Humaniora jurusan Bahasa dan Sastra Inggris semester VI Pa”. jawabku sambil memandang wajahnya yang putih berkulit kuning langsat.
“untuk masalah pengalokasian biaya praktikum itu sekitar 36 miliyar dan semua itu dibagikan ke masing-masing jurusan dengan anggaran yang berbeda”. Tutur karo
“oh berarti sudah jelasnya ya pa alokasinya untuk praktikum itu. nah bulan-bulan ini kamikan akan melakukan PPL ke jogja, tapi entah kenapa pihak jurusan memungut kembali uang dari mahasiswa sekitar 650 ribu. Yang jelas-jelas kata bapa untuk biaya praktikum sudah ada alokasinya,” Gimana pandangan Bapa kalau begitu?...
“oh itu sama sekali tidak diperbolehkan dan itu melanggar aturan, dan sebetulnya uang itu masih ada dan utuh di bapa belum ada yang ngambil, karena proses pengambilannya terlebih dahulu harus mengajukan sejenis proposal dari pihak fakultas, nah dari fakultas entar di alokasikan kembali untuk jurusannya masing-masing” tutur karo untuk lebih menyakinkan
“coba kamu tanyaan lagi ke fakultas untuk permasalah ini” kata karo
Rasa penasaranku akhirnya terjawab pula dengan apa yang telah diutarakan oleh pihak karo yang mengurusi bagian keuangan. Tak lama kemudian aku pamit dan berterima kasih atas semua infonya.
“Bila ada yang ingin di obrolkan lagi, silahkan ade bisa datang kembali di lain hari” tutur karo setelah berjabat tangan tangan untuk pamit.
***
Setelah seharian penuh aku mencari iformasi terkait masalah praktikum dan mendapatkan apa yang saya harapkan, aku segera mengirim pesan pada ilham agar ia tahu bahwa apa yang selama ini ilham curigai ternyata benar. Bahwa ada kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan pihak birokrasi terkait masalah praktikum.
Tak lama setelah ku kirim pesan pada ilham, ia pun membalas agar aku bisa menemuinya malam ini di warkop tempat biasa kami berdiskusi.
Berhubung jam menunjukan pukul 15.55, jadi masih ada waktu sekitar 3 jam yang tersisa sebelum menemui Ilham di warkop. Di waktu yang tersisa yang masih lama, aku kembali belajar menulis agar kelak nanti aku bisa menjadi penulis yang handal dan bisa memberikan manfaat serta informasi kepada para pembaca
Dengan menggunakan notbook milikku, aku mencoba menulis mengenai tipologi atau identitas mahasiwa yang ada di Universitas Islam Negeri Bandung. Adapun tulisan yang aku tulis berikut ini:
Penomena Beragamnya Identitas Mahasiswa
Oleh:
Asep Zaenul Falah
 Entah menarik atau tidak, terkait tema yang saya angkat pada kesempatan kali ini. Namun, seiring berjalannya waktu, dari hasil pantauan dan permenungan (kontemplatif) saya sebagai mahasiswa, mengutip adagium salah satu acara di layar kaca negeri kita yang menjadi media trendsetter pada hampir seluruh lapisan masyarakat bahwa: masih banyak hal yang tabu menjadi layak untuk diperbincangkan! Dalam hal ini, termasuk pula mengenai identitas mahasiswa itu sendiri. Di sini, identitas yang dimaksud adalah persoalan ke-eksistensian mahasiswa dalam melakoni kehidupan bermahasiswanya. Maklum, mahasiswa selalu diidentikkan sebagai satu dari komunitas unik yang ada di masyarakat. Unik, selain karena mereka ada di kelas social menengah (middle class), mereka – dalam kehidupannya ketika menjadi mahasiswa – cenderung terlihat ‘terpisah’ dari habitat masyarakatnya. Mahasiswa senantiasa dirindukan, untuk suatu saat, menjadi generasi unggul yang pada nantinya bisa membawa dan memberikan perubahan bagi kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbangsa. Sementara, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang mempertanyakan – untuk tidak menyebut menggugat -  ke-eksistensi-an Mahasiswa. Mengapa demikian? Hal ini disinyalir bahwa mahasiswa yang pada hakikatnya merupakan agent of social change, masih sering terjebak pada persoalan-persoalan yang secara epistemologis keilmuan, mereka (seharusnya) bisa mengatasinya. Permasalahan itu, menurut hemat saya, ialah terletak pada skala realitas bahwa mahasiswa itu sendiri belum tahu hakekat dan eksistensinya sebagai Mahasiswa.
Galibnya, mahasiswa yang menimba di suatu perguruan tertentu itu adalah sekumpulan kelompok anak manusia yang heterogen. Heterogen ini diasumsikan bahwa mereka berasal dari daerah, suku atau ras, dan tingkat klasifikasi social yang berbeda-beda. Hal ini menjadi persoalan ketika mereka – yang beragam level heterogenitasnya – bertemu, berkomunikasi, dan berdialektika di ruang dan waktu yang sama. Dialektika itu tentu saja tidak selalu berjalan lancar dan dinamis, ia bisa kadang stagnan, mandeg, dan terjerambab pada persoalan-persoalan mendasar terkait proses adaptif diri para mahasiswa itu. Sekali lagi, identitas mahasiswa sangat beragam dan begitu fenomenal. Bukankah identitas seorang mahasiswa itu cukup dipahami oleh orang lain? Dan mengenai ke-eksistensian, mahasiswa itu bisa meperolehnya secara individu dan berkelompok (Hofsted: 2002). Tolak ukur dari individu dan kelompok dari mahasiswa adalah keragaman tingkah laku mereka dalam menjalankan tugas dan perannya. Lebih spesifik, fenomena keragaman identitas mahasiswa inilah yang menjadi stressing point atau focus utama pengkajian yang tertuang dalam essay ini.
Mahasiswa
Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat.
Menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan menjadi calon-clon intelektual.
Dari pendapat di atas, bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang yang menempuh jenjang karir akademiknya di perguruan tinggi yang, pada akhirnya, diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
Berdasarkan pengkajian dan pengamatan langsung penulis, yang baru setahun lebih menjadi mahasiswa, berikut semacam kategorisasi terkait identitas mahasiswa.
Mahasiswa Kupu-kupu
Pemaknaan kupu-kupu di sini bukan pada sisi metamorphosis dari hewan mungil nan indah itu. Kupu-kupu, dalam konteks pergaulan mahasiswa di UIN SGD Bandung, ialah akronim dari Kuliah-Pulang, Kuliah-Pulang. Jika sekilas kita memperhatikana secara kasat mata, mahasiswa hanyalah sekumpulan pelajar yang setiap harinya pulang pergi dari rumah (atau tempat kos; pesantren) ke kampus. Sebuah rutinitas yang tidak buruk, memang. Tapi, hal ini menjadi problematika yang cukup mengganjal sebagai gejolak dalam internal diri mahasiswa; perihal ‘eksistensi’ mahasiswa sebagai agent of social change. Mahasiswa penganut kelompok ini, diduga kurang memiliki rasa peka social yang tinggi terkait diri dan lingkungan tempat mereka menimba ilmu. Mereka cederung tidak tahu, mungkin juga tidak mau tahu, tentang fenomena dan realita kampusnya. Mereka tidak cukup tahu mengenai, misalnya undang-undang pendidikan, kebijakan birokrasi kampus dan polarisasi organisasi internal kampus, dan seterusnya. Tentu, bila saya melampirkan penjelasan demikian, dan tanpa maksud mengatakan dengan memberi kesan negatif, maka akan mencuat banyak pertanyaan, di antaranya adalah: Sebenarnya apa sih yang seharusnya dilakukan mahasiswa agar rutinitas kuliah-pulang kuliah-pulang itu tidak berkonotasi negatif? Apa harus terselip agenda kuliah-nongkrong, yang bagi sebagian orang dianggap tidak berguna dan membuang-buang waktu? Bukankah lebih baik pulang sehabis kuliah untuk melakukan kegiatan lain, semisal kerja sambilan atau membantu pekerjaan rumah orang tua? Nah, kiranya beberapa pertanyaan ini, mungkin bisa lebih banyak lagi, yang harus menjadi PR bersama untuk menjawab semua itu.
Mahasiswa Sylabus atau Formal-Akademik
Penamaan mahasiswa syllabus, jelas sendiri saya ambil dari kata ‘syllabus’. Sylabus adalah rujukan, bahan, atau ‘kurikulum’ rutin yang akan disajikan pada suatu mata kuliah tertentu. Selama satu semester ini atau tertentu, mahasiswa –dibimbing dosen pengampu mata kuliah itu- akan menapaki jalannya perkuliahan itu berdasarkan ‘rumus patokan’ atau syllabus tersebut. Di sini, dengan berbagai macam factor yang melatarinya, sebagian besar mahasiswa cenderung akan menerima begitu saja materi-materi perkuliahan yang ada pada syllabus tanpa memperdulikan realita yang ada disekitarnya. Atau, secara lebih spesifik mereka tidak menelaah relevansinya dengan konteks disiplin ilmu, kejurusan dan kebudayaan pendidikan di negeri kita. Mahasiswa, seringnya, hanya menelan mentah-mentah apa-apa yang sudah disuguhkan bagi mereka dan menjalani system pendidikan yang legal-formalistik. Mahasiswa, di tempat lain, akhirnya terjebak pada aktifitas ilmiah monoton yang kurang memanusiakan sang manusianya itu sendiri.
Muatan problem di ranah ini, sungguh sangat dilematis dan panjang untuk diurai di sini. Sebab, berbicara syllabus berarti berbicara kurikulum. Membincang kurikulum berarti mendiskusikan regulasi kebijakan dari para penentu, perumus kebijakan terkait pendidikan kita di negeri tercinta ini. Dan, ini merambah ke ranah-ranah lain dalam persinggungan negara, yakni politik, budaya, ekonomi, ideology, filsafat berbangsa dan sebagainya.
Mahasiswa Hedonis
Term ‘hedon’ sangat dekat dengan gaya hidup atau lifestyle. Hedon sering dipersepsikan sebagai kaum pemuja kebebasan, kesenangan dalam hidup. Dalam budaya bermahasiswa kita, kata hedon pun sering dilibatkan dalam dialaketika kampus. Beberapa golonggan, dari seluruh komunitas mahasiswa di kampus, dilabeli dengan istilah Mahasiswa Hedonis.
Adalah sesuatu yang asasi ketika setiap orang ingin senang dan berbahagia dalam hidupnya. Disebut problem adalah ketika terjadi ketimpangan dalam metode proses, penempatannya yang salah ruang dan waktu yang tidak semestinya. Saya mengamati, mayoritas mahasiswa, maksud saya di UIN Bandung, adalah para perantau (kaum urban) dari daerah (nya masing-masing). Terjadi setidaknya pergeseran nilai, bahwa mereka hari ini, sebagaian besar, menempati tinggal atau bermukim di tempat kos. Artinya, secara system kehidupan berkebudayaan kita, mereka berubah menjadi kaum mandiri (meski, secara financial mereka masih disantuni setiap bulan oleh orang tuanya) tidak menjalani system atau pola yang sama sebagaimana mereka tinggal dengan keluarga mereka. Mahasiswa adalah remaja-remaja yang akan bermetamorfosa menjadi dewasa. Mereka sering gamang, kurang siap, mengendalikan diri di tengah pusaran nilai ‘baru’ yang melingkupinya kini. Ditunjang berbagai factor, yang tentu saja berbeda-beda dari setiap pelakunya, mereka mencari ruang ekspresi di tempat-tempat, atau dengan media-media lain. Jadilah, mereka hedonis. Mahasiswa Hedonis.
Mahasiswa Apatis
Apatisme adalah semacam bentuk ketidakpuasan terhadap realita, system, keadaan dengan cara menafikan dan tidak memperdulikannya. Orang apatis  menganggap media ekspresi untuk merespons ‘musuh’ nya itu dengan cara apatisme itu. Diam, cuek, tidak mau tahu, acuh tak acuk dan pelbagai sinonim lainnya. Mahasiswa pun bisa berpeluang mengalami dan menjadi manusia apatis. Entah lantaran jenuh dengan system perkuliahan yang ada, ketikmampuan bergaul dengan orang lain di kelas, organisasi dan sebagainya; mereka menjadi kehilangan kendali untuk membangun medium dan akhirnya memilih menjadi apatis. Apatisme sangat berlipat-lipat, tergantung tingkat atau level kekecewaan yang menjadi faktornya. Artinya, mahasiswa apatis, bisa dan mungkin mencari ruang-ruang lain sebagai ‘rumah’ baru bagi ‘duka-duka’ mereka.
Mahasiswa Aktif dan Kritis
Inilah yang dibutuhkan dan menjadi cita ideal bagi makhluk yang bernama mahasiswa. Aktif, karena selain sebagai calon intelektual masa depan, materi ilmu yang diemban mereka diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi nusa, bangsa dan agama. Kritis, sebab mereka adalah penghuni kelas social menengah yang paling memungkinkan untuk melakukan fungsi control.
Yang menarik adalah fenomena bahwa mahasiswa aktif sering dianggap tidak kritis, mereka lebih menjadi mahasiswa syllabus, dan terkadang apatis terhadap persoalan mendasar terkait kemahasiswaan dan kampusnya. Mahasiswa kritis (seringkali disebut ‘aktifis’) sebaliknya dikenal jarang terlihat di kelas atau kampus. Mereka malas ke kampus untuk kuliah, dengan berbagai eskalasi factor dan argumentasinya terkait kemalasan itu. Maka, menurut saya, saatnya mahasiswa bertabayun, dan sekuat tenaga berposisi bahwa mahasiswa bisa aktif dan, juga bisa kritis. Dari Materi Ilmu menuju Gairah Gerakan. Dari Saleh Ritual ke Saleh Social. 
Tulisan itu aku selesaikan sekitar dua jam, setelah selesai aku mengirimkan tulisan ini pada Blog yang aku buat berharap ada banyak orang yang bisa membacanya, sekaligus bisa mengkritiknya agar aku bisa memperbaikinya.
Tak lama kemudian, terdengan lantunan adzan magrib yang sangat syahdu dan mengajak orang-orang untuk sejenak menghentikan seluruh aktivitas kerjanya agar bisa menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba kepada Allah. Aku bergegas untuk mengambil air wudhu agar bisa ikut shalat berjama’ah di mesjid dekat kosanku.
Tepat pukul 19.00, aku teringat akan janjiku pada ilham bahwa malam ini kita akan berdiskusi terkait permasalahan PPL di warkop pinggir jalan raya. Tak lama kemudian hand phoneku berbunyi, dan aku yakin itu pasti dari Ilham. Ternyata dugaanku tepat bahwa pesan itu dari Ilham. Dan memberitahuku bahwa ia sudah menunggu di tempat yang telah dijanjikan.
ku rubah penampilanku yang sebelumnya aga terlihat seperti Da’I muda yang berseragamkan koko dan sarung dengan celana jean dan kemeja, layaknya seorang vokalis band yang sedang naik daun.
Aku bergegas berangkat untuk menemui Ilham di tempat yang telah kami janjikan, tak lama kemudian aku melihat ilham dengan Dita sedang ngobrol asyik, entah apa yang mereka obrolkan. Ilham memandang kearahku dan menyapa.
“Zef  kemana aja kamu? Dari tadi aku sudang menunggumu disini, kopi sudah hamper habis, untung ada Dita yang tak sengaja melihatku ketika ia mau pulang dan berhenti untuk menemaniku”. Tutur Ilham
“Maaf Ham tadi aku hampir lupa dengan janji kita.” Jawabku
“eh..ada Dita, gmna kabarnya?” lanjutku pada Dita
“Al-hamdallah kabarku baik Zef, gimna kamu sebaliknya?” jawab Dita sambil Kembali bertanya
“Kabarku baik ham, Cuma biasa ada kantongku masih tetap sakit” he…
Kami bertiga menikmati secangkir kopi dan bercanda di tengah lalu lalangnya kendaraan malam dan ditengah terangnya cahaya lampu yang berkilauan. Tiba-tiba aku mengalihan pandangaku pada seorang wanita yang berkrudung putih dengan buku di tangannya. Ia terlihat ingin menyebrang, matanya yang aktif melihat ke kiri dan ke kanan sambil melambaikan tangannya agar memastikan ia bisa menyebrang dengan aman.
“Hai Zef kenapa kamu ngelamun aja?” Bentak Ilham dengan nada yang mengagetkan.
“eh…kamu Ham bikin kaget aku aja, aku lagi liat wanita, coba kamu lihat wanita cantik yang baru nyebrang itu”… jawabku sambil menjulurkan tanganku kea rah wanitayang baru nyebrang.
Entah kenama wanita yang ingin kutunjukan pada Ilham menghilang dari pandanganku. Dengan rasa heran dan penuh penasaran tiba-tiba Dita mengeluarkan suaranya.
“ah kamu Zef, tuh cewe yang kamu liatin tadi udah naek mobil”
“oh iya Zef kata Ilham ada yang ingin kita bicarakan” lanjut Dita dengan nada yang serius
“iya aku ingin bicarain masalah PPL Dit” jawabku
“tadi aku ke al-jami’ah menemui Karo, katanya anggaran untuk biaya praktikum itu masih ada dan kari melarang keras jika ada mahasiswa yang dipungut kembali oleh birokrasi” lanjutku kepada Ilham dan Dita.
“oh berarti benar apa kat ketua jurusan kita” jawab acil
“soalnya tadi aku ke jurusan dan nanyain tentang uang untuk praktikum, katanya uang praktikum itu blum keluar, tapi yang aku bingungkan ketika nanyain ke PDII bagian keuangan fakultas katanya uang untuk praktikum udah di cairin ke masing-masing jurusan. Termasuk jurusan kita Zef, Dit” lanjut sambil mereguk secangkir kopi
“berarti ini ada misskomunikasi kalau begitu” jawab Dita
Rasa heran semakin terlihat di wajah Zef ketika mendengarkan penjelasan dari Ilham, berarti uang dari al-jami’ah udah di ambil oleh fakultas untuk di alokasikan ke masing-masing jurusan. Dengan muka aga kesal Zef mencoba memberikan solusi pada Ilham dan Dita.
“ya udah kalau emang penjelasannya sepeti itu Ham, Kita harus meminta mereka untuk bisa audensi tterkait permasalahan ini. Soalnya pihat fakultas sudahmencairkan ke masing-masing jurusan, tapi dari jurusan belum nerima, berarti uangnya nyangkut dimana th” kata zef pada Ilham dan Dita
“ide bagus tuh” tutur Dita
“sekarang gini aja Ham, Dit, kita harus bagi2 peran” lanjut Zef dengan aga serius
“Peran untuk apa Zef” jawab Ilham
“ya.. peran untuk bisa ngadain audensi sama pihak birokrasi” lanjut Zef
“sebelum kita ngadaain audensi, kamu Dit dan Ilham harus  menginterpensi anak semester kita yang ingin ikut ke PPL ke jogja, aku akan bikin stetmen dalam bentuk tulisan supaya bisa menggiring oponi public khususnya di angkatan kita, agar mereka juga bisa tau, setelah anak-anak angkatan kita bisa sepaham dengan apa yang kita inginkan, baru kita meinta ke jurusan untuk audensi.
“Ok Zef” kata Ilham dan Dita.
“ya udah aku harus pulang Zef, Ham, soalnya besok pagi aku harus kerja dulu” tutur Dita sambil pamit.
Tak lama Dita pulang, Aku dan acilpun sepakat untuk sama-sama pulang ke kosan masing-masing di tenganh larut malam yang hening dan udara yang semakin mendingin.
***
Setibanya aku di kosan, aku tidak langsung tidur, notbook yang tergeletak di atas meja  kunyalakan dan mulai melanjutkan kegiatan belajar nulis menulis. Setelah aku menulis tentang identitas beragamnya mahasiswa, aku belajar menulis cerpen untuk kupersembahkan pada Ibuku yang keberadaannya jauh denganku. Di dalam tulisan itu tertulis cerita berikut ini:


KETIDAK JELASAN BIAYA PRAKTIKUM
Oleh :
Asep Zaenul Falah


Berangkat dari ketidak tahuan, kami sebagai mahasiswa BSI yang sebentar lagi akan melaksanakan PPL  yang harus mengeluarkan uang sebesar 650 ribu/mahasiswa. Dalam hal ini kami tidak mempersoalkan masalah besar kecilnya uang akan tetapi secara prosedural tidak, karena yang saya tahu didalam sebuah lembaga itu sudah ada aturan maen tersendiri yang sudah disahkan oleh pihak rektorat tidak terkecuali dengan praktikum. Artinya, untuk masalah praktikum saya yakin pihak lembaga (rektorat) sudah mengalokasikan dana tersebut untuk setiap jurusan, karena dari semester I-V kami membayar biaya tersebut, tanpa harus memungut sepeserpun uang dari mahasiswa. Adapun jika harus ada pungunatan terhadap mahasiswa itu termasuk pada kejadian isidental (diluar perencanaan) dan itupun harus dikordinir oleh mahasiswa itu sendiri (seperti yang yang diutarakan oleh pihak biro).
Sehubungan dengan demikian saya dan saudara Ilham yang diwakili oleh ketua senat yaitu Senat mencoba menjalin berkomunikasi dengan pihak PD II untuk masalah biaya praktikum tersebut. dan kata pihak PD II, bahwa biaya praktikum untuk bulan ini belum cair dan Insya Allah katanya dana tersebut akan cair pada bulan april. Akan tetapi PD II mengutarakan bahwa ia sudah mengalokasikan dan sudah dicairkan  untuk semua jurusan yang ada di fakultas Adab dan humaniora. Diantaranya; BSA, SPI dan BSI pada saat kami semester V dengan anggran sekitan 20Juta. Akan tetapi kami sebagai warga BSI sama sekali tidak merasakan Biaya praktukum tersebut tidak seperti halnya BSA dan SPI yang pada saat itu BSA berangkat ke kampong naga tepatnya di garut dan SPI berangkat ke. Cirebon yang mengunjungi kraton kesepuhan dan kraton kanyoman, tapi BSI tak ada kegiatan yang jelas untuk masalah praktikum itu sendiri.
Dari ketidak jelasan biaya praktikum yang sudah dicairkan untuk BSI dari PD II, saya dan saudara Ilham lagi-lagi menjalin komunikasi kembali dengan Pa Dedi Sulaeman sebagai ketua jurusan yang pada saat itu kami berkomunikasi di kantornya. Saya dan Ilham meminta kejelasan kembali mengenai biaya yang sudah di cairkan oleh PD II untuk jurusan BSI. Adapun pernyataan yang di utarakan oleh ketua jurusan sangat berbeda dengan apa yang di utarakan oleh PD II, bahwa untuk masalah uang yang sudah dicairkan oleh PDII untuk jurusan BSI pihak jurusan sama sekali tidak menerimanya. Artinya, jika saya analisa hal demikian berarti adanya miskomunikasi antara PDII dan pihak jurusan BSI.
Maka untuk mengklirkan permasalahan tersebut kami atas namah mahasiswa semester VI berusaha meminta kepada ketua jurusan agar bisa mempasilitasi kami sebagai warga BSI untuk mengadakan Audensi antra PDII dan Ketua jurusan BSI, agar bisa menemukan jalan keluar terbaik diantara keduanya. Yang pada akhirnya kami selaku warga BSI Cuma ingin minta keringanan biaya praktikum tersebut untuk bisa memakai biaya yang pada saat kami semester V belum terpakai.
Semua itu aku tulis dari sebuah pejalanan panjang untuk memperjuangkan hak-hak kami sebagai mahasiswa.
Satu hari setelah menulis itu, sampai pada akhinya kami atas nama semester VI tiba di penghujung acara yaitu audensi deng pihak birokrasi. Alhasil. Dekan dan berjanji akan menggati uang itu sehari sebelum keberangkatkan ke Jogya.
Kami atas nama semester VI tidak lantas percaya begitu saja, karena dengan bahasanya yang santuh dan mampu merasionalkan kadang-kadang hanya untuk mereda keingin kami, sampai pada akhirnya aku dan Ilham berkomitment untuk terus mengawal janji dari Dekan fakultas Adab dan Humaniora itu.
***
Hari semakin gelap, awan yang cerah kini berubah ke-kuning-kuningan matahari semakin terbenam di upuk timur, burung-burung berterbangan untuk kembali ke sarangnya setelah seharian penuh ia mencari makan.
Sementara itu aku pulang ke kosanku dengan membawa kisah-kisah yang bisa ku ampil hikmahnya, perutku mulai terasa perih, bagaimana tidak, setelah seharingan penuh aku beraktivitas sampai-sampai perutku tak terisi makanan yang mengandung zat besi, hanya asap-asap roko yang bisa ki isap dan kopi hitam yang mengganjal laparku.
Setibanya aku di kosan, aku rebahkan tubuhku di atas kasur yang cukup untuk sendiri, tanganku menjadi ganjal untuk kepalaku, di tengah kurebahkan badanku aku terpikir akan orang tuaku yang jauh disana, tak ada kabar sama sekali dan ku coba-menghubunginya tak pernah aktiv-rasa kangen dan sedih terluapkan oleh air mata yang tak disengaja.
Agar aku tak terlarut dalam kesedihan, aku mengusahakan untuk membahagiakan diriku sendiri dengan mencoba mengevaluasi semua nilai-nilai yang selama ini cari dan aku anut, baik dalam perjumpaanku dengan dunia sekitar maupun dengan teman-temanku.
***
Lelapnya diriku terbaring di kasur, tak ada yang bergerak selain isyarat lemah  yang terdapat dalam mimpiku.  Mimpi yang tumbuh dalam tidurku hanya sebuah gambaran yang tak harus jadi kenyataan. Kulihat seseorang telanjang bulat di tengah kerumunan orang banyak, entah isyarat atau pertanda apa yang ada dibalik mimpiku itu. Tanganku terasa dingin merayat ke dinding-dinding yang sudah aga kusam, dan akhirnya aku terbangun di tengah cahaya pajar yang meyorotkan cahayanya lewat jendela yang menghadap ke timur. Termenung sejenak sambil bersandar di tembok yang berwarna kuning kehijau-hijauan sambil mengingat-ingat akan bunga tidurku yang menjadi sebuah pertanyaan besar dikepalaku.
Ku ambil secangkir gelas yang telah berisikan air dan ku teguk dengan perlahan-lahan berharap bau tak sedap di mulutku bisa kembali segar - maklum semalam bergadang dan menghabiskan rokok beberapa batang, jadi tak sempat gosok gigi.
Jam sudah menunjukan pukul 08.23 mengingat masuk kuliah masih lama dan bisa bersantai dulu sambil menikmati hangatnya mentari dengan ditemani secangkir kopi hitam dan sebatang rokok, ku alihkan pandanganku pada buku-buku yang berjajar rapi bagaikan sebuah pajangan tepat di sebelah jendela yang ada diruanganku, hatiku tiba-tiba memberi isyarak kepada tanganku untuk mengambil buku yang tertata rapi itu.  Titik Ba  adalah buku yang di ambil olehku, sekilas kubaca synopsis dari buku Titik Ba itu yang mengimformasikan tentang maslah kehidupan manusia, dimana selalu diselimuti dengan berbagai macam misteri yang jarang di ungkap oleh manusia itu sendiri, ada beberapa kutipan menarik yang memang membuat saya untuk terus bangkit jika ada sebuah permasalahan, diantaranya; mengajak kepada kita semua untuk berdiri di atas kaki dan hati sendiri sehingga arah perubahan diri dari dalam keluar.
Mataku terus bergelintir memahami maksud dari isi buku yang memang sangat menarik ini, dan beberapa kata yang mungkin jadi sebuah pertanyaan besar bagi para pembaca termasuk saya, dimana dalam buku itu diungkapkan jika segalanya (suara kebenaran, diri, dunia) merupakan keutuhan, adakah paradigm yang memungkinkan kita memahami dan menyelami secara utuh, konsisten dan tuntas?, dan jika yang selalu kita sadari hanyalah setitik kesadaran pada saat ini dan disini, apa yang seharusnya kita sadari pada setiap titik tersebut?. Kemudian di bagian selanjutnya diungkapkan kembali sebuah pertanyaan yang lagi-lagi membuat saya jadi pengen muntah karena kebingungan maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu khusunya mengenai sebuah kebenaran dengan pertanyaan jika kebenaran semakin langka dalam arus-deras imformasi yang semakin terdistorsi, bagaimana kita tetap setia pada hati nurani?
Sejenak aku termenung dan memfokuskan fikiranku untuk menjawab beberpa pertanyaan itu, sampai akhirnya aku mencoba untuk menyimpulkan bahwa semua itu merupakan masalah-masalah yang memang benar-benar fundamental, semua itu bisa deijawab dengan pendekatan gabungan antara pengetahuan multidisiplin. Artinya, kita dengan berbagai latar belakang yang berbeda baik itu pendidikan maupun pekerjaan harus senantiasa menyikapi sebuah persoalan dengan menggugahkan hati dan nalar untuk selalu mengintegrasikan setiap aktivitas dalam sepirit menggabungkan nama-Nya.
          Tak sempat ku tamatkan buku itu, tiba-tiba aku mendapa telephon dari Ilah ulham untuk bisa berkumpul bersama-teman-temannya di taman kampus kami. Entah apa yang ia ingin bicarakan, yang jelas perasaanku berkata bahwa pasti Ilham akan membicarakan seputar persoalan kampus, yang di dalamnya menyangkut system mungkin.
Tapi untuk lebih meyakinkan akupun bergegas untuk menemuinya, setelah aku sampai di taman Kampus, terdengar suara yang sedang memanggil namaku, ku alihkan pandanganku ternyata Ilham dan teman-temannya menyapaku agar aku tak lagi harus mencari disebelah mana Ilham dan berkumpul. Ia mnyambut kedatangnku dengan bersalaman satu-persatu dari mereka.
“Gimana kabarnya kamu Zef?” sambut teman acil padaku.
“Alhmdulillah…Baik”Kataku
“Ada acara apa ini Ham?” tanyaku
“jadi gini Zef, Anak-anak katanya pengen aksi di kampus, tapi masih bingung untuk mengangkat isunya, soalnya kan tau sendiri kebokbrokan di kampus kita terlalu banyak.” Kata ilham dengan jiwa nasionalisnya
“Oh… gitu ya Ham, emang rencananya kapan kita mau aksi?”
“Senin sekarang Zef” jawab Ihlam
“berarti dua hari lagi dong, ya udah gini aja, di karenakan aksi untuk permasalah bangunan sudah berkali-kali, gimna kalau isunya lebih kita spesifikan.” Kataku pada mereka
“spesifikan gimana maksudnya”
“maksudnya kita tetap aksinya dengan isu pembangunan, tapi kita harus menitiberatkan pada pembangun kampus, soalnya kasian para mahasiswa akhir harus meminjam buku ke kampus yang lain.”
Dua jam berlalu kami mendiskusikan untuk merencanakan aksi di kampus, semenatra itu, seorang dari teman kami pergi satu-persatu pulang ke kosanya masing-masing. sampai pada akhinya aku dan Ilham yang tersisa.
***
Tepat dipukul 08.25 hari Senin lagi-lagi saya bangun kesiangan untuk keseian kalinya, maklum sebagai mahasiswa yang memiliki cita-cita dan ingin merdeka secara ilahiah saya sering harus bergadang berarut-rarut dengan beberapa sahabat-sahabat yang selalu setia untuk diajak berdiskusi meski haya ditemani dengan sebatang roko dan scangkir kopi.
Udara segar terasa pagi ini, namun sayang berhubung bangunnya aga siang jadi rasa segar udara tersebut sudah terkontaminasi dengan udara-udara yang aga sedikit panas. Kupanjatkan do’a sejenak kepada Allah SWT agar senantiasa menambah pundi-pundi amal ibadahku. Tak lama kemudian ku ambil segelas air yang biasa telah kupersiapkan sebelum tidur, kemudian kuteguk dengan perlahan-lahan berharap bunga tidur yang masih menempel di mulutku bisa kembali bersih dan harum.
Sebagai manusia moderen dan sebagai mahasiswa yang peka akan teknologi dan  impormasi saya pun tidak pernah lupa untuk melihat mobile phone yang berwarna merah dengan merek nokia yang setiap dibuka selalu ada impormasi-impormasi yang datang dari bernagai sumber, baik itu dari teman sekelas, teman seorganisasi dan tidak terkecuali dari seorang cewe yang  sering disapa dengan sebutan Ayank . alhasil imporasi yang datang dari, Ulul, Deni, tak terkecuali dari Ilham yang di sambut dengan impormasi yang datang dari Ayank manispun menjadi pembuka hari ini. Adapun impormasi yang datang dari saudar Ulul ialah menanyakan akan keberadaan saya, “Zef lagi dimana? Udah bangun belum, cepet bangun jangan tidur mlu”. Tak sempat ku balas karena masih ada pesan yang tersisa yang belum ku baca yaitu dari saudar Deni teman sekelas saya yang mengimpormasikan dengan bahasa “ Salam...teman bsok d tnggu ya bagi yang mau nglunasin uang baju kelas kita and  jngan lupa tugas drama hari ini di kumpukan. trma kasih sent all...” namun naasnya pesan ini pun tak sempat dibalas sama halnya dengan pesan yang pertamana. Impormasi yang tersisa hanya ada dua lagi yaitu dari saudar Ilham dan dari Ayank Manis. “Zef dimana, cepet banging kitakan mau aksi hari ini, anak-anak udah pada ngumpul ni...” pesan itulah yang datang dari teman saya yang bernama Ilham, dengan perasaan yang bingung aku melamun dan mempertanyakan hari apa ini, dan kenapa Ilham ngajak aksi, padahal kan ini hari minggu.
Ku tephon Ilham untuk lebih meyakinkan, aksi atas nama siapa dan terkait permasalahan apa?
Aku terkejut kita Ilham bilang bahwa hari ini hari senin dan sesuai dengan yang kita janjikan hari ini aku, ilham dan teman-teman akan turun aksi. Dengan segera ku pertegas padanya,
“Oh…maf Ham, aku sama sekali lupa, kirain saya hari ini hari minggu”. Jawab ku sambil bersiap-siap untuk ke kamar mandi
Setelah ku tutup pembicaraanku sama Ilham lewat telephon, kembali hapi bordering bahwa ada pesan masuk untukku, setelah ku kubaca ternya pesan itu berasal dari pacarku yang kuberinama “Ayank” ku baca pesan itu yang berbunyi“ Ayank udah bangun belum, pasti ksiangan lagi, cepet bangun trus mandi bis itu langsung sarapan”. Senyum bahagiapun terasa saat mendapat pesan dari Ayank tersebut, dengan segera ku balas pesan itu tanpa bertele-tele, “ ayank maaf bru d lz, maklun a ksiangan lagi. Ia, ayank udah makan blum, kliah ga?...” tanpa lelet tombo OK segera pu pijit berharap balesan untuknya cepat terkirim­ - maklum suami takut istri..hehe.  
Melihat arah jam yang sudah menujukan pukul 08:o5, dengan segera ku ambil handuk mandiku yang biasa digantungkan di dingding yang mungkin sudah agak kusam, ku ambil peralatan mandi yang setia menunggu di atas rak sepatu. Ku langkahkan kakiku dengan cepat menuju ke kamar mandi - maklum jarak kamarku dan kamar mandi sekitar 8meter dan berada di samping jalan dimana para mahasiswa yang berlalu lalang akan senantiasa bisa melihat orang yang akan masuk ke kamar mandi tesebuk, jadi sudah biasa jika handuk selalu menyelimuti kepalaku.
***
Turun kejalan untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi mahasiswapun sering saya lakukan, maklum sebagai aktivis yang berfikiran bahwa keberhasilan proses belajar mngajar di Universitas/perguruan tinggi itu tidak di ukur dari seberapa besar nilai indek prestasi (IPK), namu sejauh mana kadar keilmuan yang dimiliki oleh mahasiswa bisa di aktulisasikan dalam kehidupan Masyarakat, Negara dan agama. Yang menjadi hakikat daripada TRIDHARMA Perguruan Tinggi.
Trik matahari dan debu-bedu jalan yang tersapu oleh angin ikut menggersangkan hari ini, teriakan-teriakan untuk menyampaikan tuntutan kepada birokrasi kampuspun terdengar jelas ketelingaku. Dengan segera kuhampiri mereka, Ilham telah siap dengan megaponnya untuk menyuarakan hak-haknya, Ratusan orang bahkan ribuan orang dari mahasiswa UIN SGD Bandung menjadi penonton aksi kami, lagi-lagi kami meneriakan kepada mereka yang masih belum sadar bahwa aksi kami bukanlah aksi tontonan. Mereka yang jadi penonton layaknya boneka-boneka yang tidak tahu apa-apa, yang sejatinya mahasiswa sebagai agent sosial of change, agent sosial of caontrol hal itu terjadi entah mereka apatis atau hedonis. Tapi bagi saya walaupun ditontong yang jelas saya sadar bahwa saya  aksi untuk kebaikan semua dan ajang proses pembelajaran.
Kampus sebagai miniatur negara sejatinya menjadi pelopor perubahan di tanah air. Akan tetapi hal ini menjadi sangat urgent,  mengingat sistem dan segala masyarakat intelektual yang tergabung di dalamnya mampu memformulasikan dan mampu menggerakan cita-cita bangsa. Akan tetapi, situasi menjadi bertolak belakang jika kampus itu sendiri memiliki ketimpangan sistem sehingga berbanding terbalik dengan harapan ideal.
Kontek UIN SGD Bandung sendiri sebagai entitas perubahan tersebut kenyataannya memiliki disorientasi sistem kampus yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi mahasiswa dan civitas akademika secara umum. Ketimpangan dan kebokbrokan sistem kampus hingga hari ini tetap hadir di depan mata. Realita yang sudah menjadi rahasia umum ini mau tidak mau akan menciptakan absurditas yang berdampak pada pembunuhan intelektual secara gradual dan selayaknya patutu untuk dikritisi.  Diantara berbagai bola salju problematika yang terjadi, secara umum dapat diakumulasikan sebagai berikut:
a.    Disorienrasi penyelenggaraan sistem akademik
b.    Ketidak jelasan pengelolaan anggaran sehingga berdampak pada banyaknya pungli (pungutan liat)
c.    Tata ruang kampus yang tidak memihak kepada mahasiswa dan masyarakat sekitar
d.    Campur tangan birokrasi terhadap lembaga kemahasiswaan
e.    Rektor tidak tidak bertanggung jawab dengan mem-BLU kan UIN Bandung, padahal UIN bandung adalah aset negara
Atas dasar hal tersebut kami atas nama Forum Demokrasi Kampus (FDK) teergerak turun kembali ke jalan  tiada lain untuk menyuarakan hak-hak mahasiswa. Berbagai pungutan liar, pengajar yang tidak memiliki kreadibilitas, interpensi birokrasi terhadap indepedensi mahasiswa, sistem akademik yang disorientasi, tata tuang kampus yang mengeliminir ruang kreatifitas mahasiswa, tata kelola sistem BLU yang tidak jelas, dan berbagai ketimpangan lain yang bermuara pada bokbroknya sistem kampus ini sejatinya mampu di conter dan dilakukan resistensi atas hegemoni-hegemoni di atas.
Maka dari itu, kami Forum Demokrasi Kampus (FDK) menuntut:
a.    Tingkatkan kualitas dan kapabilitas mutu pengajar
b.    Sosialisasikan dan transpransikan pengelolaan anggaran akademik dan kemahasiswaan
c.    Independensikan lembaga kemahasiswaan
d.    Pasilitasi ruang publik bagi mahasiswa
e.    Rektor harus bertanggung jawab atas terselenggaranya sistem BLU di UIN SGD Bandung.
Hidup mahasiswa...hidup mahasiswa...hidup mhasiswa... itulah suara-suara teriakan yang di kumandangkan oleh kami atas apa yang terjadi dikampus hijau tercinta ini.
Akhinya agenda Saya dan Ilham beserta teman-teman bisa terlaksana untuk melakukan gerakan-gearakan yang revolusiaoner yang kami cita-citakan.

3/16/2013

KIRI ISLAM Antara Modernisme & Posmdernisme (telaah pemikiran Hasan Hanafi)



Hasan Hanfi menjelaskan bahwa kiri islam bukanlah islam yang berbaju Marxisme, dengan alasan karena hal itu menafikan makna revolusioner islam itu sendiri, akan tetapi kiri islam ini akan mengusik sebuah kemapanan politik dan agama.
Kiri islam ini berupaya dan mewujudkan makna revolusioner dari agama ini, sebagai konsekuensi dari keberpihakan kepada rakyat yang lemah dan tertindas segera mendapatkan tempatnya tersendiri dalam konstalasi “pemikiran-pemikiran alternaif”
Kazuo shimogaki adalah salah satu orang yang tergoda oleh radikalisme Hasan Hanafi dimana ia mengatakan pada arus baru “ dekontruksi peradaban” yang dewasa ini sangat deras mengalir dan dikenal dengan sebutan “posmodernisme” yaitu rangkaian tendensi teoretik dalam berbagai bidang, baik seni maupun pengetahuan untuk menbongkar “aporia” peradaban modern yang dibangun di atas landasan humanism dan rasionalisme Eropa abad pertengahan (renaissance)yang menciptakan dualism dalam pikiran manusia dan menyembunyiakan bias erosentrisme-imperialistik dalam wacana modernism.
Gusdur berpendapat mengenai ideology kiri islam ini merupakan kunci penting untuk dapat “mereguk sepuas-puasnya air dari sumber universalisme” yang pada saat ini diperjuangkan oleh Hasan Hanafi.
Dalam kat pengantar yang di uraikan oleh Gusdur bahwa di tahu 1960-an adalam zaman keemasan dalam tiga pandangan di mesir, yang sedikit banyak juga mempunyai pengaruh ke Negara-negara Arab lainnya. Ketiganya adalah:
1.      Pandangan sosialistik
2.      Pandangan nasionalistik
3.      Pandangan populistik

2/25/2013

ANTARA ZIONISME DAN YAHUDI




Musim panas tahun 1982 menjadi saksi atas kebiadaban luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia berteriak dan mengutuknya dengan keras. Tentara Isrel memasuki wilayah Lebanon dalam suatu serbuan mendadak, dan bergerak maju sambil menghancurkan sasaran apa saja yang nampak di hadapan mereka. Pasukan Israel ini mengepung kamp-kamp pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah melarikan diri akibat pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya. Selama dua hari, tentara Israel ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai penduduk sipil tak berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa tak berdosa telah terbantai.
Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:
Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’ di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee. Kebohongan ini sungguh membuat saya marah. Sudah jelas bahwa ini adalah peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah ada sebelumnya, tidak ada kaitannya dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di Galilee…Yahudi, keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi korban kekejaman, bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? … Keberhasilan terbesar bagi Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi. ("Professor Leibowitz calls Israeli politics in Lebanon Judeo-Nazi" Yediot Aharonoth, July 2, 1982)
Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.
Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon. Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.
Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang menentangnya.
Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme. Sebagaimana gerakan anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.
Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme
Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris. Ketika sejumlah larangan dalam hal kemasyarakatan yang berlaku bagi kaum Yahudi di negara-negara Eropa dihapuskan di abad ke-19, melalui emansipasi, masyarakat Yahudi mulai berasimilasi dengan kelompok masyarakat di mana mereka tinggal. Mayoritas orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah ‘kelompok agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’ atau ‘bangsa’. Mereka menganggap diri mereka sebagai masyarakat atau orang ‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi, atau ‘Amerika Yahudi’.
Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.
Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu keyakinan agama. Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.
Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama mereka ini. Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan untuk melakukan propaganda masal, melakukan kegiatannya di negara-negara di mana terdapat masyarakat Yahudi. Mereka mulai menyebarkan gagasan bahwa orang-orang Yahudi tidak dapat hidup secara damai dengan bangsa-bangsa lain dan bahwa mereka adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan alasan ini mereka harus pindah dan bermukim di Palestina. Sejumlah besar masyarakat Yahudi saat itu mengabaikan seruan ini.
Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.
Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:
‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’. (Washington Post, October 3, 1978)
Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:
Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, June 1996)
Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.
Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme

Sumber : Artikel Harun Yahya

1/22/2013

“Kata Letih Menjawab Pedih”




Mengapa kau buat kami semua terjelembab pada sebuah kebingungan
Disaat ketidaktahuan akan hilangnya pegangan
Disaat ketidakberdayaan untuk melakukan sebuah tindakan
Ribuan pertanyaan telihat dilangit dengan penuh kegelapan
Ratusan kata-kata tak mampu merangkai sebuah jawaban untuk sebuah kenyataan dibalik pertanyaan
Hanya kata letih memjawab pedih
Aku tak ingin hatiku redup dan mataku berair
Hanya karena kebingungan untuk berjalan mencari sandaran
Karena kemisteriusan yang selalu diungkapkan
Dari mereka yang mempunyai kepentingan
Aku ingin...tolong hentikan semua ini
Dari kepentingan yang membuat kami kebingungan


Ibnu Saepul Bahri
Bandung, 21 Januari 2013
Jam 02:21