Refleksi Seorang Kepala Madrasah dari Pinggiran tentang Resahnya Tatanan Sosial dan Harapan perbaikan
Dalam perjalanan kehidupan, saya pernah mengalamai beberpa pengalaman, yakni pernah menempuh pendidikan formal dan nonformal, bersinggungan dengan organisasi besar, bahkan sempat merasakan dinamika dunia politik. meski tidak sehebat temen temen yang lain, manum dari sedikit pengalaman itulah membawa pada ruang kesadaran dimana ada saatnya saya melaju kencang dan sadar kapan harus mengerem.
Perjalanan itu memperkaya pandangan saya, memperluas pemahaman tentang wajah-wajah kehidupan.Namun, seiring waktu, Tuhan menakdirkan saya untuk berpindah jalur — mengabdi di dunia pendidikan, di sebuah sekolah sederhana di pedesaan. Tempat yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, dan kadang luput dari perhatian banyak pihak.
Dari tempat inilah, perlahan-lahan saya melihat realitas masyarakat dengan mata yang lebih jernih. Saya menyaksikan betapa kompleksnya kehidupan sosial kita hari ini: ada dinamika yang membahagiakan, namun ada juga kegelisahan yang tak bisa diabaikan.
Tatanan sosial sering kali terasa rapuh, dan jarak antara harapan dan kenyataan terasa semakin melebar. Dalam merenung, saya teringat pada pesan bijak dari seorang tokoh besar, KH Ahmad Dahlan, yang pernah mengutip Imam Al-Ghazali :
"Rusaknya rakyat berakar dari rusaknya pemimpin, dan rusaknya pemimpin berakar dari rusaknya ulama."
Kalimat itu bukanlah tuduhan, melainkan sebuah undangan untuk bersama-sama bercermin. Bahwa kualitas kehidupan masyarakat sangat bergantung pada ketulusan para pendidik, keikhlasan para pemimpin, dan kejujuran para pembimbing spiritual.
Hari ini, tantangan kita bertambah berat. Dalam dinamika sosial, pendidikan, dan keagamaan, kadang-kadang kita terjebak dalam rutinitas formalitas, lupa akan ruh sejatinya. Pendidikan sering dihadapkan pada tekanan administratif, agama kadang-kadang terbawa dalam arus pragmatisme politik, dan kepemimpinan terjebak dalam pusaran kepentingan jangka pendek.
Namun, saya percaya, di balik semua itu, masih banyak hati-hati yang jernih, pikiran-pikiran yang jujur, dan tangan-tangan yang terus bekerja dalam sunyi demi masa depan umat.
Karena itu, saya ingin mengajak diri saya sendiri, dan siapa saja yang membaca refleksi ini, untuk bersama-sama menguatkan kembali niat awal kita: Bahwa ulama, pendidik, dan pemimpin sejatinya adalah penjaga keseimbangan antara langit dan bumi. Tugas itu berat, namun mulia.
Bukan untuk memenangkan golongan, tetapi untuk menebarkan kemaslahatan umat. Bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk menguatkan integritas. Bukan untuk sekadar menguasai dunia, tetapi untuk menuntun umat menuju nilai-nilai langit.
Mari kita jaga bersama-sama agar pendidikan tidak menjadi sekadar proyek, agar agama tetap menjadi sumber kesejukan, agar kepemimpinan tetap bersandar pada amanah, bukan ambisi.
Kita semua, siapapun kita, punya tanggung jawab moral untuk terus memperbaiki diri, memperbaiki niat, dan memperbaiki arah perjalanan kita.
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam perpecahan. Hidup ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan sesaat. Semoga kita semua, di tengah riuh zaman ini, tetap mampu menemukan jalan pulang:
Pulang ke hati yang bersih, pulang ke niat yang lurus, pulang ke Tuhan yang Maha Benar. Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah jabatan, bukan popularitas, tetapi seberapa besar kita pernah jujur kepada kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar