Di tengah hamparan samudra yang seolah tanpa batas, Sunan Kalijaga berenang melawan gelombang, meninggalkan daratan yang telah lama dikenalnya. Ia menuju cakrawala yang dijanjikan, tempat yang diyakini menyimpan rahasia ketuhanan. Namun, di antara langit dan laut yang seakan menyatu, sebuah suara menembus kesadarannya.
"Berhenti!"
Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan sorot mata tajam, seakan mampu menembus pikiran dan rahasia terdalam jiwa.
"Apa yang kau cari?"
Sunan Kalijaga menatapnya dalam diam, mencoba memahami sosok yang muncul di tengah samudra luas itu.
"Aku mencari kesejatian Allah," jawabnya tegas.
Pria itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Nabi Khidir, tersenyum tipis—sebuah senyum yang mengandung ribuan makna yang sulit dijelaskan.
"Lalu, mengapa kau meninggalkan tanahmu sendiri?"
Sunan Kalijaga terdiam. Pertanyaan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan kunci yang membuka tabir kesadarannya.
"Apakah kau mengira kebenaran hanya ada di negeri yang jauh? Bahwa yang suci selalu berasal dari luar? Bahwa tanah yang kau tinggalkan tidak menyimpan rahasia ketuhanan?"
Langit seolah ikut diam, menunggu jawaban.
"Ketahuilah," lanjut Nabi Khidir, "kesejatian tidak terletak pada tempat, tidak pula pada ajaran yang datang dari negeri asing. Kesejatian adalah kesadaran, dan tanah yang kau pijak sejak lahir telah lama menyimpannya. Kau telah buta pada kebunmu sendiri, sementara kau mencari bunga di tanah orang lain."
Ia menunjuk ke arah tanah Jawa yang mulai menghilang di kejauhan.
"Tanah itu adalah sorgawi sejati. Bukan sorga yang dijanjikan di akhirat, tetapi sorga yang tersembunyi dalam pemahaman. Leluhurmu telah lama memahami bahwa Tuhan bukan untuk dicari di tempat-tempat jauh, melainkan untuk ditemukan dalam penyatuan dengan diri sendiri. Itu adalah 'Manunggaling Kawula Gusti'—bukan konsep kosong, bukan sekadar doktrin, tetapi kesadaran tertinggi tentang keberadaan."
Sunan Kalijaga merasakan getaran dalam dirinya. Sebuah kesadaran mulai lahir, menggantikan pandangan lama yang runtuh seperti kabut yang tersingkap oleh cahaya fajar.
"Maka, pulanglah," kata Nabi Khidir. "Bukan sebagai pencari yang tersesat, tetapi sebagai seseorang yang telah melihat dan menyaksikan."
Di tengah lautan luas itu, Sunan Kalijaga tak lagi sekadar Brandal Lokajaya. Ia tak lagi hanya murid Sunan Bonang. Ia telah berubah. Kesadaran barunya membawanya pada ma'rifat, pemahaman mendalam tentang Tuhan, diri sendiri, dan alam semesta.
Kembali ke Tanah Jawa
Setelah peristiwa itu, Sunan Kalijaga tidak mengenakan jubah putih seperti para wali lainnya. Ia memilih kain hitam khas tradisi Jawa. Itu bukan sekadar gaya, melainkan sebuah sandi bagi mereka yang mampu membaca maknanya.
Hitam adalah warna ketakterlihatan, warna yang menyerap segala cahaya, warna yang menyimpan misteri terdalam. Dengan busana itu, ia menyampaikan pesan: kesejatian tidak perlu dicari di luar diri, sebab telah ada dalam kegelapan yang menutupi. Justru dari kegelapan itulah cahaya sejati bisa ditemukan.
Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa ajaran tauhid bukanlah milik satu bangsa, satu kitab, atau satu peradaban tertentu. Tanah Jawa telah lama memiliki kebijaksanaan spiritualnya sendiri—ajaran yang diwariskan para leluhur tentang "Manunggaling Kawula Gusti", penyatuan antara manusia dan Sang Ada.
Apa yang dibawa Sunan Kalijaga bukanlah perlawanan terhadap ajaran yang datang dari luar, melainkan penyelarasan. Ia memahami bahwa kebenaran bukan sesuatu yang harus dipaksakan, tetapi sesuatu yang harus tumbuh dari dalam.
Maka, ia tidak mendobrak, tidak menghancurkan, tidak melawan. Ia justru berbaur, menyusup dalam budaya, menghembuskan ruh baru dalam wayang, tembang, dan filosofi Jawa yang halus. Dan di sanalah letak keistimewaannya.
Sunan Kalijaga bukan guru yang berbicara dari menara gading, bukan nabi yang membawa wahyu dalam petir dan kilat. Ia adalah bagian dari tanah ini. Suara leluhur yang berbisik melalui angin, melalui alunan gamelan, melalui bayangan di layar wayang.
Ia tidak hanya menjadi seorang wali. Ia menjadi jembatan antara yang lama dan yang baru, antara yang lokal dan yang universal, antara dunia yang tampak dan yang tersembunyi.
Dan mungkin, dalam senyapnya malam, jika kita cukup peka, kita masih bisa mendengar bisikan rahasia dalam hembusan angin, mengingatkan:
"Apa yang kita cari, sejatinya telah ada dalam diri sendiri."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar