Di bawah rindangnya pohon beringin tua, seorang pemuda duduk bersila, matanya terpejam, dan napasnya teratur. Ia adalah Raksa, pemuda dari desa terpencil di Nusantara yang telah lama menapaki jalan tapa brata, berusaha memahami hakikat kehidupan.
Di tengah sunyi, seorang lelaki tua datang menghampiri. Wajahnya bersih, sorot matanya teduh. Ia dikenal sebagai Kyai Ahmad, seorang penyebar Islam di tanah itu. Tanpa suara, ia duduk di samping Raksa.
"Apa yang kau cari dalam kesunyian ini, anak muda?" tanya Kyai Ahmad lembut.
Raksa membuka matanya perlahan. "Aku mencari kebenaran, Kyai. Sejak kecil, aku diajarkan untuk menata jiwa, menahan hawa nafsu, dan menyatu dengan alam. Namun, entah mengapa, masih ada yang terasa kosong dalam hatiku."
Kyai Ahmad tersenyum. "Nenek moyang kita telah lama mengenal laku tapa brata, mencari kesejatian dari dalam. Namun, kesejatian itu bukan hanya tentang mengenali diri sendiri, melainkan juga mengenal Tuhan yang menciptakan diri ini."
Raksa terdiam. Kata-kata itu menggetarkan hatinya. "Apakah Islam mengajarkan hal itu, Kyai?"
"Islam datang untuk menyempurnakan pencarianmu, Raksa," jawab Kyai Ahmad. "Di tanah Arab, Islam mengawali perjalanannya dengan menata masyarakat jahiliyah melalui syariat. Sedangkan di sini, masyarakat kita telah mengenal hakikat lebih dulu, sebelum mengenal syariat. Maka, Islam hadir bukan untuk merombak, tetapi untuk menerjemahkan hakikat yang telah kau kenali ke dalam syariat yang benar."
Raksa mengangguk perlahan. "Jadi, Islam bukan sekadar aturan?"
"Benar, Islam adalah jalan yang menyatukan syariat dan hakikat. Syariat adalah jalan menuju hakikat, sementara hakikat harus dibingkai oleh syariat agar tidak tersesat. Itulah sebabnya, tanah ini melahirkan banyak wali Allah. Mereka yang telah memahami hakikat, tetapi belum mampu menerjemahkannya, akhirnya menemukan penerjemahan sempurna dalam Islam."
Raksa menatap Kyai Ahmad dengan mata yang mulai berbinar. "Aku ingin belajar lebih dalam, Kyai. Aku ingin mengenal Islam bukan hanya dari luar, tetapi dari dalam jiwaku."
Kyai Ahmad tersenyum, lalu menggenggam tangan Raksa. "Maka, marilah kita melangkah bersama. Dari dalam ke luar, dari hakikat ke syariat, menuju cahaya yang sejati."
Malam pun menjelang. Langit dipenuhi bintang, seolah menyaksikan perjalanan baru Raksa. Hari-hari berikutnya, ia mulai belajar dari Kyai Ahmad. Ia belajar tentang syariat, tentang shalat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya. Namun yang lebih dalam dari itu, ia belajar tentang makna di balik setiap ibadah, tentang bagaimana ibadah bukan hanya kewajiban, tetapi juga jalan menuju Allah.
Suatu hari, Kyai Ahmad mengajak Raksa berjalan ke sebuah bukit. Dari sana, mereka memandang hamparan sawah yang luas. "Lihatlah, Raksa. Petani menanam padi dengan penuh kesabaran. Mereka tidak hanya menebar benih, tetapi juga merawatnya, menyiraminya, hingga panen tiba. Begitu pula dengan Islam. Ia bukan sekadar aturan yang dipatuhi, tetapi juga jalan yang harus dijalani dengan kesabaran dan pemahaman. Syariat adalah tanahnya, hakikat adalah hasil panennya."
Raksa mengangguk paham. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Kedamaian yang selama ini dicarinya mulai ia temukan dalam Islam. Tidak lagi hanya dengan tapa brata yang sunyi, tetapi dengan ibadah yang penuh makna.
Bulan demi bulan berlalu, Raksa kini menjadi sosok yang berbeda. Wajahnya lebih bersinar, hatinya lebih tenang. Ia tidak hanya memahami Islam sebagai ajaran, tetapi juga sebagai jalan hidup. Hingga suatu hari, ia berkata kepada Kyai Ahmad, "Kyai, aku ingin menyebarkan cahaya ini. Aku ingin berbagi dengan saudara-saudaraku yang masih mencari hakikat tanpa bimbingan syariat."
Kyai Ahmad tersenyum bangga. "Itulah tugas seorang mukmin, Raksa. Menerangi sekitarnya, seperti lilin yang membakar dirinya demi cahaya bagi yang lain."
Dan sejak hari itu, Raksa tidak hanya menjadi seorang pencari, tetapi juga menjadi penerang. Dari dalam ke luar, dari hakikat ke syariat, ia melangkah menyebarkan cahaya Islam di tanah Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar