Kampus Uin SGD Bandung masih
terdengar bising karena proses pembangunan kampus masih belum selesai,
sementara sinar mentari menyinari kampus dengan begitu garangnya. Meskipun
begitu, Asep Zaenul falah, mahasiswa program S1 jurusan Bahasa dan Sastra
Inggris (BSI), nampaknya sama sekali tidak merasakan kepanasan. Bagaimana
tidak, mahasiswa yang sering di sapa dengan panggilan Zef oleh
teman-temannya itu sedang duduk asyik dengan secangkir kopi di bawang pohon
rindang (DPR). Ditengah lalu-lalangnya para mahasiswa dengan penuh pecaya diri
dia berjalan menghampiri teman akrabnya yang bernama Ilham seraya berkata, “Ham
gimana tentang ageda kita bulan ini?
Ilham terlihat aga kebingungan saat tiba-tiba zef datang dihadapannya dan
menanyakan tentang agenda bulan ini, dengan gaya yang khas da so tau ia
menjawab.” Agenda yang mana Zef..?” sahutnya sambil mengingat-ingat kembali.
“ah kamu Ham masih muda udah pikun gitu kaya orang yang udah tua aja” kata Zef
sambil menyapa pundaknya dan berjalan mencari tempat duduk disekitarnya sambil
meneruskan pembicaraannya, “agenda buat gerakan- gerakan yang revolusioner itu
Ham”,
“O..h itu zef, Ok kira-kira kapan kita melakukan gerakan-gerakan revolusioner
untuk melakukan sebuah perubahan kea rah lebih baik, soalnya saya sudah tak
sabar ni dan jengkel melihat kampus kita yang kaya gini.” jawab ilham dengan
jiwa nasionalisnya yang menggebu-gebu - maklum ia kan salah satu aktivis kampus
yang baru naek daun.
Bagai mana bisa, tiga bulan yang
lalu ilham menjadi salah satu plopor yang menolak terhadap biaya PPL yang
dianggapnya tidak prosedural, karena untuk biaya PPL itu sendiri para
mahasiswa semester VI harus mengeluarkan uang sebesar 650ribu setara dengan
uang bekalnya untuk satu bulan. Tapi ia sama sekali tidak mempersoalkan tentang
seberapa besar atau kecilnya uang yang dikeluarkan, akan tetapi hanya satu yang
menjadi pertanyaanya yaitu “ secara procedural tidak?”.
Pertanyaan itulah yang masih terdengar ketelingaku dari seorang aktivis yang
baru naek daun itu. Saya masih ingat saat Ilham berkunjung ke kosanku hanya
untuk berdiskusi mengenai biaya PPL yang dianggapnya tidak prosedural.
dengan sebatang roko ia memulai sebuah pertanyaan-pertanyaan riangan kapada
saya dengan ungkapan, “Zef gimana kamu mau jadi ikut ga PPL ke Jogja bulan
ini..?”
“emang kenapa Ham?” jawabku sambil mereguk kopi hitam yang masih panas.
“Engga Zef saya sedikit aga heran dengan kebijakan birokrasi..!!!, coba kamu
bayangin masa kita harus bayar lagi padahal biaya praktikum sudah jelas-jelas
ada alokasinya dari pihak al-jami’ah dan setiap semester kita bayar 300rbu
untuk praktikum” tutur Ilham dengan muka aga serius dan sedikit kelihatan
kesal. “jadi gimana Zef menurutmu? Lanjutnya kepadaku dan berharap ada
solusinya.
“kalau saya si udah komitmen untuk tidak ikut PPL ke Jogja soalnya saya tidak
punya uang untuk bayarnya, kan tau sendiri kamu Ham saya hanya dibiayai oleh
ibuku saja, lagian kata senior-senior kita yang dulu pernah PPL ke Jogja juga
bilang katanya percuma disana juga paling Cuma photo-photo’an doang, setelah
itu tetap ko bikin laporannya ke bah google lagi”.
Mendengar apa yang diutarakan oleh Zef kepada Ilham, membuatnya semakin yakin
untuk menolaknya. Sambil menyalakan rokoknya kembali Ilham mencoba untuk
melanjutkan pernyaannya. “trus gimana dong zef solusinya..?
“solusi apa..?” kataku.
“Ya…solusi untuk untuk menolaknya bahkan kalau bisa agenda PPL ke Jogja ini
harus dihapuskan” sahutnya dengan aga sewot
“menurut saya si terkait masalah PPL yang kata kamu itu harus dihapuskan saya
kurang setuju, soalnya PPL itu penting bagi para mahasiswa dan itu ada dalam
TRI DHARMA Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Akan
tetapi yang harus jadi persoalan terkait PPL itu sendiri, substansial tidak.
Kalau pendapat saya si mengenai PPL ke Jogja tidak harus kamu tolak juga Ham,
soalnya kasian mahasiswa dan dosen-dosen yang sudah mengkonsepnya dan kasian
juga untuk mereka yang belum pernah ke Jogja seperti saya, kan bisa sambil
jalan-jalan.” Jawabku sambil tersemyum aga sedik menggurui.
“bener juga si Zef apa kata kamu, tapi masa si ke Jogja aja kita harus bayar
sebesar 650rebu padahal kan banyakan.” Kata Ilham dengan muka aga sedikit enak di
pandang
“emang kamu mau ikut Ham?” tanyaku
“kalau aku si sama ama kamu Zef, untuk tidak ikut.”
“terus kenapa kamu harus pusing-pusing segala mengurusi hal itu” tanyaku dengan
penuh heran.
“Ya…saya Cuma kasian Zef sama temen-temen kita yang kurang mampu dan harus
banting tulang untuk mencari uang sebesar itu, kemarin saya dengarkan ungkapan
si Dita.”
“emang kenapa si Dita.?” Tanyaku dengan aga heran
“saya lihat Dita belakangan ini tak seperti biasanya, tiap kuliah ia langsung
pulang, jarang sekali ngobrol-ngborol sambil menikmati secangkir kopi dengan
kita.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh Ilham mengenai Dita saya semakin penasaran,
dan emang benar apa yang dikatakan Ilham itu. Dita adalah sahabat saya di
kelas, sosoknya yang kalem dan wajahnya yang putih menjadi pelengkap dalam
dirinya. Sehabis pulang kuliah ia selalu mengajak saya dan Ilham untuk
menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, agar kepenatan setelah mengikuti
perkuliahan berharap hilang, Akan tetapi akhir-akhir ini sayapun merasakan sikap
Dita yang tak seperti biasanya.
“Zef ko nglamun ci kamu..? ada apa?” bentak ilham. Ya udah aku mau pulang dulu
ni, pacarku dari tadi ngsms’an terus. Makasih Zef ya, tar kita obrolin lagi
masalah ini.
***
waktu sudah menujukan pukul 10.05, mengingat beberpa jam lagi aku harus
berangkat kuliah sebagai bentuk baktiku pada orang tua. Dengan segera ku ambil
peralatan mandi yang telah siap menunggu di atas rak sepatu yang biasa ku
simpan.
Sesampainya di kampus, aku menerima sms dari kosma kelas yang mengimformasikan
bahwa hari ini kuliah libur, karena dosennya sakit. Informasi tersebut membuat
saya kesal. bagaimana tidak, setiap aku mau kuliah dosennya kadang-kadang ga
masuk, tapi pas aku tidak kuliah, eh..dosennya malah pada masuk.
Karena hari ini tidak ada kuliah, jadi saya harus melakukan kegiatan yang tak
pernah didapatkan dibangku kuliah yang harus menghabiskan beberapa SKS. Tapi
kebingungan kembali melanda fikiranku, apa yang harus aku lakukan. Mengingat
semangat ilham dan rasa kepeduliannya terhadap sesama, membuat saya harus
melakukan sesuatu untuk membantunya.
Kegiatanku hari ini melakukan sebuah advokasi kebijakan mengenai PPL dengan
cara lobi.
Sasaran akhir lobi adalah perubahan kebijakan public. Perubahan kebijakan
public yang dimaksud bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti: (i)
pencabutan sebuah peraturan (ii) penggantian sebuah peraturan (iii)
penyempurnaan peraturan, dan sebagainya. Sementara bentuk perauran itu bisa
terdiri atas UU, SK Mentri atau Rektor, SK Gubernur atau Dekan, Perda atau sebaginya.
Mungkin itulah kegiatan aktivis sepeti saya yang akan melakukan advokasi
kebijakan. Hal ini khusunya terkait dengan kebijakan PPL ke jogja.
Aku langkahkan kaki ini untuk mencari informasi mengenai biaya praktikum – Karo
yang berada di aljami’ah adalah sasaranku.
Setibanya di lantai 2 al-jami’ah, tepat di depan kantor Karo yang mengurusi
bagian keuangan. Entah mengapa jantungku berdetak kencang. mungkin karena
sebelumnya saya belum mengenalnya dan ini adalah kali pertamaku.
Melihat pintu kantor bagian keuangan al-jamiah terbuka, menjadi kesempatanku
untuk memastikan apakah ada orang di dalamnya atau tidak. Setelah kulihat
ternyata karo bagian keuangan sedang duduk santai di atas kursi goyang dengan
hand phone di tangannya.
“Assalmu’akum..?” sapaku kepadanya tepat di depan pintu masuk. Namun ia sama
sekali tidak menyapa kembali sapaanku, mungkin suaraku aga kurang kencang. Dan
ku naikan kembali nada suaraku untuk memastikan bahwa Karo bisa mendengar
suaraku.
Tiba-tiba ia menyahut sapaanku, dan memandang kea rah pintu tepat dimana aku
berdiri. Ia menyilahkan aku untuk masuk dan mempersilahkan duduk tepat di
hadapannya. Badanku sedikit gemetar dan perasaanku seolah-olah berada pada
ruangan yang sunyi dan menakutkan. Tapi semua itu berubah ketika ia menyapaku dengan
penuh sopan-santun, aku mengangkatkan mukaku.
“Ada perlu ada De?”. tanyanya dengan nada penuh wibawa.
“Engga Pa, kedatangan saya kesini mau Tanya mengenai alokasi biaya untuk
praktikum” sahutku.
“Oh.. Emang Ade dari fakultas mana dan jurusan apa?”,
“ saya dari fakultas Adab dan Humaniora jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
semester VI Pa”. jawabku sambil memandang wajahnya yang putih berkulit kuning
langsat.
“untuk masalah pengalokasian biaya praktikum itu sekitar 36 miliyar dan semua
itu dibagikan ke masing-masing jurusan dengan anggaran yang berbeda”. Tutur
karo
“oh berarti sudah jelasnya ya pa alokasinya untuk praktikum itu. nah
bulan-bulan ini kamikan akan melakukan PPL ke jogja, tapi entah kenapa pihak
jurusan memungut kembali uang dari mahasiswa sekitar 650 ribu. Yang jelas-jelas
kata bapa untuk biaya praktikum sudah ada alokasinya,” Gimana pandangan Bapa
kalau begitu?...
“oh itu sama sekali tidak diperbolehkan dan itu melanggar aturan, dan
sebetulnya uang itu masih ada dan utuh di bapa belum ada yang ngambil, karena
proses pengambilannya terlebih dahulu harus mengajukan sejenis proposal dari
pihak fakultas, nah dari fakultas entar di alokasikan kembali untuk jurusannya
masing-masing” tutur karo untuk lebih menyakinkan
“coba kamu tanyaan lagi ke fakultas untuk permasalah ini” kata karo
Rasa penasaranku akhirnya terjawab pula dengan apa yang telah diutarakan oleh
pihak karo yang mengurusi bagian keuangan. Tak lama kemudian aku pamit dan
berterima kasih atas semua infonya.
“Bila ada yang ingin di obrolkan lagi, silahkan ade bisa datang kembali di lain
hari” tutur karo setelah berjabat tangan tangan untuk pamit.
***
Setelah seharian penuh aku mencari iformasi terkait masalah praktikum dan
mendapatkan apa yang saya harapkan, aku segera mengirim pesan pada ilham agar
ia tahu bahwa apa yang selama ini ilham curigai ternyata benar. Bahwa ada
kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan pihak birokrasi terkait masalah
praktikum.
Tak lama setelah ku kirim pesan pada ilham, ia pun membalas agar aku bisa
menemuinya malam ini di warkop tempat biasa kami berdiskusi.
Berhubung jam menunjukan pukul 15.55, jadi masih ada waktu sekitar 3 jam yang
tersisa sebelum menemui Ilham di warkop. Di waktu yang tersisa yang masih lama,
aku kembali belajar menulis agar kelak nanti aku bisa menjadi penulis yang
handal dan bisa memberikan manfaat serta informasi kepada para pembaca
Dengan menggunakan notbook milikku, aku mencoba menulis mengenai tipologi atau
identitas mahasiwa yang ada di Universitas Islam Negeri Bandung. Adapun tulisan
yang aku tulis berikut ini:
Penomena Beragamnya Identitas Mahasiswa
Oleh:
Asep Zaenul Falah
Entah menarik atau tidak, terkait tema yang saya angkat pada kesempatan
kali ini. Namun, seiring berjalannya waktu, dari hasil pantauan dan permenungan
(kontemplatif) saya sebagai mahasiswa, mengutip adagium salah satu acara di
layar kaca negeri kita yang menjadi media trendsetter pada
hampir seluruh lapisan masyarakat bahwa: masih banyak hal yang tabu
menjadi layak untuk diperbincangkan! Dalam hal ini, termasuk pula mengenai
identitas mahasiswa itu sendiri. Di sini, identitas yang dimaksud adalah
persoalan ke-eksistensian mahasiswa dalam melakoni kehidupan bermahasiswanya.
Maklum, mahasiswa selalu diidentikkan sebagai satu dari komunitas unik yang ada
di masyarakat. Unik, selain karena mereka ada di kelas social menengah (middle
class), mereka – dalam kehidupannya ketika menjadi mahasiswa – cenderung
terlihat ‘terpisah’ dari habitat masyarakatnya. Mahasiswa senantiasa
dirindukan, untuk suatu saat, menjadi generasi unggul yang pada nantinya bisa
membawa dan memberikan perubahan bagi kehidupan bermasyarakat, beragama dan
berbangsa. Sementara, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang
mempertanyakan – untuk tidak menyebut menggugat - ke-eksistensi-an
Mahasiswa. Mengapa demikian? Hal ini disinyalir bahwa mahasiswa yang pada
hakikatnya merupakan agent of social change, masih sering terjebak pada
persoalan-persoalan yang secara epistemologis keilmuan, mereka (seharusnya)
bisa mengatasinya. Permasalahan itu, menurut hemat saya, ialah terletak
pada skala realitas bahwa mahasiswa itu sendiri belum tahu hakekat dan
eksistensinya sebagai Mahasiswa.
Galibnya, mahasiswa yang menimba di suatu perguruan tertentu itu adalah
sekumpulan kelompok anak manusia yang heterogen. Heterogen ini diasumsikan
bahwa mereka berasal dari daerah, suku atau ras, dan tingkat klasifikasi social
yang berbeda-beda. Hal ini menjadi persoalan ketika mereka – yang beragam level
heterogenitasnya – bertemu, berkomunikasi, dan berdialektika di ruang dan waktu
yang sama. Dialektika itu tentu saja tidak selalu berjalan lancar dan dinamis,
ia bisa kadang stagnan, mandeg, dan terjerambab pada persoalan-persoalan
mendasar terkait proses adaptif diri para mahasiswa itu. Sekali lagi, identitas
mahasiswa sangat beragam dan begitu fenomenal. Bukankah identitas seorang
mahasiswa itu cukup dipahami oleh orang lain? Dan mengenai ke-eksistensian,
mahasiswa itu bisa meperolehnya secara individu dan berkelompok (Hofsted:
2002). Tolak ukur dari individu dan kelompok dari mahasiswa adalah keragaman
tingkah laku mereka dalam menjalankan tugas dan perannya. Lebih spesifik,
fenomena keragaman identitas mahasiswa inilah yang menjadi stressing point atau
focus utama pengkajian yang tertuang dalam essay ini.
Mahasiswa
Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya
karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon
intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering
kali syarat dengan berbagai predikat.
Menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insan-insan calon
sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu
dengan masyarakat), dididik dan diharapkan menjadi calon-clon intelektual.
Dari pendapat di atas, bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang
disandang oleh seseorang yang menempuh jenjang karir akademiknya di perguruan
tinggi yang, pada akhirnya, diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
Berdasarkan pengkajian dan pengamatan langsung penulis, yang baru setahun lebih
menjadi mahasiswa, berikut semacam kategorisasi terkait identitas mahasiswa.
Mahasiswa Kupu-kupu
Pemaknaan kupu-kupu di sini bukan pada sisi metamorphosis dari hewan mungil nan
indah itu. Kupu-kupu, dalam konteks pergaulan mahasiswa di UIN SGD Bandung,
ialah akronim dari Kuliah-Pulang, Kuliah-Pulang. Jika sekilas kita
memperhatikana secara kasat mata, mahasiswa hanyalah sekumpulan pelajar yang
setiap harinya pulang pergi dari rumah (atau tempat kos; pesantren) ke kampus.
Sebuah rutinitas yang tidak buruk, memang. Tapi, hal ini menjadi problematika
yang cukup mengganjal sebagai gejolak dalam internal diri mahasiswa; perihal
‘eksistensi’ mahasiswa sebagai agent of social change. Mahasiswa penganut
kelompok ini, diduga kurang memiliki rasa peka social yang tinggi terkait diri
dan lingkungan tempat mereka menimba ilmu. Mereka cederung tidak tahu, mungkin
juga tidak mau tahu, tentang fenomena dan realita kampusnya. Mereka tidak cukup
tahu mengenai, misalnya undang-undang pendidikan, kebijakan birokrasi kampus
dan polarisasi organisasi internal kampus, dan seterusnya. Tentu, bila saya
melampirkan penjelasan demikian, dan tanpa maksud mengatakan dengan memberi
kesan negatif, maka akan mencuat banyak pertanyaan, di antaranya adalah:
Sebenarnya apa sih yang seharusnya dilakukan mahasiswa agar rutinitas
kuliah-pulang kuliah-pulang itu tidak berkonotasi negatif? Apa harus terselip
agenda kuliah-nongkrong, yang bagi sebagian orang dianggap tidak berguna dan
membuang-buang waktu? Bukankah lebih baik pulang sehabis kuliah untuk melakukan
kegiatan lain, semisal kerja sambilan atau membantu pekerjaan rumah orang tua?
Nah, kiranya beberapa pertanyaan ini, mungkin bisa lebih banyak lagi, yang
harus menjadi PR bersama untuk menjawab semua itu.
Mahasiswa Sylabus atau Formal-Akademik
Penamaan mahasiswa syllabus, jelas sendiri saya ambil dari kata ‘syllabus’.
Sylabus adalah rujukan, bahan, atau ‘kurikulum’ rutin yang akan disajikan pada
suatu mata kuliah tertentu. Selama satu semester ini atau tertentu, mahasiswa
–dibimbing dosen pengampu mata kuliah itu- akan menapaki jalannya perkuliahan
itu berdasarkan ‘rumus patokan’ atau syllabus tersebut. Di sini, dengan
berbagai macam factor yang melatarinya, sebagian besar mahasiswa cenderung akan
menerima begitu saja materi-materi perkuliahan yang ada pada syllabus tanpa
memperdulikan realita yang ada disekitarnya. Atau, secara lebih spesifik mereka
tidak menelaah relevansinya dengan konteks disiplin ilmu, kejurusan dan
kebudayaan pendidikan di negeri kita. Mahasiswa, seringnya, hanya menelan
mentah-mentah apa-apa yang sudah disuguhkan bagi mereka dan menjalani system
pendidikan yang legal-formalistik. Mahasiswa, di tempat lain, akhirnya terjebak
pada aktifitas ilmiah monoton yang kurang memanusiakan sang manusianya itu
sendiri.
Muatan problem di ranah ini, sungguh sangat dilematis dan panjang untuk diurai
di sini. Sebab, berbicara syllabus berarti berbicara kurikulum. Membincang
kurikulum berarti mendiskusikan regulasi kebijakan dari para penentu, perumus
kebijakan terkait pendidikan kita di negeri tercinta ini. Dan, ini merambah ke
ranah-ranah lain dalam persinggungan negara, yakni politik, budaya, ekonomi,
ideology, filsafat berbangsa dan sebagainya.
Mahasiswa Hedonis
Term ‘hedon’ sangat dekat dengan gaya hidup atau lifestyle. Hedon sering
dipersepsikan sebagai kaum pemuja kebebasan, kesenangan dalam hidup. Dalam
budaya bermahasiswa kita, kata hedon pun sering dilibatkan dalam dialaketika
kampus. Beberapa golonggan, dari seluruh komunitas mahasiswa di kampus,
dilabeli dengan istilah Mahasiswa Hedonis.
Adalah sesuatu yang asasi ketika setiap orang ingin senang dan berbahagia dalam
hidupnya. Disebut problem adalah ketika terjadi ketimpangan dalam metode
proses, penempatannya yang salah ruang dan waktu yang tidak semestinya. Saya
mengamati, mayoritas mahasiswa, maksud saya di UIN Bandung, adalah para
perantau (kaum urban) dari daerah (nya masing-masing). Terjadi setidaknya
pergeseran nilai, bahwa mereka hari ini, sebagaian besar, menempati tinggal
atau bermukim di tempat kos. Artinya, secara system kehidupan berkebudayaan
kita, mereka berubah menjadi kaum mandiri (meski, secara financial mereka masih
disantuni setiap bulan oleh orang tuanya) tidak menjalani system atau pola yang
sama sebagaimana mereka tinggal dengan keluarga mereka. Mahasiswa adalah
remaja-remaja yang akan bermetamorfosa menjadi dewasa. Mereka sering gamang,
kurang siap, mengendalikan diri di tengah pusaran nilai ‘baru’ yang
melingkupinya kini. Ditunjang berbagai factor, yang tentu saja berbeda-beda
dari setiap pelakunya, mereka mencari ruang ekspresi di tempat-tempat, atau
dengan media-media lain. Jadilah, mereka hedonis. Mahasiswa Hedonis.
Mahasiswa Apatis
Apatisme adalah semacam bentuk ketidakpuasan terhadap realita, system, keadaan
dengan cara menafikan dan tidak memperdulikannya. Orang apatis menganggap
media ekspresi untuk merespons ‘musuh’ nya itu dengan cara apatisme itu. Diam,
cuek, tidak mau tahu, acuh tak acuk dan pelbagai sinonim lainnya. Mahasiswa pun
bisa berpeluang mengalami dan menjadi manusia apatis. Entah lantaran jenuh
dengan system perkuliahan yang ada, ketikmampuan bergaul dengan orang lain di
kelas, organisasi dan sebagainya; mereka menjadi kehilangan kendali untuk
membangun medium dan akhirnya memilih menjadi apatis. Apatisme sangat
berlipat-lipat, tergantung tingkat atau level kekecewaan yang menjadi
faktornya. Artinya, mahasiswa apatis, bisa dan mungkin mencari ruang-ruang lain
sebagai ‘rumah’ baru bagi ‘duka-duka’ mereka.
Mahasiswa Aktif dan Kritis
Inilah yang dibutuhkan dan menjadi cita ideal bagi makhluk yang bernama
mahasiswa. Aktif, karena selain sebagai calon intelektual masa depan, materi
ilmu yang diemban mereka diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi
nusa, bangsa dan agama. Kritis, sebab mereka adalah penghuni kelas social
menengah yang paling memungkinkan untuk melakukan fungsi control.
Yang menarik adalah fenomena bahwa mahasiswa aktif sering dianggap tidak
kritis, mereka lebih menjadi mahasiswa syllabus, dan terkadang apatis terhadap
persoalan mendasar terkait kemahasiswaan dan kampusnya. Mahasiswa kritis
(seringkali disebut ‘aktifis’) sebaliknya dikenal jarang terlihat di kelas atau
kampus. Mereka malas ke kampus untuk kuliah, dengan berbagai eskalasi factor
dan argumentasinya terkait kemalasan itu. Maka, menurut saya, saatnya mahasiswa
bertabayun, dan sekuat tenaga berposisi bahwa mahasiswa bisa aktif dan, juga
bisa kritis. Dari Materi Ilmu menuju Gairah Gerakan. Dari Saleh Ritual ke Saleh
Social.
Tulisan itu aku selesaikan sekitar dua jam, setelah selesai aku mengirimkan
tulisan ini pada Blog yang aku buat berharap ada banyak orang yang bisa
membacanya, sekaligus bisa mengkritiknya agar aku bisa memperbaikinya.
Tak lama kemudian, terdengan lantunan adzan magrib yang sangat syahdu dan
mengajak orang-orang untuk sejenak menghentikan seluruh aktivitas kerjanya agar
bisa menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba kepada Allah. Aku bergegas
untuk mengambil air wudhu agar bisa ikut shalat berjama’ah di mesjid dekat
kosanku.
Tepat pukul 19.00, aku teringat akan janjiku pada ilham bahwa malam ini kita
akan berdiskusi terkait permasalahan PPL di warkop pinggir jalan raya. Tak lama
kemudian hand phoneku berbunyi, dan aku yakin itu pasti dari Ilham. Ternyata
dugaanku tepat bahwa pesan itu dari Ilham. Dan memberitahuku bahwa ia sudah
menunggu di tempat yang telah dijanjikan.
ku rubah penampilanku yang sebelumnya aga terlihat seperti Da’I muda yang
berseragamkan koko dan sarung dengan celana jean dan kemeja, layaknya seorang
vokalis band yang sedang naik daun.
Aku bergegas berangkat untuk menemui Ilham di tempat yang telah kami janjikan,
tak lama kemudian aku melihat ilham dengan Dita sedang ngobrol asyik, entah apa
yang mereka obrolkan. Ilham memandang kearahku dan menyapa.
“Zef kemana aja kamu? Dari tadi aku sudang menunggumu disini, kopi sudah
hamper habis, untung ada Dita yang tak sengaja melihatku ketika ia mau pulang
dan berhenti untuk menemaniku”. Tutur Ilham
“Maaf Ham tadi aku hampir lupa dengan janji kita.” Jawabku
“eh..ada Dita, gmna kabarnya?” lanjutku pada Dita
“Al-hamdallah kabarku baik Zef, gimna kamu sebaliknya?” jawab Dita sambil
Kembali bertanya
“Kabarku baik ham, Cuma biasa ada kantongku masih tetap sakit” he…
Kami bertiga menikmati secangkir kopi dan bercanda di tengah lalu lalangnya
kendaraan malam dan ditengah terangnya cahaya lampu yang berkilauan. Tiba-tiba
aku mengalihan pandangaku pada seorang wanita yang berkrudung putih dengan buku
di tangannya. Ia terlihat ingin menyebrang, matanya yang aktif melihat ke kiri
dan ke kanan sambil melambaikan tangannya agar memastikan ia bisa menyebrang
dengan aman.
“Hai Zef kenapa kamu ngelamun aja?” Bentak Ilham dengan nada yang mengagetkan.
“eh…kamu Ham bikin kaget aku aja, aku lagi liat wanita, coba kamu lihat wanita
cantik yang baru nyebrang itu”… jawabku sambil menjulurkan tanganku kea rah
wanitayang baru nyebrang.
Entah kenama wanita yang ingin kutunjukan pada Ilham menghilang dari
pandanganku. Dengan rasa heran dan penuh penasaran tiba-tiba Dita mengeluarkan
suaranya.
“ah kamu Zef, tuh cewe yang kamu liatin tadi udah naek mobil”
“oh iya Zef kata Ilham ada yang ingin kita bicarakan” lanjut Dita dengan nada
yang serius
“iya aku ingin bicarain masalah PPL Dit” jawabku
“tadi aku ke al-jami’ah menemui Karo, katanya anggaran untuk biaya praktikum
itu masih ada dan kari melarang keras jika ada mahasiswa yang dipungut kembali
oleh birokrasi” lanjutku kepada Ilham dan Dita.
“oh berarti benar apa kat ketua jurusan kita” jawab acil
“soalnya tadi aku ke jurusan dan nanyain tentang uang untuk praktikum, katanya
uang praktikum itu blum keluar, tapi yang aku bingungkan ketika nanyain ke PDII
bagian keuangan fakultas katanya uang untuk praktikum udah di cairin ke
masing-masing jurusan. Termasuk jurusan kita Zef, Dit” lanjut sambil mereguk
secangkir kopi
“berarti ini ada misskomunikasi kalau begitu” jawab Dita
Rasa heran semakin terlihat di wajah Zef ketika mendengarkan penjelasan dari
Ilham, berarti uang dari al-jami’ah udah di ambil oleh fakultas untuk di
alokasikan ke masing-masing jurusan. Dengan muka aga kesal Zef mencoba
memberikan solusi pada Ilham dan Dita.
“ya udah kalau emang penjelasannya sepeti itu Ham, Kita harus meminta mereka
untuk bisa audensi tterkait permasalahan ini. Soalnya pihat fakultas
sudahmencairkan ke masing-masing jurusan, tapi dari jurusan belum nerima,
berarti uangnya nyangkut dimana th” kata zef pada Ilham dan Dita
“ide bagus tuh” tutur Dita
“sekarang gini aja Ham, Dit, kita harus bagi2 peran” lanjut Zef dengan aga
serius
“Peran untuk apa Zef” jawab Ilham
“ya.. peran untuk bisa ngadain audensi sama pihak birokrasi” lanjut Zef
“sebelum kita ngadaain audensi, kamu Dit dan Ilham harus menginterpensi
anak semester kita yang ingin ikut ke PPL ke jogja, aku akan bikin stetmen
dalam bentuk tulisan supaya bisa menggiring oponi public khususnya di angkatan
kita, agar mereka juga bisa tau, setelah anak-anak angkatan kita bisa sepaham
dengan apa yang kita inginkan, baru kita meinta ke jurusan untuk audensi.
“Ok Zef” kata Ilham dan Dita.
“ya udah aku harus pulang Zef, Ham, soalnya besok pagi aku harus kerja dulu”
tutur Dita sambil pamit.
Tak lama Dita pulang, Aku dan acilpun sepakat untuk sama-sama pulang ke kosan
masing-masing di tenganh larut malam yang hening dan udara yang semakin
mendingin.
***
Setibanya aku di kosan, aku tidak langsung tidur, notbook yang tergeletak di
atas meja kunyalakan dan mulai melanjutkan kegiatan belajar nulis
menulis. Setelah aku menulis tentang identitas beragamnya mahasiswa, aku
belajar menulis cerpen untuk kupersembahkan pada Ibuku yang keberadaannya jauh
denganku. Di dalam tulisan itu tertulis cerita berikut ini:
Berangkat dari ketidak tahuan, kami sebagai mahasiswa BSI yang sebentar lagi
akan melaksanakan PPL yang harus mengeluarkan uang sebesar 650
ribu/mahasiswa. Dalam hal ini kami tidak mempersoalkan masalah besar kecilnya
uang akan tetapi secara prosedural tidak, karena yang saya tahu didalam sebuah
lembaga itu sudah ada aturan maen tersendiri yang sudah disahkan oleh pihak
rektorat tidak terkecuali dengan praktikum. Artinya, untuk masalah praktikum
saya yakin pihak lembaga (rektorat) sudah mengalokasikan dana tersebut untuk
setiap jurusan, karena dari semester I-V kami membayar biaya tersebut, tanpa
harus memungut sepeserpun uang dari mahasiswa. Adapun jika harus ada pungunatan
terhadap mahasiswa itu termasuk pada kejadian isidental (diluar perencanaan)
dan itupun harus dikordinir oleh mahasiswa itu sendiri (seperti yang yang
diutarakan oleh pihak biro).
Sehubungan dengan demikian saya dan saudara Ilham yang diwakili oleh ketua
senat yaitu Senat mencoba menjalin berkomunikasi dengan pihak PD II untuk
masalah biaya praktikum tersebut. dan kata pihak PD II, bahwa biaya praktikum
untuk bulan ini belum cair dan Insya Allah katanya dana tersebut akan cair pada
bulan april. Akan tetapi PD II mengutarakan bahwa ia sudah mengalokasikan dan
sudah dicairkan untuk semua jurusan yang ada di fakultas Adab dan
humaniora. Diantaranya; BSA, SPI dan BSI pada saat kami semester V dengan
anggran sekitan 20Juta. Akan tetapi kami sebagai warga BSI sama sekali tidak
merasakan Biaya praktukum tersebut tidak seperti halnya BSA dan SPI yang pada
saat itu BSA berangkat ke kampong naga tepatnya di garut dan SPI berangkat ke.
Cirebon yang mengunjungi kraton kesepuhan dan kraton kanyoman, tapi BSI tak ada
kegiatan yang jelas untuk masalah praktikum itu sendiri.
Dari ketidak jelasan biaya praktikum yang sudah dicairkan untuk BSI dari PD II,
saya dan saudara Ilham lagi-lagi menjalin komunikasi kembali dengan Pa Dedi
Sulaeman sebagai ketua jurusan yang pada saat itu kami berkomunikasi di
kantornya. Saya dan Ilham meminta kejelasan kembali mengenai biaya yang sudah
di cairkan oleh PD II untuk jurusan BSI. Adapun pernyataan yang di utarakan
oleh ketua jurusan sangat berbeda dengan apa yang di utarakan oleh PD II, bahwa
untuk masalah uang yang sudah dicairkan oleh PDII untuk jurusan BSI pihak
jurusan sama sekali tidak menerimanya. Artinya, jika saya analisa hal demikian
berarti adanya miskomunikasi antara PDII dan pihak jurusan BSI.
Maka untuk mengklirkan permasalahan tersebut kami atas namah mahasiswa semester
VI berusaha meminta kepada ketua jurusan agar bisa mempasilitasi kami sebagai
warga BSI untuk mengadakan Audensi antra PDII dan Ketua jurusan BSI, agar bisa
menemukan jalan keluar terbaik diantara keduanya. Yang pada akhirnya kami
selaku warga BSI Cuma ingin minta keringanan biaya praktikum tersebut untuk
bisa memakai biaya yang pada saat kami semester V belum terpakai.
Semua itu aku tulis dari sebuah pejalanan panjang untuk memperjuangkan hak-hak
kami sebagai mahasiswa.
Satu hari setelah menulis itu, sampai pada akhinya kami atas nama semester VI
tiba di penghujung acara yaitu audensi deng pihak birokrasi. Alhasil. Dekan dan
berjanji akan menggati uang itu sehari sebelum keberangkatkan ke Jogya.
Kami atas nama semester VI tidak lantas percaya begitu saja, karena dengan
bahasanya yang santuh dan mampu merasionalkan kadang-kadang hanya untuk mereda
keingin kami, sampai pada akhirnya aku dan Ilham berkomitment untuk terus
mengawal janji dari Dekan fakultas Adab dan Humaniora itu.
***
Hari semakin gelap, awan yang cerah kini berubah ke-kuning-kuningan matahari
semakin terbenam di upuk timur, burung-burung berterbangan untuk kembali ke
sarangnya setelah seharian penuh ia mencari makan.
Sementara itu aku pulang ke kosanku dengan membawa kisah-kisah yang bisa ku
ampil hikmahnya, perutku mulai terasa perih, bagaimana tidak, setelah
seharingan penuh aku beraktivitas sampai-sampai perutku tak terisi makanan yang
mengandung zat besi, hanya asap-asap roko yang bisa ki isap dan kopi hitam yang
mengganjal laparku.
Setibanya aku di kosan, aku rebahkan tubuhku di atas kasur yang cukup untuk
sendiri, tanganku menjadi ganjal untuk kepalaku, di tengah kurebahkan badanku
aku terpikir akan orang tuaku yang jauh disana, tak ada kabar sama sekali dan
ku coba-menghubunginya tak pernah aktiv-rasa kangen dan sedih terluapkan oleh
air mata yang tak disengaja.
Agar aku tak terlarut dalam kesedihan, aku mengusahakan untuk membahagiakan
diriku sendiri dengan mencoba mengevaluasi semua nilai-nilai yang selama ini
cari dan aku anut, baik dalam perjumpaanku dengan dunia sekitar maupun dengan
teman-temanku.
***
Lelapnya diriku terbaring di kasur, tak ada yang bergerak selain isyarat
lemah yang terdapat dalam mimpiku. Mimpi yang tumbuh dalam tidurku
hanya sebuah gambaran yang tak harus jadi kenyataan. Kulihat seseorang
telanjang bulat di tengah kerumunan orang banyak, entah isyarat atau pertanda
apa yang ada dibalik mimpiku itu. Tanganku terasa dingin merayat ke
dinding-dinding yang sudah aga kusam, dan akhirnya aku terbangun di tengah
cahaya pajar yang meyorotkan cahayanya lewat jendela yang menghadap ke timur.
Termenung sejenak sambil bersandar di tembok yang berwarna kuning
kehijau-hijauan sambil mengingat-ingat akan bunga tidurku yang menjadi sebuah
pertanyaan besar dikepalaku.
Ku ambil secangkir gelas yang telah berisikan air dan ku teguk dengan
perlahan-lahan berharap bau tak sedap di mulutku bisa kembali segar - maklum
semalam bergadang dan menghabiskan rokok beberapa batang, jadi tak sempat gosok
gigi.
Jam sudah menunjukan pukul 08.23 mengingat masuk kuliah masih lama dan bisa
bersantai dulu sambil menikmati hangatnya mentari dengan ditemani secangkir
kopi hitam dan sebatang rokok, ku alihkan pandanganku pada buku-buku yang
berjajar rapi bagaikan sebuah pajangan tepat di sebelah jendela yang ada
diruanganku, hatiku tiba-tiba memberi isyarak kepada tanganku untuk mengambil
buku yang tertata rapi itu. Titik Ba adalah buku yang di ambil
olehku, sekilas kubaca synopsis dari buku Titik Ba itu yang mengimformasikan
tentang maslah kehidupan manusia, dimana selalu diselimuti dengan berbagai
macam misteri yang jarang di ungkap oleh manusia itu sendiri, ada beberapa
kutipan menarik yang memang membuat saya untuk terus bangkit jika ada sebuah
permasalahan, diantaranya; mengajak kepada kita semua untuk berdiri di atas
kaki dan hati sendiri sehingga arah perubahan diri dari dalam keluar.
Mataku terus bergelintir memahami maksud dari isi buku yang memang sangat
menarik ini, dan beberapa kata yang mungkin jadi sebuah pertanyaan besar bagi
para pembaca termasuk saya, dimana dalam buku itu diungkapkan jika segalanya
(suara kebenaran, diri, dunia) merupakan keutuhan, adakah paradigm yang
memungkinkan kita memahami dan menyelami secara utuh, konsisten dan tuntas?,
dan jika yang selalu kita sadari hanyalah setitik kesadaran pada saat ini dan
disini, apa yang seharusnya kita sadari pada setiap titik tersebut?. Kemudian
di bagian selanjutnya diungkapkan kembali sebuah pertanyaan yang lagi-lagi
membuat saya jadi pengen muntah karena kebingungan maksud dari
pertanyaan-pertanyaan itu khusunya mengenai sebuah kebenaran dengan pertanyaan
jika kebenaran semakin langka dalam arus-deras imformasi yang semakin
terdistorsi, bagaimana kita tetap setia pada hati nurani?
Sejenak aku termenung dan memfokuskan fikiranku untuk menjawab beberpa
pertanyaan itu, sampai akhirnya aku mencoba untuk menyimpulkan bahwa semua itu
merupakan masalah-masalah yang memang benar-benar fundamental, semua itu bisa
deijawab dengan pendekatan gabungan antara pengetahuan multidisiplin. Artinya,
kita dengan berbagai latar belakang yang berbeda baik itu pendidikan maupun
pekerjaan harus senantiasa menyikapi sebuah persoalan dengan menggugahkan hati
dan nalar untuk selalu mengintegrasikan setiap aktivitas dalam sepirit
menggabungkan nama-Nya.
Tak sempat ku tamatkan
buku itu, tiba-tiba aku mendapa telephon dari Ilah ulham untuk bisa berkumpul
bersama-teman-temannya di taman kampus kami. Entah apa yang ia ingin bicarakan,
yang jelas perasaanku berkata bahwa pasti Ilham akan membicarakan seputar
persoalan kampus, yang di dalamnya menyangkut system mungkin.
Tapi untuk lebih meyakinkan akupun bergegas untuk menemuinya, setelah aku
sampai di taman Kampus, terdengar suara yang sedang memanggil namaku, ku
alihkan pandanganku ternyata Ilham dan teman-temannya menyapaku agar aku tak
lagi harus mencari disebelah mana Ilham dan berkumpul. Ia mnyambut kedatangnku
dengan bersalaman satu-persatu dari mereka.
“Gimana kabarnya kamu Zef?” sambut teman acil padaku.
“Alhmdulillah…Baik”Kataku
“Ada acara apa ini Ham?” tanyaku
“jadi gini Zef, Anak-anak katanya pengen aksi di kampus, tapi masih bingung
untuk mengangkat isunya, soalnya kan tau sendiri kebokbrokan di kampus kita
terlalu banyak.” Kata ilham dengan jiwa nasionalisnya
“Oh… gitu ya Ham, emang rencananya kapan kita mau aksi?”
“Senin sekarang Zef” jawab Ihlam
“berarti dua hari lagi dong, ya udah gini aja, di karenakan aksi untuk
permasalah bangunan sudah berkali-kali, gimna kalau isunya lebih kita
spesifikan.” Kataku pada mereka
“spesifikan gimana maksudnya”
“maksudnya kita tetap aksinya dengan isu pembangunan, tapi kita harus
menitiberatkan pada pembangun kampus, soalnya kasian para mahasiswa akhir harus
meminjam buku ke kampus yang lain.”
Dua jam berlalu kami mendiskusikan untuk merencanakan aksi di kampus, semenatra
itu, seorang dari teman kami pergi satu-persatu pulang ke kosanya
masing-masing. sampai pada akhinya aku dan Ilham yang tersisa.
***
Tepat dipukul 08.25 hari Senin lagi-lagi saya bangun kesiangan untuk keseian
kalinya, maklum sebagai mahasiswa yang memiliki cita-cita dan ingin merdeka
secara ilahiah saya sering harus bergadang berarut-rarut dengan beberapa
sahabat-sahabat yang selalu setia untuk diajak berdiskusi meski haya ditemani
dengan sebatang roko dan scangkir kopi.
Udara segar terasa pagi ini, namun sayang berhubung bangunnya aga siang jadi
rasa segar udara tersebut sudah terkontaminasi dengan udara-udara yang aga
sedikit panas. Kupanjatkan do’a sejenak kepada Allah SWT agar senantiasa
menambah pundi-pundi amal ibadahku. Tak lama kemudian ku ambil segelas air yang
biasa telah kupersiapkan sebelum tidur, kemudian kuteguk dengan perlahan-lahan
berharap bunga tidur yang masih menempel di mulutku bisa kembali bersih dan
harum.
Sebagai manusia moderen dan sebagai mahasiswa yang peka akan teknologi
dan impormasi saya pun tidak pernah lupa untuk melihat mobile phone yang
berwarna merah dengan merek nokia yang setiap dibuka selalu ada
impormasi-impormasi yang datang dari bernagai sumber, baik itu dari teman
sekelas, teman seorganisasi dan tidak terkecuali dari seorang cewe yang
sering disapa dengan sebutan Ayank . alhasil imporasi yang datang dari, Ulul,
Deni, tak terkecuali dari Ilham yang di sambut dengan impormasi yang datang
dari Ayank manispun menjadi pembuka hari ini. Adapun impormasi yang datang dari
saudar Ulul ialah menanyakan akan keberadaan saya, “Zef lagi dimana? Udah
bangun belum, cepet bangun jangan tidur mlu”. Tak sempat ku balas karena masih
ada pesan yang tersisa yang belum ku baca yaitu dari saudar Deni teman sekelas
saya yang mengimpormasikan dengan bahasa “ Salam...teman bsok d tnggu ya
bagi yang mau nglunasin uang baju kelas kita and jngan lupa tugas drama
hari ini di kumpukan. trma kasih sent all...” namun naasnya pesan ini pun
tak sempat dibalas sama halnya dengan pesan yang pertamana. Impormasi yang
tersisa hanya ada dua lagi yaitu dari saudar Ilham dan dari Ayank Manis. “Zef
dimana, cepet banging kitakan mau aksi hari ini, anak-anak udah pada ngumpul
ni...” pesan itulah yang datang dari teman saya yang bernama Ilham, dengan
perasaan yang bingung aku melamun dan mempertanyakan hari apa ini, dan kenapa
Ilham ngajak aksi, padahal kan ini hari minggu.
Ku tephon Ilham untuk lebih meyakinkan, aksi atas nama siapa dan terkait
permasalahan apa?
Aku terkejut kita Ilham bilang bahwa hari ini hari senin dan sesuai dengan yang
kita janjikan hari ini aku, ilham dan teman-teman akan turun aksi. Dengan
segera ku pertegas padanya,
“Oh…maf Ham, aku sama sekali lupa, kirain saya hari ini hari minggu”. Jawab ku
sambil bersiap-siap untuk ke kamar mandi
Setelah ku tutup pembicaraanku sama Ilham lewat telephon, kembali hapi
bordering bahwa ada pesan masuk untukku, setelah ku kubaca ternya pesan itu
berasal dari pacarku yang kuberinama “Ayank” ku baca pesan itu yang berbunyi“
Ayank udah bangun belum, pasti ksiangan lagi, cepet bangun trus mandi bis itu
langsung sarapan”. Senyum bahagiapun terasa saat mendapat pesan dari Ayank
tersebut, dengan segera ku balas pesan itu tanpa bertele-tele, “ ayank
maaf bru d lz, maklun a ksiangan lagi. Ia, ayank udah makan blum, kliah ga?...”
tanpa lelet tombo OK segera pu pijit berharap balesan untuknya cepat terkirim
- maklum suami takut istri..hehe.
Melihat arah jam yang sudah menujukan pukul 08:o5, dengan segera ku ambil
handuk mandiku yang biasa digantungkan di dingding yang mungkin sudah agak
kusam, ku ambil peralatan mandi yang setia menunggu di atas rak sepatu. Ku langkahkan
kakiku dengan cepat menuju ke kamar mandi - maklum jarak kamarku dan kamar
mandi sekitar 8meter dan berada di samping jalan dimana para mahasiswa yang
berlalu lalang akan senantiasa bisa melihat orang yang akan masuk ke kamar
mandi tesebuk, jadi sudah biasa jika handuk selalu menyelimuti kepalaku.
***
Turun kejalan untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi mahasiswapun sering saya
lakukan, maklum sebagai aktivis yang berfikiran bahwa keberhasilan proses
belajar mngajar di Universitas/perguruan tinggi itu tidak di ukur dari seberapa
besar nilai indek prestasi (IPK), namu sejauh mana kadar keilmuan yang dimiliki
oleh mahasiswa bisa di aktulisasikan dalam kehidupan Masyarakat, Negara dan
agama. Yang menjadi hakikat daripada TRIDHARMA Perguruan Tinggi.
Trik matahari dan debu-bedu jalan yang tersapu oleh angin ikut menggersangkan
hari ini, teriakan-teriakan untuk menyampaikan tuntutan kepada birokrasi
kampuspun terdengar jelas ketelingaku. Dengan segera kuhampiri mereka, Ilham
telah siap dengan megaponnya untuk menyuarakan hak-haknya, Ratusan orang bahkan
ribuan orang dari mahasiswa UIN SGD Bandung menjadi penonton aksi kami,
lagi-lagi kami meneriakan kepada mereka yang masih belum sadar bahwa aksi kami
bukanlah aksi tontonan. Mereka yang jadi penonton layaknya boneka-boneka yang
tidak tahu apa-apa, yang sejatinya mahasiswa sebagai agent sosial of change,
agent sosial of caontrol hal itu terjadi entah mereka apatis atau hedonis. Tapi
bagi saya walaupun ditontong yang jelas saya sadar bahwa saya aksi untuk
kebaikan semua dan ajang proses pembelajaran.
Kampus sebagai miniatur negara sejatinya menjadi pelopor perubahan di tanah
air. Akan tetapi hal ini menjadi sangat urgent, mengingat sistem dan
segala masyarakat intelektual yang tergabung di dalamnya mampu memformulasikan
dan mampu menggerakan cita-cita bangsa. Akan tetapi, situasi menjadi bertolak
belakang jika kampus itu sendiri memiliki ketimpangan sistem sehingga
berbanding terbalik dengan harapan ideal.
Kontek UIN SGD Bandung sendiri sebagai entitas perubahan tersebut kenyataannya
memiliki disorientasi sistem kampus yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi
mahasiswa dan civitas akademika secara umum. Ketimpangan dan kebokbrokan sistem
kampus hingga hari ini tetap hadir di depan mata. Realita yang sudah menjadi
rahasia umum ini mau tidak mau akan menciptakan absurditas yang berdampak pada
pembunuhan intelektual secara gradual dan selayaknya patutu untuk
dikritisi. Diantara berbagai bola salju problematika yang terjadi, secara
umum dapat diakumulasikan sebagai berikut:
a. Disorienrasi penyelenggaraan sistem akademik
b. Ketidak jelasan pengelolaan anggaran sehingga
berdampak pada banyaknya pungli (pungutan liat)
c. Tata ruang kampus yang tidak memihak kepada mahasiswa
dan masyarakat sekitar
d. Campur tangan birokrasi terhadap lembaga
kemahasiswaan
e. Rektor tidak tidak bertanggung jawab dengan mem-BLU
kan UIN Bandung, padahal UIN bandung adalah aset negara
Atas dasar hal tersebut kami atas nama Forum Demokrasi Kampus (FDK) teergerak
turun kembali ke jalan tiada lain untuk menyuarakan hak-hak mahasiswa.
Berbagai pungutan liar, pengajar yang tidak memiliki kreadibilitas, interpensi
birokrasi terhadap indepedensi mahasiswa, sistem akademik yang disorientasi,
tata tuang kampus yang mengeliminir ruang kreatifitas mahasiswa, tata kelola
sistem BLU yang tidak jelas, dan berbagai ketimpangan lain yang bermuara pada
bokbroknya sistem kampus ini sejatinya mampu di conter dan dilakukan resistensi
atas hegemoni-hegemoni di atas.
Maka dari itu, kami Forum Demokrasi Kampus (FDK) menuntut:
a. Tingkatkan kualitas dan kapabilitas mutu pengajar
b. Sosialisasikan dan transpransikan pengelolaan
anggaran akademik dan kemahasiswaan
c. Independensikan lembaga kemahasiswaan
d. Pasilitasi ruang publik bagi mahasiswa
e. Rektor harus bertanggung jawab atas terselenggaranya
sistem BLU di UIN SGD Bandung.
Hidup mahasiswa...hidup mahasiswa...hidup mhasiswa... itulah suara-suara
teriakan yang di kumandangkan oleh kami atas apa yang terjadi dikampus hijau
tercinta ini.
Akhinya agenda Saya dan Ilham beserta teman-teman bisa terlaksana untuk
melakukan gerakan-gearakan yang revolusiaoner yang kami cita-citakan.