PADA SEBUAH KAPAL
(Emansipasi Wanita)
Karya sastra secara umum sebenarnya
merupakan gambaran kehidupan nyata. Hal ini karena terciptanya
suatu karya tidak lain adalah hasil dari penghayatan penulis terhadap suatu
kehidupan. Untuk itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sastra terutama
dalam hal ini novel merupakan kehidupan yang dikisahkan lewat media tulis.
Salah satu pengamat sastra yang bernama Dr. Effendi yang
juga dosen di Pascasarjana UNJ mengatakan bahwa sebuah karya sasra diciptakan
melalui proses kreatif yaitu imajinasi dan kontemplasi sastrawan terhadap
pengalaman yang didapatnya dari kehidupan (alam). Dan segala yang didapat oleh
sastrawan melalui proses kreatif itu dituangkan ke dalam bahasa. Hal ini sesuai
dengan pendapat yang mengatakan “Dalam peristiwa sastra, pengalaman itu
diungkapkan dengan bahasa”(Sumardono dan Saini, 1994). Tidak salah juga
apabila Faruk dalam bukunya “Sosiologi Sastra” (1994) mengambil pendapat
Goldmann yang melibatkan fakta kemanusiaan dalam proses terciptanya karya
sastra.
Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra (seni),
sastrawan/seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap
kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap
kehidupan itu sebelum menuangkan dalam karya sastra (seni)-nya. Dengan demikian
karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap
situasi di sekelilingnya.
Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya
sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud karena adanya
peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau
kehidupan manusia.
Berbicara
mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra itu, pada dasarnya tidak
dilepaskan dari pemikiran Plato. Dalam hubungan ini, Plato, dalam dialognya
dengan Socrates, mengemukakan bahwa semua karya seni (termasuk karya sastra)
merupakan tiruan (imitation). ‘Tiruan’ merupakan istilah relasional,
yang menyaran adanya dua hal, yakni: yang dapat ditiru (the imitable)
dan tiruannya (the imitation) dan sejumlah hubungan antara keduanya.
Hubungan dua hal tadi terlihat dalam tiga kategori: (a) adanya ide-ide abadi
dan ide-ide yang tidak bisa berubah (the eternal and unchanging Ideas),
(b) adanya refleksi dari ide abadi dalam wujud dunia rekaan baik natural maupun
artifisial, dan (c) adanya refleksi dari kategori kedua sebagaimana terlihat
adanya suatu bayangan dalam air dan cermin dan karya-karya seni ( Abrams, l971
: 8).
Sedangkan menurut Aristoteles salah seorang seorang pelopor
penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang
pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni
hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru
menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984:
221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian
terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran
dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan
mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif
untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk
baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul
Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan
copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia”
(konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang
seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali
menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang
membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh
lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979:
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979:
Jika kita mrujuk pada pendapat di
atas bahwa karya sastra itu tidak lepas dari kehidupan itu sendiri, demikian
juga dengan NH. Dini dalam novelnya Pada sebuah Kapal. Banyak persamaan antara
apa yang terdapat dalam novel dengan kisah hidup pribadi pengarang, misalnya
saja dalam penggunaan latar belakang yaitu menggunakan latar belakang Semarang yang
merupakan tempat kelahiran penulis, Kobe dan Perancis yang merupakan tempat
bermukim pengarang setelah menikah dengan Yves Coffin.
Selain itu novel ini juga
menceritakan seorang tokoh yang ingin menjadi pramugari namun tidak kesampaian,
dan dalam kehidupan nyata NH. Dini setamatnya dari SMA bagian Sastra
(1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956). Ada satu hal lagi
yang memiliki persamaan yaitu kisah perkawinan tokoh dengan orang berkebangsaan
asing dan kehidupan rumah tangganya kurang bahagia, demikian juga dengan NH.
Dini dalam kehidupan nyata, menikah dengan seorang berkebangsaan asing dan
berakhir dengan perceraian.
Melihat dari perjalanan novelis
perempuan ini, sama halnya seperti perjalanan kehidupan seorang wanita yang ia
cantumkan dalam sebuah karya novelnya yang berjudul Pada Sebuah Kapal. Sri adalah salah satu tokoh utama yang difokus
dalam novel ini. Dimana kisah tersebut di awali ketika usia Sri baru mennginjak
tiga belas tehun, ayahnya meninggal dunia. Ia sangat mengagumi ayahnya sehingga
ia merasa sangat kehilangan. Sejak kematian ayahnya, ia membantu ibunya untuk
berjualan kue dan membatik.
Setamat SMA, Sri yang mempunyai hobi
dan bakat menari ini bekerja di RRI Semarang, kota kelahirannya. Selama bekerja
disana, kegiatan menarinya menjadi berkurang. Hanya tiga tahun ia bekerja di
RRI Semarang. Kemudian ia melamar sebagai pramugari. Setelah lulus dari tes-tes
yang diadakan di Semarang ia dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti tes
selanjutnya. Namun, ia tidka lulus karena paru-parunya dinyatakan tidak sehat.
Ia merasa kecewa.
Beberapa bulan kemudian, Sri
mendapat panggilan dari temannya yang pernah mengurus tesnya. Ia ditawarkan
untuk menjadi wartawan majalah di temannya tersebut, namun tawaran itu
ditolaknya karena ia lebih tertarik bekerja di RRI Jakarta. Sambil bekerja, ia
juga menyempatkan diri untuk menari. Ia sering menerima tawaran menari dalam
pesta perkawinan. Bahkan, ia juga pernah diundang ke Istana Negara untuk menari
di hadapan tamu Negara. Tujuh bulan setelah ia berada di Jakarta, ibunya
meninggal dunia di Semarang. Ia pun pergi ke Semarang untuk mengurus pemakaman
ibunya. Setelah selesai, ia kembali ke Jakarta.
Karena supel dan cantik, Sri banyak
dikagumi oleh pemuda-pemuda Jakarta. Namun, di antara sekian banyak pemuda yang
menyatakan cintanya, ia hanya menerima Saputro, seorang penerbang. Hubungan
keduanya telah melangkah lebih jauh, tidak bedanya seperti suami istri sehingga
keduanya sepakat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Namun rencana mereka
tidak dapat menjadi kenyataan, karena Saputro mengalami kecelakaan pesawat
terbang.
Untuk menghilangkan kesedihannya,
Sri pergi ke Yogyakarta. Di kota itu ia berkenalan dengan beberapa orang pemuda
yang kemudian menaruh hati kepadanya. Di antara mereka adalah Yus seorang
pelukisdan, dan Carl seorang warga Negara asing yang bertugas membantu
mahasiswa-mahasiswa yang berada di Negara berkembang. Namun keduanya ditolak
oleh Sri secara halus.
Pemuda berikutnya yang berhasil
menggaet hati Sri adalah Charles Vincent, seorang diplomat kebangsaan Perancis.
Sri tertarik kepadanya karena menurutnya Charles memiliki kepribadian yang baik
dan ia pun sangat lembut. Walaupun tidak disetujui oleh keluarganya, Sri
memutuskan untuk menikah dengan lelaki itu. Setelah menikah Sri baru mengetahui
bahwa Charles adalah lelaki yang egois, keras kepala, kasar, dan tidak mau
kalah dengan ketenarannya sebgai penari. Pernikahan mereka sangat tidak
bahagia, karena keduanya sering bertengkar. Bahkan pertengkaran itu terus
berlangsung hingga kelahiran anak pertama mereka. Semula Sri beranggapan bahwa
dengan kelahiran anak pertama, kehidupan rumah tangganya akan bahagia. Namun
harapannya ternyata sia-sia. Kehidupan rumah tangga mereka tetap diselimuti
oleh pertengkaran.
Perseteruan antara suami istri itu
semakin terlihat ketika keduanya ke Perancis. Pada saat itu Charles mendapatkan
cuti. Lelaki itu menggunakan pesawat terbang, sedangkan Sri menggunakan kapal
laut. Di sinilah terjadinya penyelewengan Sri terhadap suaminya.
Di dalam kapal laut Sri manjalin
hubungan dengan seorang pelaut bernama Michel Dubanton, seorang lelaki
berkebangsaan Perancis. Hubungan keduanya terjadi ketika mereka menceritakan
ketidakbahagiaan kehidupan perkawinan mereka. Sri menceritakan bahwa ia merasa
terkekang selama menikah dengan Charles. Suaminya itu sangat kasar dan egois.
Demikian pula halnya dengan Michel. Ia menceritakan bahwa istrinya Nicole
sangat pencemburu sehingga ia tidak boleh bergaul dengan wanita manapun. Ia
juga menceritakan bahwa sebelum menjadi pelaut, ia adalah seorang tentara, yang
pernah membela negaranya melawan agresi Jerman.
Karena seringnya bertemu, bertukar
cerita dan pembawaan Michel yang lembut dan romantic, Sri jatuh hati kepadanya,
Demikian pula sebaliknya. Itulah sebabnya selama di kapal, hubungan keduanya
semakin akrab, bahkan keduanya sering melakukan perbuatan terlarang tanpa
dihantui oleh perasaan berdosa sedikitpun. Keduanya tidak pernah merasa berdosa
pada Tuhan. Mereka tidak peduli dengan masalah dosa, yang penting mereka merasa
bahagia.
Sesampainya di Perancis Sri mulai
membanding-bandingkan perilaku suaminya dengan Michel. Ia mulai menemukan
perbedaan yang mencolok antara keduanya. Michel adalah lelaki yang penuh
pengertian, gagah dan baik hati. Sedangkan Charles adalah lelaki yang sangat
kasar dan egois. Ia semakin menyadari keburukan tabiat Charles ketika adiknya
Charles juga menceritakan tentang kekasaran dan keegoisan lelaki itu.
Akibatnya, Sri semakin mencintai Michel dan ia tetap menjalani hubungan
dengannya.
Setelah masa cuti Charles berakhir,
Sri dan suaminya berangkat ke Jepang karena Charles ditugaskan ke Negara
tersebut. Selama di Jepang kehidupan rumah tangga mereka tetap diselimuti
pertengkaran dan ketegangan. Itulah sebabnya Sri mangajukan cerai kepada
suaminya, namun permintaan itu tidak ditanggapi oleh Charles. Hal itu semikin
menyiksa Sri. Untung saja Michel tetap hadir dalam kehidupannya sekalipun
wanita itu berada di Jepang, sehingga ia merasa sedikit terhibur. Setelah
selesai menjalankan tugasnya di Jepang, Charles berangkat lagi ke Perancis.
Kepindahan Sri ke Perancis diketahui
oleh Michel melalui seorang temannya. Michel yang ketika itu memutuskan untuk
bekerja di Yokohama kemudian membatalkan niatnya. Dia mengajukan kepada
pimpinannya agar ia tetap bekerja sebagai pelaut dan ia minta ditempatkan di
daerah pelayaran di Perancis. Hal itu ia lakukan karena ia tidak ingin jauh
dari Sri, wanita yang sangat dicintainya.
Cinta menjadi tema pokok novel ini.
Tepatnya, perjalanan cinta seorang wanita Jawa bernama Sri yang cukup
berliku-liku. Lika-likunya inilah yang menarik, sebab di dalamnya terkandung
unsur-unsur budaya, feminisme, dan pandangan-pandangan Dini terhadap keduanya.
Melalui Sri yang lembut sekaligus pemberontak, Dini menggugat ihwal peran istri
dan perempuan pada saat itu. Ia juga telah dengan jujur dan berani
mengungkapkan fakta tentang seks sebelum menikah, perselingkuhan, dan
perceraian dari perspektif perempuan. Sri yang dididik orang tuanya selaku
perempuan Jawa yang harus serbahalus dalam berkata dan bersikap, ternyata
memiliki pandangan sendiri dalam urusan cinta. Baginya, hubungan seks antara
dua orang yang saling mencintai boleh-boleh saja dilakukan, walaupun pasangan
tersebut bukan suami istri. Maka, Sri pun berselingkuh, atas nama cinta.
Singkatnya, Sri adalah seorang wanita yang tahu apa yang dia inginkan.
Selain itu, Dini juga tidak canggung
menampilkan adegan-adegan seks dalam karyanya ini. Ya, lagi pula mengapa harus
sungkan jika itu memang terjadi secara natural–mengalir–dan bukan sekadar
tempelan yang dipaksakan hadir. Bagian tersebut merupakan sesuatu yang menyatu
dengan ceritanya. Dan Dini berhasil menghadirkannya dengan luwes tanpa terkesan
vulgar. Tampaknya ia hendak menyampaikan, bahwa perempuan juga berhak menikmati
seks yang indah dan menyenangkan (bersama lelaki yang dicintainya).
Menariknya lagi, Pada Sebuah Kapal
ini dikisahkan dalam dua bagian. Pertama, dituturkan oleh Sri dari sudut
pandang perempuan, dan bagian kedua ditulis dari perspektif Michel, kekasih
gelap Sri.
Apa yang menjadi uraian diatas lebih
menitikberatkan pada tokoh Sri sebagai pelaku utama. Hal ini dikarenakan
bahasan yang diambil menyangkut masalah yang berkaitan dengan feminisme dan
emansipasi seorang wanita.
Mengenai emansipasi wanita, di
Indonesia sudah bergema yang dimulai dengan adanya pejuang wanita misalnya
Martha Christina Tiahahu, Raden Ayu Ageng Serang, dan yang sangat terkenal
dengan kegigihannya dalam merperluas pendidikan bagi kaum perempuan yaitu
RA. Kartini, serta masih banyak yang lainnya. Dalam dunia sastra NH.Dini
merupakan sosok pelopor yang memunculkan idealisme keperempuanan. Berbeda
dengan pengarang wanita masa kini seperti Ayu Utami ataupun Djenar Maesa Ayu
yang lebih terbuka bahkan kadang terkesan vulgar, goresan tinta NH.Dini masih
terlihat malu-malu dalam menyajikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh kaum
perempuan. Namun, dengan sifat yang malu-malu inilah makin terlihat feminisnya.
Dengan gaya ketenangan seorang wanita,
NH.Dini mampu menghadirkan perjuangan, pergulatan, dan pemberontakan wanita
dalam mencari jati diri dan kebebasan. Walau sekecil apapun kebebasan yang
didapat, tokoh Sri dalam novel Pada Sebuah Kapal tampak dengan gigih
memperjuangkannya.
Apabila kita melihat ke dalam
tampaknya novel Pada Sebuah Kapal menghadirkan dua sisi dari emansipasi wanita,
yaitu sisi positif maupun sisi negatif. Kedua sisi ini dikemas apik dan
menarik oleh kepiawaian NH.Dini merangkai jalinan cerita. Berikut disajikan
kedua sisi emansipasi tersebut dengan dilengkapi cuplikan dari novel Pada Sebuah
Kapal yang mengarah pada keterangan yang dimaksud.
Adpun
sisi positif dari emansipasi wanita
novel Pada Sebuah Kapal ini, terlihat pada sosok Sri (tokoh utama) yang
mencerminkan keinginan seorang perempuan untuk bisa menjadi dirinya sendiri dan
hidup mandiri. Keinginan untuk mandiri tentu saja harus didukung dengan
pengetahuan, begitulah yang dilakukan oleh tokoh Sri.
– Inilah yang terutama
mendorongku buat tekun mempelajari segala sesuatu yang sealiran
dengan zaman untuk tetap menjadi pemegang utama ruangan-ruangan yang bersifat
kewanitaan.
Kedua, Tokoh Sri yang berwatak
lembut namun dalam hal-hal tertentu terlihat keras merupakan perpaduan dua
sifat yang sangat menakjubkan. Bagaimana kelembutan seorang wanita yang
digambarkan dengan kegemaran dan kebiasaannya menari ternyata bisa melakukan
pemberontakan kecil yang hasilnya maha dasyat.
- Tetapi ia tak perlu memberitahuku
segala sesuatu sampai kepada hal-hal kecil, yang paling remeh seolah-olah aku
ini orang bodoh yang tidak tahu sama sekali cara-cara hidup moderen.
- “…karena kau tidak pernah
memberiku kesempatan untuk mengucapkan pikiranku sendiri!” jawabku dengan
cepat. “Dan setelah kau lihat pekerjaanku, tidak perlu kau bertanya apakah ada
orang lain yang membantuku.”
Hal positif lainnya dalam
novel PSK adalah gambaran kemampuan seorang wanita berbuat/memutuskan jalan
hidupnya sendiri dengan kebulatan tekad.
- Setiap orang mempunyai watak sendiri-sendiri
untuk menanggapi suasana sekitarnya.
- Aku banyak memikirkan
kehidupan yang telah kupilih.
Sisi negatif dari emansipasi wanita
tidak dapat dihindari dan NH. Dini secara halus melukiskannya dalam novel Pada Sebuah
Kapal. Adapun sisi negatif ini terlihat dengan adanya keinginan untuk
memperoleh kebebasan yang sama dengan seorang pria sampai pada cara pemenuhan
kebutuhan biologis menurut caranya sendiri. Kalau selama ini sex bebas yang
dilakukan pria baik yang tertutup maupun yang terang-terangan mendapat
pertentangan dari berbagai pihak, apalagi dengan wanita yang selama ini dikenal
memiliki perasaan malu yang cukup besar.
Walaupun ada usaha pembenaran
NH.Dini atas penyimpangan yang dilakukan tokoh karena mungkin ia sendiri adalah
seorang wanita dan ingin membela apa yang diperbuat kaumnya. Namun pembelaan
itu sendiri sebenarnya merupakan cerminan dari rasa malu mengakui bahwa
perbuatan sang tokoh memang tidak benar, di sinilah letak keunikan NH. Dini
atas sisi negatif dari emansipasi wanita.
- Aku mencintainya. Biar dia tidur dengan wanita
manapun.
– Tapi aku tak bisa menipu diriku lagi. Dada yang penuh dan birahi terpendam
merangsangku untuk bekata yang sebenarnya. Dalam kamarnya yang temaram aku
menerimanya menyelinap dalam kehangatan tubuhku.
Hal lain yang menunjukkan sisi
negatif dari novel Pada Sebuah Kapal adalah adanya kenyataan yang memang sulit
dipungkiri, kadang-kadang wanita (sebenarnya tidak hanya wanita), yang ingin
mengembangkan diri terlihat terlalu mementingkan materi dan dunianya sendiri.
Sehingga untuk tingkatan yang lebih serius ia terkesan egois dan mementingkan
dirinya sendiri, tragisnya lagi sosok seperti ini bisa menghilangkan sisi
keibuan dari wanita yang lembut sekalipun.
- Sehari-hari aku hanya berpikir bagaimana caranya
bisa mendapat uang yang lebih dari gaji yang kuterima tiap bulan.
- ”Kau hanya memikirkan hasil keduniaannya saja,” kata Yus
kemudian.
- ”Aku tidak peduli apakah kau percaya atau tidak.
Bagiku anakku akan menjadi penghambat yang besar kalau aku harus bekerja
mencari nafkah di Eropah. … kau selu berkata bahwa aku tidak akan bisa
mengerjakan sesuatu apapun di negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan
membuktikan bahwa aku juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana
orang-oarang sana.”
Selain kalimat-kalimat yang secara
jelas menunjukkan sisi positif dan sisi negatif emansipasi wanita dalam novel Pada
Sebuah Kapal, ada juga kalimat-kalimat yang bias diantara keduanya. Misalnya
dalam hal yang berkaitan dengan keberanian seorang wanita mengemukakan
pendapat.
-
”Aku juga tidak peduli apakah itu menarik hatimu atau tidak.”…
-
Aku mengangkat muka dan menatapnya. Sejenak hendak kukeluarkan semua isi
hatiku, segala kemualan perasaanku terhadapnya.
-
”Aku akan mengatakan apa sebabnya akau berteriak sedemikian rupa di depan
orang-orang lain. Ialah karena aku sudah bosan. …”
Dari sisi positif cuplikan di atas
mampu menunjukkan keberanian sekaligus kebebasan wanita mengungkapkan
pendapat/isi hatinya. Dengan cara seperti ini kebanyakan orang percaya bahwa
wanita bisa lebih maju. Namun, di sisi negatif cuplikan di atas menunjukkan
ketidaksopanan bahkan mungkin bisa dikatakan pembangkangan seorang istri kepada
suaminya. Tokoh Sri yang digambarkan sebagai sosok yang lembut ternyata demi
kebebasannya mampu berkata keras dan kasar, bahkan sambil menatap suaminya.
PUSTAKA RUJUKAN
Dini, NH., Pada Sebuah Kapal, Jakarta:
Depdiknas, 2004.
Effendi, S., Sastra Dan Apresiasi Sastra,
Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2001.
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra,
Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994.
Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra, Yogyakarta,: Pustaka Pelajar, 2004.
Wellek, Rene, Teori Kesusastraan. Gramedia. Jakarta, 1989 (judul asli Theory of
Tidak ada komentar:
Posting Komentar