12/30/2012

PADA SEBUAH KAPAL (Emansipasi Wanita)



PADA SEBUAH KAPAL
(Emansipasi Wanita)

Karya sastra secara umum sebenarnya merupakan gambaran kehidupan   nyata. Hal ini karena terciptanya suatu karya tidak lain adalah hasil dari penghayatan penulis terhadap suatu kehidupan. Untuk itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sastra terutama dalam hal ini novel merupakan kehidupan yang dikisahkan lewat media tulis.
Salah satu pengamat sastra yang bernama Dr. Effendi yang juga dosen di Pascasarjana UNJ mengatakan bahwa sebuah karya sasra diciptakan melalui proses kreatif yaitu imajinasi dan kontemplasi sastrawan terhadap pengalaman yang didapatnya dari kehidupan (alam). Dan segala yang didapat oleh sastrawan melalui proses kreatif itu dituangkan ke dalam bahasa. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan “Dalam peristiwa sastra, pengalaman itu diungkapkan dengan bahasa”(Sumardono dan Saini, 1994). Tidak salah juga apabila Faruk dalam bukunya “Sosiologi Sastra” (1994) mengambil pendapat Goldmann yang melibatkan fakta kemanusiaan dalam proses terciptanya karya sastra.
Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra (seni), sastrawan/seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap kehidupan itu sebelum menuangkan dalam karya sastra (seni)-nya. Dengan demikian karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya.
Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud karena adanya peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau kehidupan manusia.
Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra itu, pada dasarnya tidak dilepaskan dari pemikiran Plato. Dalam hubungan ini, Plato, dalam dialognya dengan Socrates, mengemukakan bahwa semua karya seni (termasuk karya sastra) merupakan tiruan (imitation). ‘Tiruan’ merupakan istilah relasional, yang menyaran adanya dua hal, yakni: yang dapat ditiru (the imitable) dan tiruannya (the imitation) dan sejumlah hubungan antara keduanya. Hubungan dua hal tadi terlihat dalam tiga kategori: (a) adanya ide-ide abadi dan ide-ide yang tidak bisa berubah (the eternal and unchanging Ideas), (b) adanya refleksi dari ide abadi dalam wujud dunia rekaan baik natural maupun artifisial, dan (c) adanya refleksi dari kategori kedua sebagaimana terlihat adanya suatu bayangan dalam air dan cermin dan karya-karya seni ( Abrams, l971 : 8).
Sedangkan menurut Aristoteles salah seorang seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979:
Jika kita mrujuk pada pendapat di atas bahwa karya sastra itu tidak lepas dari kehidupan itu sendiri, demikian juga dengan NH. Dini dalam novelnya Pada sebuah Kapal. Banyak persamaan antara apa yang terdapat dalam novel dengan kisah hidup pribadi pengarang, misalnya saja dalam penggunaan latar belakang yaitu menggunakan latar belakang Semarang yang merupakan tempat kelahiran penulis, Kobe dan Perancis yang merupakan tempat bermukim  pengarang setelah menikah dengan Yves Coffin.
Selain itu novel ini juga menceritakan seorang tokoh yang ingin menjadi pramugari namun tidak kesampaian, dan dalam kehidupan nyata NH. Dini setamatnya dari  SMA bagian Sastra (1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956). Ada satu hal lagi yang memiliki persamaan yaitu kisah perkawinan tokoh dengan orang berkebangsaan asing dan kehidupan rumah tangganya kurang bahagia, demikian juga dengan NH. Dini dalam kehidupan nyata, menikah dengan seorang berkebangsaan asing dan berakhir dengan perceraian.
Melihat dari perjalanan novelis perempuan ini, sama halnya seperti perjalanan kehidupan seorang wanita yang ia cantumkan dalam sebuah karya novelnya yang berjudul Pada Sebuah Kapal. Sri adalah salah satu tokoh utama yang difokus dalam novel ini. Dimana kisah tersebut di awali ketika usia Sri baru mennginjak tiga belas tehun, ayahnya meninggal dunia. Ia sangat mengagumi ayahnya sehingga ia merasa sangat kehilangan. Sejak kematian ayahnya, ia membantu ibunya untuk berjualan kue dan membatik.
Setamat SMA, Sri yang mempunyai hobi dan bakat menari ini bekerja di RRI Semarang, kota kelahirannya. Selama bekerja disana, kegiatan menarinya menjadi berkurang. Hanya tiga tahun ia bekerja di RRI Semarang. Kemudian ia melamar sebagai pramugari. Setelah lulus dari tes-tes yang diadakan di Semarang ia dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti tes selanjutnya. Namun, ia tidka lulus karena paru-parunya dinyatakan tidak sehat. Ia merasa kecewa.
Beberapa bulan kemudian, Sri mendapat panggilan dari temannya yang pernah mengurus tesnya. Ia ditawarkan untuk menjadi wartawan majalah di temannya tersebut, namun tawaran itu ditolaknya karena ia lebih tertarik bekerja di RRI Jakarta. Sambil bekerja, ia juga menyempatkan diri untuk menari. Ia sering menerima tawaran menari dalam pesta perkawinan. Bahkan, ia juga pernah diundang ke Istana Negara untuk menari di hadapan tamu Negara. Tujuh bulan setelah ia berada di Jakarta, ibunya meninggal dunia di Semarang. Ia pun pergi ke Semarang untuk mengurus pemakaman ibunya. Setelah selesai, ia kembali ke Jakarta.
Karena supel dan cantik, Sri banyak dikagumi oleh pemuda-pemuda Jakarta. Namun, di antara sekian banyak pemuda yang menyatakan cintanya, ia hanya menerima Saputro, seorang penerbang. Hubungan keduanya telah melangkah lebih jauh, tidak bedanya seperti suami istri sehingga keduanya sepakat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Namun rencana mereka tidak dapat menjadi kenyataan, karena Saputro mengalami kecelakaan pesawat terbang.
Untuk menghilangkan kesedihannya, Sri pergi ke Yogyakarta. Di kota itu ia berkenalan dengan beberapa orang pemuda yang kemudian menaruh hati kepadanya. Di antara mereka adalah Yus seorang pelukisdan, dan Carl seorang warga Negara asing yang bertugas membantu mahasiswa-mahasiswa yang berada di Negara berkembang. Namun keduanya ditolak oleh Sri secara halus.
Pemuda berikutnya yang berhasil menggaet hati Sri adalah Charles Vincent, seorang diplomat kebangsaan Perancis. Sri tertarik kepadanya karena menurutnya Charles memiliki kepribadian yang baik dan ia pun sangat lembut. Walaupun tidak disetujui oleh keluarganya, Sri memutuskan untuk menikah dengan lelaki itu. Setelah menikah Sri baru mengetahui bahwa Charles adalah lelaki yang egois, keras kepala, kasar, dan tidak mau kalah dengan ketenarannya sebgai penari. Pernikahan mereka sangat tidak bahagia, karena keduanya sering bertengkar. Bahkan pertengkaran itu terus berlangsung hingga kelahiran anak pertama mereka. Semula Sri beranggapan bahwa dengan kelahiran anak pertama, kehidupan rumah tangganya akan bahagia. Namun harapannya ternyata sia-sia. Kehidupan rumah tangga mereka tetap diselimuti oleh pertengkaran.
Perseteruan antara suami istri itu semakin terlihat ketika keduanya ke Perancis. Pada saat itu Charles mendapatkan cuti. Lelaki itu menggunakan pesawat terbang, sedangkan Sri menggunakan kapal laut. Di sinilah terjadinya penyelewengan Sri terhadap suaminya.
Di dalam kapal laut Sri manjalin hubungan dengan seorang pelaut bernama Michel Dubanton, seorang lelaki berkebangsaan Perancis. Hubungan keduanya terjadi ketika mereka menceritakan ketidakbahagiaan kehidupan perkawinan mereka. Sri menceritakan bahwa ia merasa terkekang selama menikah dengan Charles. Suaminya itu sangat kasar dan egois. Demikian pula halnya dengan Michel. Ia menceritakan bahwa istrinya Nicole sangat pencemburu sehingga ia tidak boleh bergaul dengan wanita manapun. Ia juga menceritakan bahwa sebelum menjadi pelaut, ia adalah seorang tentara, yang pernah membela negaranya melawan agresi Jerman.
Karena seringnya bertemu, bertukar cerita dan pembawaan Michel yang lembut dan romantic, Sri jatuh hati kepadanya, Demikian pula sebaliknya. Itulah sebabnya selama di kapal, hubungan keduanya semakin akrab, bahkan keduanya sering melakukan perbuatan terlarang tanpa dihantui oleh perasaan berdosa sedikitpun. Keduanya tidak pernah merasa berdosa pada Tuhan. Mereka tidak peduli dengan masalah dosa, yang penting mereka merasa bahagia.
Sesampainya di Perancis Sri mulai membanding-bandingkan perilaku suaminya dengan Michel. Ia mulai menemukan perbedaan yang mencolok antara keduanya. Michel adalah lelaki yang penuh pengertian, gagah dan baik hati. Sedangkan Charles adalah lelaki yang sangat kasar dan egois. Ia semakin menyadari keburukan tabiat Charles ketika adiknya Charles juga menceritakan tentang kekasaran dan keegoisan lelaki itu. Akibatnya, Sri semakin mencintai Michel dan ia tetap menjalani hubungan dengannya.
Setelah masa cuti Charles berakhir, Sri dan suaminya berangkat ke Jepang karena Charles ditugaskan ke Negara tersebut. Selama di Jepang kehidupan rumah tangga mereka tetap diselimuti pertengkaran dan ketegangan. Itulah sebabnya Sri mangajukan cerai kepada suaminya, namun permintaan itu tidak ditanggapi oleh Charles. Hal itu semikin menyiksa Sri. Untung saja Michel tetap hadir dalam kehidupannya sekalipun wanita itu berada di Jepang, sehingga ia merasa sedikit terhibur. Setelah selesai menjalankan tugasnya di Jepang, Charles berangkat lagi ke Perancis.
Kepindahan Sri ke Perancis diketahui oleh Michel melalui seorang temannya. Michel yang ketika itu memutuskan untuk bekerja di Yokohama kemudian membatalkan niatnya. Dia mengajukan kepada pimpinannya agar ia tetap bekerja sebagai pelaut dan ia minta ditempatkan di daerah pelayaran di Perancis. Hal itu ia lakukan karena ia tidak ingin jauh dari Sri, wanita yang sangat dicintainya.
Cinta menjadi tema pokok novel ini. Tepatnya, perjalanan cinta seorang wanita Jawa bernama Sri yang cukup berliku-liku. Lika-likunya inilah yang menarik, sebab di dalamnya terkandung unsur-unsur budaya, feminisme, dan pandangan-pandangan Dini terhadap keduanya. Melalui Sri yang lembut sekaligus pemberontak, Dini menggugat ihwal peran istri dan perempuan pada saat itu. Ia juga telah dengan jujur dan berani mengungkapkan fakta tentang seks sebelum menikah, perselingkuhan, dan perceraian dari perspektif perempuan. Sri yang dididik orang tuanya selaku perempuan Jawa yang harus serbahalus dalam berkata dan bersikap, ternyata memiliki pandangan sendiri dalam urusan cinta. Baginya, hubungan seks antara dua orang yang saling mencintai boleh-boleh saja dilakukan, walaupun pasangan tersebut bukan suami istri. Maka, Sri pun berselingkuh, atas nama cinta. Singkatnya, Sri adalah seorang wanita yang tahu apa yang dia inginkan.
Selain itu, Dini juga tidak canggung menampilkan adegan-adegan seks dalam karyanya ini. Ya, lagi pula mengapa harus sungkan jika itu memang terjadi secara natural–mengalir–dan bukan sekadar tempelan yang dipaksakan hadir. Bagian tersebut merupakan sesuatu yang menyatu dengan ceritanya. Dan Dini berhasil menghadirkannya dengan luwes tanpa terkesan vulgar. Tampaknya ia hendak menyampaikan, bahwa perempuan juga berhak menikmati seks yang indah dan menyenangkan (bersama lelaki yang dicintainya).
Menariknya lagi, Pada Sebuah Kapal ini dikisahkan dalam dua bagian. Pertama, dituturkan oleh Sri dari sudut pandang perempuan, dan bagian kedua ditulis dari perspektif Michel, kekasih gelap Sri.
Apa yang menjadi uraian diatas lebih menitikberatkan pada tokoh Sri sebagai pelaku utama. Hal ini dikarenakan bahasan yang diambil menyangkut masalah yang berkaitan dengan feminisme dan emansipasi seorang wanita.
Mengenai emansipasi wanita, di Indonesia sudah bergema yang dimulai dengan adanya pejuang wanita misalnya Martha Christina Tiahahu, Raden Ayu Ageng Serang, dan yang sangat terkenal dengan kegigihannya dalam merperluas pendidikan bagi kaum perempuan yaitu  RA. Kartini, serta masih banyak yang lainnya. Dalam dunia sastra NH.Dini merupakan sosok pelopor yang memunculkan idealisme keperempuanan. Berbeda dengan pengarang wanita masa kini seperti Ayu Utami ataupun Djenar Maesa Ayu yang lebih terbuka bahkan kadang terkesan vulgar, goresan tinta NH.Dini masih terlihat malu-malu dalam menyajikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh kaum perempuan. Namun, dengan sifat yang malu-malu inilah makin terlihat feminisnya.
Dengan gaya ketenangan seorang wanita, NH.Dini mampu menghadirkan perjuangan, pergulatan, dan pemberontakan wanita dalam mencari jati diri dan kebebasan. Walau sekecil apapun kebebasan yang didapat, tokoh Sri dalam novel Pada Sebuah Kapal tampak dengan gigih memperjuangkannya.
Apabila kita melihat ke dalam tampaknya novel Pada Sebuah Kapal menghadirkan dua sisi dari emansipasi wanita, yaitu  sisi positif maupun sisi negatif. Kedua sisi ini dikemas apik dan menarik oleh kepiawaian NH.Dini merangkai jalinan cerita. Berikut disajikan kedua sisi emansipasi tersebut dengan dilengkapi cuplikan dari novel Pada Sebuah Kapal yang mengarah pada keterangan yang dimaksud.
Adpun sisi  positif dari emansipasi wanita novel Pada Sebuah Kapal ini, terlihat pada sosok Sri (tokoh utama) yang mencerminkan keinginan seorang perempuan untuk bisa menjadi dirinya sendiri dan hidup mandiri. Keinginan untuk mandiri tentu saja harus didukung dengan pengetahuan, begitulah yang dilakukan oleh tokoh Sri.
  – Inilah yang terutama mendorongku buat tekun mempelajari segala sesuatu yang   sealiran dengan zaman untuk tetap menjadi pemegang utama ruangan-ruangan yang bersifat kewanitaan.
Kedua, Tokoh Sri yang berwatak lembut namun dalam hal-hal tertentu terlihat keras merupakan perpaduan dua sifat yang sangat menakjubkan. Bagaimana kelembutan seorang wanita yang digambarkan dengan kegemaran dan kebiasaannya menari ternyata bisa melakukan pemberontakan kecil yang hasilnya maha dasyat.
- Tetapi ia tak perlu memberitahuku segala sesuatu sampai kepada hal-hal kecil, yang paling remeh seolah-olah aku ini orang bodoh yang tidak tahu sama sekali cara-cara hidup moderen.
- “…karena kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk mengucapkan pikiranku sendiri!” jawabku dengan cepat. “Dan setelah kau lihat pekerjaanku, tidak perlu kau bertanya apakah ada orang lain yang membantuku.”
Hal positif  lainnya dalam novel PSK adalah gambaran kemampuan seorang wanita berbuat/memutuskan jalan hidupnya sendiri dengan kebulatan tekad.
- Setiap orang mempunyai watak sendiri-sendiri untuk menanggapi suasana  sekitarnya.
-  Aku banyak memikirkan kehidupan yang telah kupilih.
            Sisi negatif dari emansipasi wanita tidak dapat dihindari dan NH. Dini secara halus melukiskannya dalam novel Pada Sebuah Kapal. Adapun sisi negatif ini terlihat dengan adanya keinginan untuk memperoleh kebebasan yang sama dengan seorang pria sampai pada cara pemenuhan kebutuhan biologis menurut caranya sendiri. Kalau selama ini sex bebas yang dilakukan pria baik yang tertutup maupun yang terang-terangan mendapat pertentangan dari berbagai pihak, apalagi dengan wanita yang selama ini dikenal memiliki perasaan malu yang cukup besar.
Walaupun ada usaha pembenaran NH.Dini atas penyimpangan yang dilakukan tokoh karena mungkin ia sendiri adalah seorang wanita dan ingin membela apa yang diperbuat kaumnya. Namun pembelaan itu sendiri sebenarnya merupakan cerminan dari rasa malu mengakui bahwa perbuatan sang tokoh memang tidak benar, di sinilah letak keunikan NH. Dini atas sisi negatif dari emansipasi wanita.
- Aku mencintainya. Biar dia tidur dengan wanita manapun.
            – Tapi aku tak bisa menipu diriku lagi. Dada yang penuh dan birahi terpendam merangsangku untuk bekata yang sebenarnya. Dalam kamarnya yang temaram aku menerimanya menyelinap dalam kehangatan tubuhku.
            Hal lain yang menunjukkan sisi negatif dari novel Pada Sebuah Kapal adalah adanya kenyataan yang memang sulit dipungkiri, kadang-kadang wanita (sebenarnya tidak hanya wanita), yang ingin mengembangkan diri terlihat terlalu mementingkan materi dan dunianya sendiri. Sehingga untuk tingkatan yang lebih serius ia terkesan egois dan mementingkan dirinya sendiri, tragisnya lagi sosok seperti ini bisa menghilangkan sisi keibuan dari wanita yang lembut sekalipun.
- Sehari-hari aku hanya berpikir bagaimana caranya bisa mendapat uang yang lebih dari gaji yang kuterima tiap bulan.
            - ”Kau hanya memikirkan hasil keduniaannya saja,” kata Yus kemudian.
            - ”Aku tidak peduli apakah kau percaya atau tidak. Bagiku anakku akan menjadi penghambat yang besar kalau aku harus bekerja mencari nafkah di Eropah. … kau selu berkata bahwa aku tidak akan bisa mengerjakan sesuatu apapun di negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan membuktikan bahwa aku juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana orang-oarang sana.”
Selain kalimat-kalimat yang secara jelas menunjukkan sisi positif dan sisi negatif emansipasi wanita dalam novel Pada Sebuah Kapal, ada juga kalimat-kalimat yang bias diantara keduanya. Misalnya dalam hal yang berkaitan dengan keberanian seorang wanita mengemukakan pendapat.
-          ”Aku juga tidak peduli apakah itu menarik hatimu atau tidak.”…
-          Aku mengangkat muka dan menatapnya. Sejenak hendak kukeluarkan semua isi hatiku, segala kemualan perasaanku terhadapnya.
-          ”Aku akan mengatakan apa sebabnya akau berteriak sedemikian rupa di depan orang-orang lain. Ialah karena aku sudah bosan. …”
            Dari sisi positif cuplikan di atas mampu menunjukkan keberanian sekaligus kebebasan wanita mengungkapkan pendapat/isi hatinya. Dengan cara seperti ini kebanyakan orang percaya bahwa wanita bisa lebih maju. Namun, di sisi negatif cuplikan di atas menunjukkan ketidaksopanan bahkan mungkin bisa dikatakan pembangkangan seorang istri kepada suaminya. Tokoh Sri yang digambarkan sebagai sosok yang lembut ternyata demi kebebasannya mampu berkata keras dan kasar, bahkan sambil menatap suaminya.







 PUSTAKA RUJUKAN
Dini, NH., Pada Sebuah Kapal, Jakarta: Depdiknas, 2004.
Effendi, S., Sastra Dan Apresiasi Sastra, Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2001.
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka    Widyatama, 2003.
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta,: Pustaka Pelajar, 2004.
Wellek, Rene, Teori Kesusastraan. Gramedia. Jakarta, 1989 (judul asli Theory of




Tidak ada komentar:

Posting Komentar