ANALISIS
SEMIOTIK PADA SYA’IR “HIRUP DI DUNYA UKUR NGUMBARA”
Oleh:
Asep Zaenul Falah
1210503022
A.
Sya’ir
“Hirup di Dunya Ukur Ngumbara”
Astagfirulloh
Robbal baroya
Astagfirulloh minal khotoya
Robbi zidni ‘ilmannafi’a
Wawakifni ‘amalan soliha
Hirup di dunya ukur ngumbara
Harta jeung anak pitnah nu aya
Kuatkeun iman tingkatkeun takwa
Pasti salamet di akhir masa
.
Lobakeun pisan mieling mati
Sabab ieu teh datangna pasti
Nyawa dipundut Robbul izzati
Mangkade hirup sing ati-ati
Datangna ajal diri sumerah
Nyawa jeung jasad tuluy papisah
Anak kulawarga karumpul kabeh
Tuluy dibungkus badan ku boeh
Nu nganteur jenajah tilu perkara
Amal jeung harta anak kulawarga
Harta jeung anak baralik deui
Amal mimilu nu jadi saksi
Umur manusa bakal ditanya
Kawit lahirna dugi ka maotna
Waktu ngorana waktu sehatna
Sadaya pisan di pariksana
Taya hartina hirup di dunya
Salami hirup midamel dosa
Poho ka diri pasti cilaka
Nandangan siksa seuneu naraka
B.
Penjelasan
Sya’ir Hirup di Dunya Ukur Ngumbara adalah
salah satu sya’ir yang sering di kumandangkan di mesjid-mesjid, khusnya di
kalangan dunia pesantren yang masih bersifat agraris, tanpa terkecuali di
pesantren Assalafiah Babakan Cipanengah Sukabumi. Setiap sore sebelum menjelang
magrib tradisi sya’iran (pupujian) atau nadzoman ini masih melekat di pesantren
tersebut. Dimana para santri berkumpul dan bersama - sama mengumandangkan
berbagai macam sya’ir dengan cara bergantian. Salah satu sya’ir yang sering di
kumandangkan yakni sya’ir Hirup di Dunya Ukur Ngumbara.
Salah satu alasan mengapa sya’ir (pupujian)
dilakukan setiap sore sebelum menjelang magrib (adzan) itu di disebabka bahwa
inti hidup yang mesti direfleksikan bagi setiap Muslim adalah membuat hidupnya
lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai
kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian setelah
seharian disibukan dengan hiruk piuk kegiatan keduniawian. Dengan mengingat
kematian, maka diharapkan seluruh manusia dapat menghidupkan kembali sakralitas
Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar tata-darigama yang sesuai dengan
ajaran Agama Islam yang bernilai universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh
budaya lokal.
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus
berubah, maka Yang terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas
sya’iran (pupujian) jangan dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada
sunah Nabi. Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan
bahwa kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras.
Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Sukabumi, pun uwak – Ajeungan Muchlis
– memberikan sya’iran (pupujian) yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan jasad
saya untuk terus beramal saleh.
Dari paparan di atas penulis bertujuan untuk
menggali kembali secara menyeluruh mengenai khazanah budaya local (sya’ir)
dengan melakukan pengkajian yang lebih mendalam yaitu melalui pendekatan
sastra. Pendekatan sastra yang dimasksud adalah sebuah cara yang mengarah pada
upaya untuk mempengaruhi emosi dan perasaan pembaca. Seperti yang diketahui,
karya sastra (sya’ir) dalam implementasinya membutuhkan berbagai penafsiran
yang mendalam untuk mengetahui kedalaman makna apa saja yang terkandung di
dalamnya.
Dalam upaya penggalian makna, kirannya
pendekatan semiotic cukup relevan untuk di aplikasikan dalam membedah sya’ir Hirup
Di Dunya Ukur Ngumbara. Selanjutnya, dalam menganalisis sebuah karya
sastra dalam hal ini puisi, Peirce penggunaan dua aspek. Diantaranya; aspek
sintaksis dan aspek semantis. (Okke. 2002: 124). Ketiga aspek tersebut
selanjutnya langsung dapat dipahami melalalui analisis sya’ir Hirup Di Dunya Ukur Ngumbara (HDUN)
yang sering di kumandang di mesjid-mesjid ini.
C.
Pembahasan
1. Analisis Aspek Sintaksis
Sya’ir yang sering dikumandangkan di kalangan
pondok pesantren ini (HDUN) memiliki kandungan makna yang sangat dalam sekali.
Dimana gaya penulisan tiap baitnya disusun dengan penuh kehati-hatian dan
ketelitian untuk senantiasa memberikan suatu pesan yang yang oleh pengarang pada
tiap baitnya disisipi ikon tentang kematian. Sya’ir tersebut memiliki empat
larik yang tersusun dalam suatu baitnya dan sya’ir ini memiliki tujuh bait.
Jika penulis hitung dari jumlah keseluruhan pada HDUN ini hanya memiliki 7
kalimat saja, meskipun pada tiap kalimat pengarang sama sekali tidak mensisipi
tanda baca seperti titik, koma pada akhir kalimat. Hal inilah yang kemudian
menjadi satu persoalan yang oleh peneliti dijadikan satu bahan interpretasi
yang luas untuk memaknai puisi ini, meskipun seiring berjalannya waktu proses
inerpretasi ini merupakan satu proses yang tanpa batas.
Melalui interpretasi peneliti mengenai sya’ir
tersebut yang memiliki tujuh kalimat yang terdiri dalam tujuh bait dan empat
larik dalam satu baitnya, maka oleh penulis di interpretasi secara perbait.
Pada bait pertma yang berjumlah 4 larik ditulis dengan syair bahasa arab yang
berisi : Astagfirulloh Robbal baroya, Astagfirulloh minal khotoya,
Robbi zidni ‘ilmannafi’a, Wawakifni ‘amalan soliha.
Pada kalimat pertama ini penulis mengajak kita
untuk terlebih dahulu menundukan kepala dan merendahkan hati dengan menyadari
secara seportif bahwa yang haruh kita lakukan dan perbaiki bukanlah sesuatu
yang ada diluar sana melain sesuatu yang jauh tersimpan di dalam lubuk hati
yang sangat mendalam dengan cara memohon ampun kepada Illahi Robbi atas
dosa-dosa yang telah kita lakukan sebelum pada akhirnya ajal menjemput kita. Sedangkan
pada bait kedua, penutur mengajak kita untuk sejenak merenungkan tentang
perjalanan kita hidup yang pada akhirnya aka ada ujung dari degala pengharana
(kematian) dengan kalimat “Hirup di dunya ukur ngumbara”, yang di
pertegas dengan segala apa yang kita miliki merupakan satu titipan yang kapan
saja siap diambil oleh pemilik-Nya. Dengan demikian pergunakannla apa yang
telah menjadi titipan-Nya dengan cara menempuh jalan-jalan keridhoan
penciptanya-Nya agar semuanya tak jadi
fitnah belaka dengan ungkapan “Harta jeung anak pitnah nu ay”. Yang pada
akhirnya penutur merujuk pada pesan agar kita senantiasa mengukuhkan ketakwaan
yang menjadi dasar pijakan untuk kembali kehadira-Nya dengan selamat.
Adapaun pada bait-bait selanjutnya penutur
mengungkapkan kalimat-kalimat yang memiliki makna sama dengan kalimat-kalimat
sebelumnya yang di dasari pada ajakan kepada kita semua agar senantiasa gegap
gempita untuk tidak sedetikpun lengah atas apa yang telah diberikan oleh Allah
SWT kepada kita yang kapan saja akan kembali kehadirat-nya.
Selanjutnya, jika ditinjau sya’ir HDUN tersebut
pada sudut pandang ryme (rima) maka tedapatlah pada setiap ariknya berbunyi
a,a,a,a pada bait pertma, yang di susul dengan bunyi i,i,i,i, pada kedua. Yang
kemudian di tutup dengan bunyi rima yang sama pada bait pertama. Hal ini
menujukan bahwa dalam sya’ir HDUN memiliki gabungan rima antara rima lurus yang
hadir di bait pertama dan di akhir, kemudian rima berkait pada bait kedua.
Kehadiran bunyi rima yang berbeda tersebut penutur ingin mengahadirkan sebuah
keunikan pada sya’ir tersebut.
2. Analisis Aspek Semantis
Jika kita telaah sa’ir HDUN ini, maka kita akan
menemukan beberapa gambaran yang disampaikan oleh pengarang tentang kematian
yang memiliki hubungan dengan manusia. Yang kemudian dari kesalinghubungan
tersebut memiliki makna yang tersirat untuk di interpretasi. Untuk mengetshui
makna yang tersirat dapa sya’ir tersebut maka alangkah baiknya terlebih dahilu
dibahas mengenai isotopi yang terdapat pada sya’ir tersebut. Adapun yang
dimaksud dengan isotopi adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat
disepanjang wacana yang memungkinkan memiliki suatu pesan untuk kemudian
dipahami sebagai perlambangan yang utuh. Karena itu, dalam isotopi makna
mencapai keutuhannya (Rusmana, 2008: 86).
jika isotopi dipahami sebagai sebuah
perlambangan yang utuh, maka kita akan temukan beberapa isotopi yang berkaitan
dengan alam, manusia, sifat, perbuatan, waktu, tempat, dan isotopi penghubung
yang terdapat pada sya’it tersebut.
a.
Isotopi Alam
Adapun yang dimaksud isotopi alam adalah
wilayah makna yang terbuka yang dilambangkan dengan alam itu sendiri seperti :
Dunya, hirup, harta, akherat, naraka
b.
Isotopi kematian
Ajal, maot,
c.
Isotopi Manusia
Adapun yang dimaksud isotopi alam adalah
wilayah makna yang terbuka yang dilambangkan dengan alam itu sendiri seperti :
hirup, anak, nyawa, jasad, keluarga, umur, ngora, sehat, poho.
d.
Isotopi sifat
Isotopi sifat yang ada pada sya’ir HDUN
diantaranya; ngorana, poho,
e.
Isotopi perbuatan
Diantaranya;
ngumbara, Kuatkeun, tingkatkeun , Lobakeun, Mieling, sing ati-ati, Nandangan,
midamel , pariksana , ditanya, mimilu, baralik , nganteur , dibungkus ,
sumerah, karumpul, dipundut
f.
Isotopi penghubung
Diantarnya;
di, jeng 3x, nu, tuluy, ku, ka.
Terdapat
kurang lebih eman isotopi yang d kemukakan oleh penulis yang tentu didalamnya
terdapat motif yang mendukung untuk membangun sebuah tema dari sya’ir tersebut.
Adapun yang dimaksud motif menurut Okke yaitu unsure yang terus menerus diulang
dan beberapa motif akan mendukung kehadiran tema (Rusmana, 2008: 88).
Jika
kita lihat dari kelompok motif yang telah di jelaskan di atas, maka isotopi
perbuatan yang disusul dengan isotopi manusia dan alama yang paling banyak
menonjol pada sya’ir tersebut. Hal ini bisa kita nyatakan bahwa sya’ir tersebut
memiliki motif utama yaitu aktifitas yang didalamnya senantiasa merenungkan
akan datangnya ajal yang tanpa pandang bulu. Adapun isotopi manusia dan alam
pada sya’ir ini memiliki arti bahwa perbutan manusia akan selalu diiringi
dengan kehendak alam yang pada kedudukannya kita sebagai manusia sedang
melakukan perjalan (ngumbara) akan pada akhirnya aka nada akhirnya.
Selanjutnya,
kehadiran isotopi sifat pada kata ngora, poho merupakan isotopi yang memiliki
kandungan makna yang dalam, dimana manusia harus senantiasa mengingat bahwa
sifat yang kita miliki selama hidup di dunia sudah pasti tidak akan abadi,
seperti sifat muda yang pada akhirnya tua, begitupun dengan lupa yang menjadi
sunatullah dari dari hokum alam
Kehadiran
dari isotopi penghubung berfungsi sebagai penguat dari kalmat-kalimat yang
hadir dalam sya’ir tersebut. Kata di, tuluy, jeng, ka merupakan bentuk kata
penghubung yang pada kalimat selanjutnya menunjukan pada suatu sikap penegasan
tentang sesuatu yang berkaitan dengan kematian. Dalam isotopi pengubung ini
merupakan salah satu unsur yang digunakan untuk memperjelas bagian-bagian dari
kata yang di gunakan pada sya’ir Hirup di Dunia Unkur Ngumbara agar
dapat dipahami yang bersifat komunikatif.
3.
Kesimpulan
Dari
hasil penganalisisan diatas, maka penulis mencoba menyimpulkan bahwa sya’ir
HDUN memiliki nuasa ajakan kepada seluruh manusia agar kita senantiasa
mengingat bahwa hidup di dunia hanyalah tempat bersinggah yang harus di
manfaatnya dengan sebaik mungkin dengan cara menanam amal kebaikan
sebanyak-banyaknya agar kelak mendapatkan hasil yang sesuai di hari pembalasan.
Adapun tema yang di ungkapkan dai sya’ir tersebut adalah tema tentang kematian
dimana penulis selalu menyisipi kata-kata kematian pada setiap baitnya.
Adapun
isotopi perbuatan yang hadir dominan dalam karya ini menunjukkan memiliki motif
utama yaitu aktifitas yang didalamnya senantiasa merenungkan akan datangnya
ajal yang tanpa pandang bulu. Adapun isotopi manusia dan alam pada sya’ir ini
memiliki arti bahwa perbutan manusia akan selalu diiringi dengan kehendak alam
yang pada kedudukannya kita sebagai manusia sedang melakukan perjalan
(ngumbara) akan pada akhirnya aka nada akhirnya. pada isotopi alam juga dapat
dijadikan cerminan bagi kehidupan manusia, di mana mereka dengan kepasrahannya
tunduk pada aturan dan takdir yang telah digariskan oleh sangpencipta.