Sunda Wiwitan: Kepercayaan Monoteisme Purba dengan Filosofi Mendalam
Sunda Wiwitan bukan hanya sekadar kepercayaan sederhana. Ia merupakan tonggak sejarah hubungan budaya antara Sunda dan Jawa. Sunda Wiwitan adalah agama monoteistik purba yang mengenal "Sang Hyang Kersa," setara dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa dalam ideologi Pancasila. Konsep ini terkait dengan kepercayaan Kapitayan di Jawa, yang menyebut "Taya" (tidak ada) sebagai wujud Tuhan yang tak berwujud.
Konsep Kepercayaan dan Filosofi
Sunda Wiwitan mendasarkan kepercayaannya pada "Sang Hyang Kersa," yang dikenal pula sebagai Batara Tunggal, Batara Jagat (penguasa alam), dan Batara Seda Niskala (yang gaib). Terdapat tiga alam dalam konsep Sunda Wiwitan:
Buana Nyungcung: Tempat Sang Hyang Kersa, terletak di lapisan tertinggi.
Buana Panca Tengah: Tempat makhluk hidup, termasuk manusia.
Buana Larang: Neraka yang berada di lapisan terbawah.
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam dengan lapisan tertinggi disebut "Bumi Suci."
Prinsip Dasar
Filosofi Sunda Wiwitan berakar pada dua prinsip utama:
Cara Manusia: Prinsip yang meliputi kasih sayang (asih), tata aturan keluarga (tatanan), perilaku, budi bahasa, dan budaya.
Cara Bangsa: Prinsip universal yang mengedepankan keharmonisan dan penghormatan antar sesama manusia.
Tradisi dan Larangan
Tradisi Sunda Wiwitan mencakup penghormatan terhadap tempat suci (kabuyutan) seperti Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas. Larangan-larangan (buyut) juga menjadi bagian penting, terutama di masyarakat Baduy Dalam, yang menjaga kemurnian ajaran leluhur.
Upacara adat seperti syukuran panen padi dan Seren Taun, perayaan pergantian tahun dalam kalender Sunda, masih dirayakan hingga kini. Tradisi ini dapat ditemukan di beberapa daerah, seperti Kanekes (Banten), Sindang Barang (Bogor), Kampung Naga (Tasikmalaya), dan Cigugur (Kuningan).
Madrais dan Kepercayaan Lainnya
Di Cigugur, muncul aliran Madrais atau Agama Jawa Sunda pada abad ke-19. Ajaran ini mengajak kembali pada tradisi leluhur, namun dianggap kontroversial karena beberapa konsepnya bertentangan dengan ajaran Islam. Ajaran ini dipengaruhi oleh Hindu, Buddha, dan Islam.
Selain itu, kepercayaan Buhun murni (Jati Buhun) juga masih dianut oleh sebagian kecil masyarakat, dengan ajaran yang terdiri dari ketetapan-ketetapan turun-temurun. Kepercayaan ini pernah tersebar luas mulai dari Semenanjung Malaya hingga Pulau Jawa.
Pengakuan dan Toleransi
Meski menjadi bagian dari sejarah panjang Nusantara, eksistensi Sunda Wiwitan sempat mengalami tantangan, terutama dalam pengakuan administratif. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU, aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan kini diakui melalui kolom khusus di KTP dan KK.
Kesimpulan
Sunda Wiwitan adalah warisan budaya dan spiritual yang kaya akan nilai-nilai filosofi. Dengan memahami kepercayaan ini, kita dapat menjaga toleransi dan keberagaman budaya Nusantara. Mari terus menghormati dan melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari kekayaan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar