Bagaimana
Membaca NU?
Oleh:
Abdurrahman Wahid
SEJAK
kemerdekaan, perdebatan masalah kemasyarakatan senantiasa didominasi pertukaran
pikiran antara kaum elitis dan kaum populis. Memang ada suara- suara tentang
Islam, seperti dikembangkan Bung Karno, tetapi itu semua hanya meramaikan
situasi yang tidak menjadi isu utama. Masalah pokok yang dihadapi adalah
bagaimana selanjutnya Indonesia
harus dibangun, yang dalam "bahasa agung" disebut "mengisi
kemerdekaan".
KALANGAN
elitis selalu menggunakan rasio/akal dan argumentasinya senantiasa bernada
monopoli kebenaran. Mereka merasa sebagai yang paling tahu, rakyat hanya orang
kebanyakan yang tidak mengerti persoalan sebenarnya. Apabila rakyat mengikuti
pendapat kaum elitis ini, tentu mereka akan pandai pada "waktunya kelak".
Sebaliknya, kaum populis senantiasa mengulangi semangat kebangsaan yang
dibawakan para pemimpin, seperti Bung Karno, selalu mempertentangkan pendekatan
empiris dengan "perjuangan ideologis".
Tentu
saja cara berdialog semacam ini tidak memperhitungkan bagaimana kaum Muslimin
tradisional-seperti warga Nahdlatul Ulama (NU)-menyusun pendapat, pandangan,
dan mendasarkan hal itu pada asumsi yang tidak dimengerti, baik oleh golongan
elitis maupun golongan populis. Demikianlah, dengan alasan keagamaan yang mereka
susun sendiri, kaum Muslimin yang hadir dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun
1935 memutuskan kawasan ini tidak memerlukan negara Islam. Keputusan Muktamar
NU ini menjadi dasar, mengapa kemudian para pemimpin berbagai gerakan di negeri
ini mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Jadilah
negeri kita sebuah Negara Pancasila dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini, dan kelihatannya tidak akan berubah
seterusnya.
Tanggal
22 Oktober 1945, Pengurus Besar NU (hoofdbestrur NU), yang saat itu
berkedudukan di Surabaya, mengeluarkan Resolusi Jihad, untuk mempertahankan dan
memperjuangkan Republik Indonesia adalah kewajiban agama atau disebut jihad,
meski NKRI bukan sebuah negara Islam atau lebih tepatnya sebuah negara agama.
Di sini tampak kaum Muslimin tradisional dalam dua hal ini mengembangkan jalan
pikiran sendiri, yang tidak turut serta dalam perdebatan antara kaum elitis dan
populis. Namun, mereka tidak menguasai media khalayak (massa) dalam perdebatan di kalangan ilmuwan.
Karena itu, mereka dianggap tidak menyumbangkan sesuatu kepada debat publik
tentang dasar-dasar negara kita.
DALAM
harian Kompas (8/9/2003), seorang sejarawan membantah tulisan penulis yang
mengatakan Sekarmadji M Kartosoewirjo adalah asisten/staf ahli Jenderal Besar
Soedirman di bidang militer. Dengan keahliannya sebagai politisi, bukankah
lebih tepat apabila ia menjadi staf ahli beliau di bidang sosial-politik?
Pengamat itu lupa, asisten/staf ahli beliau saat itu dijabat ayahanda penulis
sendiri, KH A Wahid Hasjim, dan Kartosoewirjo sendiri berpangkat
tentara/militer sebagai akibat dari integrasi Hizbullah ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia (APRI).
Jenderal
Besar Soedirman sendiri juga tidak pernah menjabat pangkat militer apa pun
sebelum bala tentara Jepang datang dan menduduki kawasan yang kemudian disebut
NKRI. Dari penjelasan itu menjadi nyata bagi kita bahwa layak-layak saja SM
Kartosoewirjo menjadi asisten/staf ahli Panglima APRI di bidang militer. Bila
ia lalu menggunakan DI/TII sebagai alat pemberontakan adalah sesuatu yang lain
sama sekali. Sang sejarawan lupa, penelusuran sejarah tidak hanya harus didapat
dalam sumber-sumber tertulis, tetapi juga sumber-sumber lisan.
Dari
kasus Negara Islam Indonesia (NII) dapat dilihat, di masa
lampau-pejabat-pejabat negara-juga ada yang membaca secara salah hal-hal yang
ada di luar diri mereka dengan cara berpikir yang lain dari ketentuan dan
kesepakatan berdirinya negara kita. Ini disebabkan adanya perbedaan cara
memandang persoalan, apalagi yang berkenaan dengan ambisi politik pribadi atau
karena pertimbangan-pertimbangan lain. Dalam hal ini, yang paling mencolok
adalah jalan pikiran NU yang tidak memandang perlu adanya negara Islam. Bila
ditinjau dari adanya peristiwa itu sendiri, jelas perbedaan pemahaman itu
timbul dari cara berpikir keagamaan yang kita lakukan. Bagi NU, hukum agama
timbul dari sumber-sumber tertulis otentik (adillah naqliyyah) yang
diproyeksikan terhadap kebutuhan aktual masyarakat. Adapun gerakan-gerakan
Islam lainnya langsung mengambil hukum tertulis dalam bentuk awal, yaitu
berpegang secara letterlijk (harfiah) dan tentu saja tidak akan sama hasilnya.
Bahkan,
di antara para ulama NU sendiri sering terjadi perbedaan paham karena anutan
dalil masing-masing saling berbeda. Sebagai contoh dapat digambarkan, hampir
seluruh ulama NU menggunakan rukyat (penglihatan bulan) untuk menetapkan
permulaan Idul Fitri. Akan tetapi, almarhum KH Thuraikhan dari Kudus justru
menggunakan hisab (perhitungan sesuai almanak) untuk hal yang sama.
Adapun
di antara para ahli rukyat sendiri, ada perbedaan paham. Seperti antara
almarhum KH M Hasjim Asj’ari, Rais Akbar NU, dan KH M Bisri Sjansuri, Wakil
Khatib Aam/Wakil Sekretaris Syuriyah PBNU, yang bersama-sama melakukan rukyat
di Bukit Tunggorono, Jombang, namun ternyata yang satu melihat dan yang lain
tidak. Hasilnya, yang seorang menyatakan hari raya Idul Fitri keesokan harinya,
sedangkan yang lain menyatakan hari berikutnya. Jadi, meski sama-sama mengikuti
jalan pikiran ushul-fiqh (teori hukum Islam), dapat mencapai hasil yang saling
berbeda. Karena perbedaan pendapat diperkenankan dalam pandangan fikih, yang
tidak diperkenankan adalah terpecah belah. Ayat Al Quran jelas dalam hal ini:
"Berpeganglah kalian pada tali Allah secara keseluruhan dan jangan
terpecah belah" (Wa’tashimu bi Habli Allahi Jami’an wa la Tafarraqu).
NAH,
dalam hal-hal bertaraf kebangsaan dan kenegaraan -seperti penetapan orientasi
bangsa-jelas kita harus menerima perbedaan pandangan karena semuanya didasarkan
argumentasi masing-masing. Karena itu, ketika ada pendirian berbeda antara
pihak seperti NU dan kaum Muslimin lainnya, maka kata akhirnya bukan dari pihak
yang mengemudikan negara (pemerintah), tetapi hasil pemilihan umum yang menjadi
acuan. Kalau ini tidak dipahami dengan baik, tentu akan ada usulan-usulan yang
ditolak atau ditunda oleh partai-partai, para aktivis, para wakil organisasi
Islam di satu pihak dengan elemen bangsa lain yang tidak secara resmi mendukung
atau menolak gagasan kenegaraan yang diajukan. Inilah yang senantiasa harus
kita ingat setiap kali membahas "kesempitan pandangan" dari beberapa
agama besar, seperti serunya perbedaan antara pihak yang mengharuskan dan pihak
yang tidak pernah melihat pentingnya "keterwakilan rakyat".
Karena
Partai Kebangkitan Bangsa-yang memiliki ikatan historis dengan NU-bukanlah
sebuah partai Islam, maka tidak perlu terlalu mementingkan ajaran formal Islam
dalam setiap pengambilan keputusan. Cukup bila lembaga yang menetapkan
undang-undang (UU) itu bergerak mengikuti prosedur kelembagaan yang ditopang
UU, pakar hukum agama dan segenap pemikiran masyarakat. Pendapat para pakar
hukum agama ini menjadi pertimbangan pembuatan hukum bukan pelaksanaannya. Di
sinilah diperlukan kearifan dunia hukum nasional, untuk memperhitungkan
pendapat yang dilontarkan masyarakat dan berasal dari para pakar hukum agama.
Dengan
demikian, kita sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan pandangan kaum
Muslimin Suni tradisional dalam kehidupan bangsa kita. Dalam hal-hal yang sifatnya
fundamental bagi kehidupan agama di negeri kita, jelas hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran agama tidak dapat ditolerir, umpamanya, mengenai
keyakinan akan keesaan Tuhan (tauhid).
Hal-hal
semacam ini tidak dapat dibiarkan dan harus diperjuangkan sehabis daya oleh
kaum Muslimin sendiri. Sebaliknya, hal-hal yang tidak bersifat fundamental bagi
keyakinan agama seseorang tentu masih diperlukan telaah lebih jauh dan dapat
ditolerir perubahan- perubahannya. Bukankah Al Quran sendiri yang justru menyatakan
"dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling
mengenal".
Dari
hal ini dapat diharapkan, di masa depan produk-produk hukum kita akan
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pengetahuan kita.
Abdurrahman Wahid Ketua
Dewan Syura DPP PKB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar