4/24/2025

"Antara Bapak Dewek dan Bapak Aing” Sebuah Catatan Kritis dari Kepala Madrasah

Sebagai pendidik sekaligus bagian dari elemen masyarakat yang terus berupaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kebeningan hati, dan keteladanan dalam kepemimpinan, saya merasa perlu memberikan sedikit catatan terhadap tren kemungkinan pencitraan yang sedang berkembang di Kabupaten Sukabumi, khususnya terkait dengan istilah “Bapak Dewek” yang disematkan pada Bupati Sukabumi.

Istilah ini secara sepintas memang terdengar akrab dan merakyat, namun jika ditelisik lebih dalam, ada sesuatu yang mengganjal secara kultural maupun etis. Mengapa? Karena istilah ini terkesan dipaksakan untuk membentuk kedekatan artifisial antara pemimpin dan masyarakat, sesuatu yang pada akhirnya bisa menjadi kontraproduktif, terutama bagi generasi muda khusunya para pelajar yang sedang mencari sosok teladan sejati.

Mari kita bandingkan secara jujur dengan istilah “Bapak Aing” yang melekat pada figur Kang Dedi Mulyadi, sebagai GUbernur di Jawa Barat. Julukan tersebut bukan lahir dari tim branding, bukan pula dari konstruksi politik, tetapi dari ketulusan seorang anak kecil bernama Egi, yang kala itu menyebut Kang Dedi sebagai “Bapak Aing” secara spontan karena kedekatan emosional dan kasih sayang yang ia rasakan. Dari sanalah istilah itu berkembang, menyebar, dan akhirnya diterima oleh masyarakat luas sebagai simbol kepemimpinan yang membumi dan berpihak pada Masyarakat kecil, Masyarakat yang selama ini terasingkan.

Sementara itu, istilah “Bapak Dewek” terasa lahir dari dapur marketing politik, bukan dari ruang hati masyarakat kecil. Ia seakan ingin menggiring persepsi publik bahwa kedekatan bisa dibentuk melalui narasi, bukan melalui aksi nyata yang dirasakan oleh rakyat. Padahal, istilah yang melekat pada seorang pemimpin, terutama di tengah krisis kepercayaan publik, harusnya lahir dari bukti keberpihakan dan kebijakan yang berdampak, bukan sekadar permainan diksi.

Sebagai kepala madrasah, saya sangat menyadari bahwa narasi kepemimpinan memiliki dampak langsung pada pembentukan karakter siswa. Jika narasi itu artifisial dan dibuat-buat, maka ada risiko besar generasi muda akan belajar bahwa pencitraan bisa menggantikan keteladanan. Ini tentu tidak sehat untuk masa depan kepemimpinan kita.

Saya tidak bermaksud merendahkan atau menolak istilah “Bapak Dewek”, namun kita harus jujur bahwa penyematan sebuah gelar informal dari rakyat haruslah tumbuh dari bawah ke atas—dari pengalaman masyarakat, dari hati yang tersentuh oleh kebijakan, dari air mata yang terhapus karena hadirnya solusi nyata dari sang pemimpin.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh pihak, khususnya para pengambil kebijakan di Kabupaten Sukabumi, untuk lebih mengedepankan substansi daripada pencitraan, lebih menanamkan keberpihakan daripada simbolisme, dan lebih mementingkan warisan nilai daripada sekadar warisan nama.

Pemimpin yang besar tidak memerlukan gelar buatan, karena panggilan cinta rakyat akan lahir sendiri dari ketulusan dan keberpihakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar