11/26/2014

ANALISIS SEMIOTIK PADA SYA’IR “HIRUP DI DUNYA UKUR NGUMBARA”



ANALISIS SEMIOTIK PADA SYA’IR “HIRUP DI DUNYA UKUR NGUMBARA”
Oleh:
Asep Zaenul Falah
1210503022

A.    Sya’ir “Hirup di Dunya Ukur Ngumbara”


Astagfirulloh Robbal baroya
Astagfirulloh minal khotoya
Robbi zidni ‘ilmannafi’a
Wawakifni ‘amalan soliha

Hirup di dunya ukur ngumbara
Harta jeung anak pitnah nu aya
Kuatkeun iman tingkatkeun takwa
Pasti salamet di akhir masa  
.              
Lobakeun pisan mieling mati
Sabab ieu teh datangna pasti
Nyawa dipundut Robbul izzati
Mangkade hirup sing ati-ati  

Datangna ajal diri sumerah
Nyawa jeung jasad tuluy papisah
Anak kulawarga karumpul kabeh
Tuluy dibungkus badan ku boeh  
Nu nganteur jenajah tilu perkara
Amal jeung harta anak kulawarga
Harta jeung anak baralik deui
Amal mimilu nu jadi saksi 

Umur manusa bakal ditanya
Kawit lahirna dugi ka maotna
Waktu ngorana waktu sehatna
Sadaya pisan di pariksana  

Taya hartina hirup di dunya
Salami hirup midamel dosa
Poho ka diri pasti cilaka
Nandangan siksa seuneu naraka  





B.     Penjelasan
Sya’ir Hirup di Dunya Ukur Ngumbara adalah salah satu sya’ir yang sering di kumandangkan di mesjid-mesjid, khusnya di kalangan dunia pesantren yang masih bersifat agraris, tanpa terkecuali di pesantren Assalafiah Babakan Cipanengah Sukabumi. Setiap sore sebelum menjelang magrib tradisi sya’iran (pupujian) atau nadzoman ini masih melekat di pesantren tersebut. Dimana para santri berkumpul dan bersama - sama mengumandangkan berbagai macam sya’ir dengan cara bergantian. Salah satu sya’ir yang sering di kumandangkan yakni sya’ir Hirup di Dunya Ukur Ngumbara.
Salah satu alasan mengapa sya’ir (pupujian) dilakukan setiap sore sebelum menjelang magrib (adzan) itu di disebabka bahwa inti hidup yang mesti direfleksikan bagi setiap Muslim adalah membuat hidupnya lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian setelah seharian disibukan dengan hiruk piuk kegiatan keduniawian. Dengan mengingat kematian, maka diharapkan seluruh manusia dapat menghidupkan kembali sakralitas Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar tata-darigama yang sesuai dengan ajaran Agama Islam yang bernilai universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh budaya lokal.
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah, maka Yang terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas sya’iran (pupujian) jangan dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada sunah Nabi. Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan bahwa kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras. Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Sukabumi, pun uwak – Ajeungan Muchlis – memberikan sya’iran (pupujian) yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan jasad saya untuk terus beramal saleh. 
Dari paparan di atas penulis bertujuan untuk menggali kembali secara menyeluruh mengenai khazanah budaya local (sya’ir) dengan melakukan pengkajian yang lebih mendalam yaitu melalui pendekatan sastra. Pendekatan sastra yang dimasksud adalah sebuah cara yang mengarah pada upaya untuk mempengaruhi emosi dan perasaan pembaca. Seperti yang diketahui, karya sastra (sya’ir) dalam implementasinya membutuhkan berbagai penafsiran yang mendalam untuk mengetahui kedalaman makna apa saja yang terkandung di dalamnya.
Dalam upaya penggalian makna, kirannya pendekatan semiotic cukup relevan untuk di aplikasikan dalam membedah sya’ir Hirup Di Dunya Ukur Ngumbara. Selanjutnya, dalam menganalisis sebuah karya sastra dalam hal ini puisi, Peirce penggunaan dua aspek. Diantaranya; aspek sintaksis dan aspek semantis. (Okke. 2002: 124). Ketiga aspek tersebut selanjutnya langsung dapat dipahami melalalui analisis sya’ir  Hirup Di Dunya Ukur Ngumbara (HDUN) yang sering di kumandang di mesjid-mesjid ini.

C.    Pembahasan
1.      Analisis Aspek Sintaksis
Sya’ir yang sering dikumandangkan di kalangan pondok pesantren ini (HDUN) memiliki kandungan makna yang sangat dalam sekali. Dimana gaya penulisan tiap baitnya disusun dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian untuk senantiasa memberikan suatu pesan yang yang oleh pengarang pada tiap baitnya disisipi ikon tentang kematian. Sya’ir tersebut memiliki empat larik yang tersusun dalam suatu baitnya dan sya’ir ini memiliki tujuh bait. Jika penulis hitung dari jumlah keseluruhan pada HDUN ini hanya memiliki 7 kalimat saja, meskipun pada tiap kalimat pengarang sama sekali tidak mensisipi tanda baca seperti titik, koma pada akhir kalimat. Hal inilah yang kemudian menjadi satu persoalan yang oleh peneliti dijadikan satu bahan interpretasi yang luas untuk memaknai puisi ini, meskipun seiring berjalannya waktu proses inerpretasi ini merupakan satu proses yang tanpa batas.
Melalui interpretasi peneliti mengenai sya’ir tersebut yang memiliki tujuh kalimat yang terdiri dalam tujuh bait dan empat larik dalam satu baitnya, maka oleh penulis di interpretasi secara perbait. Pada bait pertma yang berjumlah 4 larik ditulis dengan syair bahasa arab yang berisi : Astagfirulloh Robbal baroya, Astagfirulloh minal khotoya, Robbi zidni ‘ilmannafi’a, Wawakifni ‘amalan soliha.
Pada kalimat pertama ini penulis mengajak kita untuk terlebih dahulu menundukan kepala dan merendahkan hati dengan menyadari secara seportif bahwa yang haruh kita lakukan dan perbaiki bukanlah sesuatu yang ada diluar sana melain sesuatu yang jauh tersimpan di dalam lubuk hati yang sangat mendalam dengan cara memohon ampun kepada Illahi Robbi atas dosa-dosa yang telah kita lakukan sebelum pada akhirnya ajal menjemput kita. Sedangkan pada bait kedua, penutur mengajak kita untuk sejenak merenungkan tentang perjalanan kita hidup yang pada akhirnya aka ada ujung dari degala pengharana (kematian) dengan kalimat “Hirup di dunya ukur ngumbara”, yang di pertegas dengan segala apa yang kita miliki merupakan satu titipan yang kapan saja siap diambil oleh pemilik-Nya. Dengan demikian pergunakannla apa yang telah menjadi titipan-Nya dengan cara menempuh jalan-jalan keridhoan penciptanya-Nya agar semuanya  tak jadi fitnah belaka dengan ungkapan “Harta jeung anak pitnah nu ay”. Yang pada akhirnya penutur merujuk pada pesan agar kita senantiasa mengukuhkan ketakwaan yang menjadi dasar pijakan untuk kembali kehadira-Nya dengan selamat.
Adapaun pada bait-bait selanjutnya penutur mengungkapkan kalimat-kalimat yang memiliki makna sama dengan kalimat-kalimat sebelumnya yang di dasari pada ajakan kepada kita semua agar senantiasa gegap gempita untuk tidak sedetikpun lengah atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita yang kapan saja akan kembali kehadirat-nya.
Selanjutnya, jika ditinjau sya’ir HDUN tersebut pada sudut pandang ryme (rima) maka tedapatlah pada setiap ariknya berbunyi a,a,a,a pada bait pertma, yang di susul dengan bunyi i,i,i,i, pada kedua. Yang kemudian di tutup dengan bunyi rima yang sama pada bait pertama. Hal ini menujukan bahwa dalam sya’ir HDUN memiliki gabungan rima antara rima lurus yang hadir di bait pertama dan di akhir, kemudian rima berkait pada bait kedua. Kehadiran bunyi rima yang berbeda tersebut penutur ingin mengahadirkan sebuah keunikan pada sya’ir tersebut.

2.      Analisis Aspek Semantis
Jika kita telaah sa’ir HDUN ini, maka kita akan menemukan beberapa gambaran yang disampaikan oleh pengarang tentang kematian yang memiliki hubungan dengan manusia. Yang kemudian dari kesalinghubungan tersebut memiliki makna yang tersirat untuk di interpretasi. Untuk mengetshui makna yang tersirat dapa sya’ir tersebut maka alangkah baiknya terlebih dahilu dibahas mengenai isotopi yang terdapat pada sya’ir tersebut. Adapun yang dimaksud dengan isotopi adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat disepanjang wacana yang memungkinkan memiliki suatu pesan untuk kemudian dipahami sebagai perlambangan yang utuh. Karena itu, dalam isotopi makna mencapai keutuhannya (Rusmana, 2008: 86).
jika isotopi dipahami sebagai sebuah perlambangan yang utuh, maka kita akan temukan beberapa isotopi yang berkaitan dengan alam, manusia, sifat, perbuatan, waktu, tempat, dan isotopi penghubung yang terdapat pada sya’it tersebut.
a.       Isotopi Alam
Adapun yang dimaksud isotopi alam adalah wilayah makna yang terbuka yang dilambangkan dengan alam itu sendiri seperti : Dunya, hirup, harta, akherat, naraka
b.      Isotopi kematian
Ajal, maot,
c.       Isotopi Manusia
Adapun yang dimaksud isotopi alam adalah wilayah makna yang terbuka yang dilambangkan dengan alam itu sendiri seperti : hirup, anak, nyawa, jasad, keluarga, umur, ngora, sehat, poho.
d.      Isotopi sifat
Isotopi sifat yang ada pada sya’ir HDUN diantaranya; ngorana, poho,
e.       Isotopi perbuatan
Diantaranya; ngumbara, Kuatkeun, tingkatkeun , Lobakeun, Mieling, sing ati-ati, Nandangan, midamel , pariksana , ditanya, mimilu, baralik , nganteur , dibungkus , sumerah, karumpul, dipundut
f.       Isotopi penghubung
Diantarnya; di, jeng 3x, nu, tuluy, ku, ka.
Terdapat kurang lebih eman isotopi yang d kemukakan oleh penulis yang tentu didalamnya terdapat motif yang mendukung untuk membangun sebuah tema dari sya’ir tersebut. Adapun yang dimaksud motif menurut Okke yaitu unsure yang terus menerus diulang dan beberapa motif akan mendukung kehadiran tema (Rusmana, 2008: 88).
Jika kita lihat dari kelompok motif yang telah di jelaskan di atas, maka isotopi perbuatan yang disusul dengan isotopi manusia dan alama yang paling banyak menonjol pada sya’ir tersebut. Hal ini bisa kita nyatakan bahwa sya’ir tersebut memiliki motif utama yaitu aktifitas yang didalamnya senantiasa merenungkan akan datangnya ajal yang tanpa pandang bulu. Adapun isotopi manusia dan alam pada sya’ir ini memiliki arti bahwa perbutan manusia akan selalu diiringi dengan kehendak alam yang pada kedudukannya kita sebagai manusia sedang melakukan perjalan (ngumbara) akan pada akhirnya aka nada akhirnya.
Selanjutnya, kehadiran isotopi sifat pada kata ngora, poho merupakan isotopi yang memiliki kandungan makna yang dalam, dimana manusia harus senantiasa mengingat bahwa sifat yang kita miliki selama hidup di dunia sudah pasti tidak akan abadi, seperti sifat muda yang pada akhirnya tua, begitupun dengan lupa yang menjadi sunatullah dari dari hokum alam
Kehadiran dari isotopi penghubung berfungsi sebagai penguat dari kalmat-kalimat yang hadir dalam sya’ir tersebut. Kata di, tuluy, jeng, ka merupakan bentuk kata penghubung yang pada kalimat selanjutnya menunjukan pada suatu sikap penegasan tentang sesuatu yang berkaitan dengan kematian. Dalam isotopi pengubung ini merupakan salah satu unsur yang digunakan untuk memperjelas bagian-bagian dari kata yang di gunakan pada sya’ir Hirup di Dunia Unkur Ngumbara agar dapat dipahami yang bersifat komunikatif.
3.      Kesimpulan
Dari hasil penganalisisan diatas, maka penulis mencoba menyimpulkan bahwa sya’ir HDUN memiliki nuasa ajakan kepada seluruh manusia agar kita senantiasa mengingat bahwa hidup di dunia hanyalah tempat bersinggah yang harus di manfaatnya dengan sebaik mungkin dengan cara menanam amal kebaikan sebanyak-banyaknya agar kelak mendapatkan hasil yang sesuai di hari pembalasan. Adapun tema yang di ungkapkan dai sya’ir tersebut adalah tema tentang kematian dimana penulis selalu menyisipi kata-kata kematian pada setiap baitnya.
Adapun isotopi perbuatan yang hadir dominan dalam karya ini menunjukkan memiliki motif utama yaitu aktifitas yang didalamnya senantiasa merenungkan akan datangnya ajal yang tanpa pandang bulu. Adapun isotopi manusia dan alam pada sya’ir ini memiliki arti bahwa perbutan manusia akan selalu diiringi dengan kehendak alam yang pada kedudukannya kita sebagai manusia sedang melakukan perjalan (ngumbara) akan pada akhirnya aka nada akhirnya. pada isotopi alam juga dapat dijadikan cerminan bagi kehidupan manusia, di mana mereka dengan kepasrahannya tunduk pada aturan dan takdir yang telah digariskan oleh sangpencipta.



2 komentar:

  1. sae pisan .mudah mudahan dulur sadayana mi eling ka gustina

    BalasHapus
  2. Anonim04.24.00

    Izin copas mim

    BalasHapus