Surga, Ibu, dan Bumi: Jalan Kesadaran Menuju Transformasi Kehidupan
Oleh : Asep Zaenul Falah
"Surga ada di bawah telapak kaki ibu," sabda Nabi Muhammad SAW yang telah begitu akrab di telinga umat manusia, terutama mereka yang dibesarkan dalam nilai-nilai luhur ketimuran. Namun, kalimat ini tak sekadar ajakan untuk memuliakan ibu dalam makna harfiah, melainkan menyimpan pesan kosmis yang menghubungkan manusia, kehidupan, dan bumi itu sendiri.
Seorang pemikir kontemporer nyentrik, Lord Rangga, pernah memberikan tafsir yang menggugah: di bawah telapak kaki ibu ada bumi, maka surga bergantung bagaimana sikap dan perilaku kita di muka bumi. Kalimat ini membuka jendela kesadaran baru bahwa surga bukan sekadar tempat di akhirat, tetapi ia lahir dari cara manusia memperlakukan ibu, bumi, dan kehidupan.
Ibu sebagai Rahim Kehidupan
Ibu adalah pintu pertama tempat manusia hadir ke dunia. Dalam rahimnya, manusia tumbuh dengan kasih, tanpa pamrih, tanpa syarat. Dalam telapak kakinya, terkandung beban pengorbanan, langkah-langkah panjang untuk mendidik, melindungi, dan membesarkan. Maka, tidak berlebihan jika surga diletakkan di bawah kakinya. Ia bukan sekadar penghormatan simbolik, tetapi fondasi spiritual atas nilai kemanusiaan yang mendalam: kasih, pengorbanan, dan pengasuhan.
Namun kesadaran tentang "ibu" tak berhenti pada sosok biologis semata. Dalam pandangan kebijaksanaan spiritual, "ibu" juga bisa dimaknai sebagai bumi, tanah tempat manusia berpijak dan menggantungkan hidup. Maka ketika kita memuliakan ibu, kita juga diajak untuk menghormati bumi — ibu semesta yang menopang kehidupan seluruh makhluk.
Bumi sebagai Ibu Semesta
Bumi, sebagaimana ibu, menyediakan segalanya: makanan, air, udara, bahkan keindahan yang menenangkan jiwa. Ia memberi tanpa meminta, sabar meski sering dilukai. Namun, manusia sering memperlakukannya dengan kasar: menebang hutan tanpa kendali, mencemari sungai, memecah gunung, dan membuang limbah ke dalam tubuhnya.
Ketika bumi rusak, bukan hanya lingkungan yang menderita, tetapi juga manusia. Kita sedang mencabut akar dari "surga" itu sendiri. Maka kalimat Lord Rangga menjadi relevan: surga bukan hanya soal nanti, tetapi tentang bagaimana manusia bersikap sekarang, di atas bumi ini. Paradigma spiritual harus bersatu dengan kesadaran ekologis.
Etika Bumi dan Jalan Menuju Surga
Maka, bagaimana cara manusia membangun surga di muka bumi? Bukan dengan menunggu pahala datang di akhirat, melainkan dengan menanam benih surga melalui perbuatan baik kepada ibu dan bumi:
Dengan mencintai dan merawat orang tua, khususnya ibu, bukan hanya secara material, tetapi dengan hadir secara batin.
Dengan menjaga alam sekitar, menanam pohon, mengurangi sampah, dan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan.
Dengan membangun kehidupan sosial yang penuh kasih, menebar kebaikan kepada sesama, serta menghargai nilai-nilai lokal yang telah berakar kuat pada kearifan leluhur.
Surga, dalam hal ini, adalah keadaan batin yang tenteram, hubungan sosial yang harmonis, dan lingkungan hidup yang lestari. Inilah surga yang dimaksud oleh Rasul: surga yang diawali dengan hormat kepada ibu, dan ditopang oleh sikap arif terhadap bumi.
Transformasi Kesadaran: Dari Rumah ke Dunia
Kesadaran ini bukan untuk disimpan dalam kepala, melainkan untuk ditanamkan dalam kehidupan. Dimulai dari rumah — ajarkan kepada anak-anak bahwa menyentuh tangan ibu dengan lembut adalah menyentuh wajah Tuhan. Ajak mereka menyiram tanaman, mencium bau tanah, dan mendengarkan nyanyian burung pagi sebagai bentuk syukur atas rahmat bumi. Dari rumah, kesadaran ini akan merambat ke sekolah, pesantren, kantor, bahkan ke ruang-ruang kekuasaan dan kebijakan.
Kita perlu merekonstruksi ulang makna surga: bukan sekadar hadiah di akhirat, tetapi cita rasa yang bisa hadir di dunia. Ia tidak akan datang dari langit jika kita mengabaikan yang ada di bawah telapak kaki kita.
Penutup: Sujud di Bumi, Cinta pada Ibu
Surga tak jauh, ia tepat di bawah kaki ibu. Dan di sanalah bumi berada. Maka bersujudlah di bumi, cintailah ibu, dan jadikan hidup sebagai ladang bagi tumbuhnya surga. Karena pada akhirnya, jalan menuju surga bukanlah jalan ke atas, tetapi jalan kembali: kepada ibu, kepada bumi, dan kepada cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar