5/22/2025

Surga, Ibu, dan Bumi: Jalan Kesadaran Menuju Transformasi Kehidupan

Surga, Ibu, dan Bumi: Jalan Kesadaran Menuju Transformasi Kehidupan

Oleh : Asep Zaenul Falah

"Surga ada di bawah telapak kaki ibu," sabda Nabi Muhammad SAW yang telah begitu akrab di telinga umat manusia, terutama mereka yang dibesarkan dalam nilai-nilai luhur ketimuran. Namun, kalimat ini tak sekadar ajakan untuk memuliakan ibu dalam makna harfiah, melainkan menyimpan pesan kosmis yang menghubungkan manusia, kehidupan, dan bumi itu sendiri.

Seorang pemikir kontemporer nyentrik, Lord Rangga, pernah memberikan tafsir yang menggugah: di bawah telapak kaki ibu ada bumi, maka surga bergantung bagaimana sikap dan perilaku kita di muka bumi. Kalimat ini membuka jendela kesadaran baru bahwa surga bukan sekadar tempat di akhirat, tetapi ia lahir dari cara manusia memperlakukan ibu, bumi, dan kehidupan.

Ibu sebagai Rahim Kehidupan

Ibu adalah pintu pertama tempat manusia hadir ke dunia. Dalam rahimnya, manusia tumbuh dengan kasih, tanpa pamrih, tanpa syarat. Dalam telapak kakinya, terkandung beban pengorbanan, langkah-langkah panjang untuk mendidik, melindungi, dan membesarkan. Maka, tidak berlebihan jika surga diletakkan di bawah kakinya. Ia bukan sekadar penghormatan simbolik, tetapi fondasi spiritual atas nilai kemanusiaan yang mendalam: kasih, pengorbanan, dan pengasuhan.

Namun kesadaran tentang "ibu" tak berhenti pada sosok biologis semata. Dalam pandangan kebijaksanaan spiritual, "ibu" juga bisa dimaknai sebagai bumi, tanah tempat manusia berpijak dan menggantungkan hidup. Maka ketika kita memuliakan ibu, kita juga diajak untuk menghormati bumi — ibu semesta yang menopang kehidupan seluruh makhluk.

Bumi sebagai Ibu Semesta

Bumi, sebagaimana ibu, menyediakan segalanya: makanan, air, udara, bahkan keindahan yang menenangkan jiwa. Ia memberi tanpa meminta, sabar meski sering dilukai. Namun, manusia sering memperlakukannya dengan kasar: menebang hutan tanpa kendali, mencemari sungai, memecah gunung, dan membuang limbah ke dalam tubuhnya.

Ketika bumi rusak, bukan hanya lingkungan yang menderita, tetapi juga manusia. Kita sedang mencabut akar dari "surga" itu sendiri. Maka kalimat Lord Rangga menjadi relevan: surga bukan hanya soal nanti, tetapi tentang bagaimana manusia bersikap sekarang, di atas bumi ini. Paradigma spiritual harus bersatu dengan kesadaran ekologis.

Etika Bumi dan Jalan Menuju Surga

Maka, bagaimana cara manusia membangun surga di muka bumi? Bukan dengan menunggu pahala datang di akhirat, melainkan dengan menanam benih surga melalui perbuatan baik kepada ibu dan bumi:

Dengan mencintai dan merawat orang tua, khususnya ibu, bukan hanya secara material, tetapi dengan hadir secara batin.

Dengan menjaga alam sekitar, menanam pohon, mengurangi sampah, dan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan.

Dengan membangun kehidupan sosial yang penuh kasih, menebar kebaikan kepada sesama, serta menghargai nilai-nilai lokal yang telah berakar kuat pada kearifan leluhur.

Surga, dalam hal ini, adalah keadaan batin yang tenteram, hubungan sosial yang harmonis, dan lingkungan hidup yang lestari. Inilah surga yang dimaksud oleh Rasul: surga yang diawali dengan hormat kepada ibu, dan ditopang oleh sikap arif terhadap bumi.

Transformasi Kesadaran: Dari Rumah ke Dunia

Kesadaran ini bukan untuk disimpan dalam kepala, melainkan untuk ditanamkan dalam kehidupan. Dimulai dari rumah — ajarkan kepada anak-anak bahwa menyentuh tangan ibu dengan lembut adalah menyentuh wajah Tuhan. Ajak mereka menyiram tanaman, mencium bau tanah, dan mendengarkan nyanyian burung pagi sebagai bentuk syukur atas rahmat bumi. Dari rumah, kesadaran ini akan merambat ke sekolah, pesantren, kantor, bahkan ke ruang-ruang kekuasaan dan kebijakan.

Kita perlu merekonstruksi ulang makna surga: bukan sekadar hadiah di akhirat, tetapi cita rasa yang bisa hadir di dunia. Ia tidak akan datang dari langit jika kita mengabaikan yang ada di bawah telapak kaki kita.

Penutup: Sujud di Bumi, Cinta pada Ibu

Surga tak jauh, ia tepat di bawah kaki ibu. Dan di sanalah bumi berada. Maka bersujudlah di bumi, cintailah ibu, dan jadikan hidup sebagai ladang bagi tumbuhnya surga. Karena pada akhirnya, jalan menuju surga bukanlah jalan ke atas, tetapi jalan kembali: kepada ibu, kepada bumi, dan kepada cinta.

5/16/2025

Menanam Nilai, Merawat Laku

Menanam Nilai, Merawat Lakul

Oleh: Asep Zaenul Falah

Menjadi kepala madrasah bukan sekadar jabatan struktural. Ia adalah amanah spiritual. Tugas ini bukan hanya mengelola administrasi dan kurikulum, tetapi menanamkan nilai, membangun karakter, dan menjadi teladan bagi seluruh civitas madrasah. Di tengah derasnya arus zaman dan tantangan dunia pendidikan, saya merenung, bahwa tidak semua hal bisa saya atur atau ubah. Yang paling utama adalah menjaga diri tetap lurus di jalan yang benar, lalu menghadirkan keteladanan yang nyata.

Sering kali kita terjebak pada keinginan untuk memperbaiki orang lain, sebelum memperbaiki diri sendiri. Padahal, perbaikan terbesar adalah dimulai dari dalam: dari cara kita berpikir, bersikap, dan bertindak. Jika ada siswa atau guru yang datang untuk meminta bimbingan, dan saya merasa mampu membantu, maka itu adalah ladang amal. Tetapi saya pun memahami bahwa setiap insan memiliki hak dan jalannya masing-masing.

Saya tidak berambisi mengubah siapa pun. Tidak pula merasa paling tahu. Saya hanya berkewajiban menyampaikan apa yang saya yakini sebagai kebaikan. Jika saya diam, saya khawatir berdosa karena membiarkan keburukan tumbuh. Namun jika saya menyampaikan dengan cara yang salah, bisa jadi menyakiti dan menjadi aniaya. Maka, saya mencoba menjaga keseimbangan. Dalam proses ini, saya banyak belajar: maju salah, mundur pun salah. Tapi tetap diam bukan pilihan.

Dari proses yang terus berjalan ini, saya mulai bisa membedakan siapa yang sungguh-sungguh hadir dalam ruh pendidikan madrasah, dan siapa yang hanya hadir secara jasad namun jiwanya belum tersentuh. Ada yang sabar menjalani proses pembelajaran dari tahap ke tahap, dan ada pula yang menyerah di tengah jalan. Namun satu hal yang selalu saya pegang: harapan itu selalu ada. Selama masih ada niat belajar, masih ada ruang untuk bertumbuh.

Ilmu yang kami ajarkan di madrasah ini tidak akan memberi manfaat apa-apa jika tidak diresapi dalam kehidupan nyata. Ilmu tanpa amal adalah beban. Amal tanpa nilai adalah kosong. Maka saya mengajak seluruh warga madrasah: mari kita hidupkan ilmu dalam laku. Bukan hanya dalam teori atau hafalan, tetapi dalam akhlak, kedisiplinan, tanggung jawab, dan cinta terhadap sesama.

Madrasah bukan hanya tempat belajar, tetapi taman untuk menanam nilai-nilai kehidupan. Dan nilai-nilai itu akan menjadi penuntun kita seumur hidup.

Semoga Allah memberikan keikhlasan dalam setiap langkah kita, dan menjadikan madrasah ini tempat tumbuhnya generasi yang cerdas, berakhlak, dan berjiwa tangguh.

4/30/2025

Saat Ulama, Pendidik, dan Pemimpin Lupa Jalan Pulang

Refleksi Seorang Kepala Madrasah dari Pinggiran tentang Resahnya Tatanan Sosial dan Harapan perbaikan

Dalam perjalanan kehidupan, saya pernah mengalamai beberpa pengalaman, yakni pernah menempuh pendidikan formal dan nonformal, bersinggungan dengan organisasi besar, bahkan sempat merasakan dinamika dunia politik. meski tidak sehebat temen temen yang lain, manum dari sedikit pengalaman itulah membawa pada ruang kesadaran dimana ada saatnya saya melaju kencang dan sadar kapan harus mengerem.

Perjalanan itu memperkaya pandangan saya, memperluas pemahaman tentang wajah-wajah kehidupan.Namun, seiring waktu, Tuhan menakdirkan saya untuk berpindah jalur — mengabdi di dunia pendidikan, di sebuah sekolah sederhana di pedesaan. Tempat yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, dan kadang luput dari perhatian banyak pihak. 

Dari tempat inilah, perlahan-lahan saya melihat realitas masyarakat dengan mata yang lebih jernih. Saya menyaksikan betapa kompleksnya kehidupan sosial kita hari ini: ada dinamika yang membahagiakan, namun ada juga kegelisahan yang tak bisa diabaikan.

Tatanan sosial sering kali terasa rapuh, dan jarak antara harapan dan kenyataan terasa semakin melebar. Dalam merenung, saya teringat pada pesan bijak dari seorang tokoh besar, KH Ahmad Dahlan, yang pernah mengutip Imam Al-Ghazali :

"Rusaknya rakyat berakar dari rusaknya pemimpin, dan rusaknya pemimpin berakar dari rusaknya ulama."

Kalimat itu bukanlah tuduhan, melainkan sebuah undangan untuk bersama-sama bercermin. Bahwa kualitas kehidupan masyarakat sangat bergantung pada ketulusan para pendidik, keikhlasan para pemimpin, dan kejujuran para pembimbing spiritual.

Hari ini, tantangan kita bertambah berat. Dalam dinamika sosial, pendidikan, dan keagamaan, kadang-kadang kita terjebak dalam rutinitas formalitas, lupa akan ruh sejatinya. Pendidikan sering dihadapkan pada tekanan administratif, agama kadang-kadang terbawa dalam arus pragmatisme politik, dan kepemimpinan terjebak dalam pusaran kepentingan jangka pendek.

Namun, saya percaya, di balik semua itu, masih banyak hati-hati yang jernih, pikiran-pikiran yang jujur, dan tangan-tangan yang terus bekerja dalam sunyi demi masa depan umat.

Karena itu, saya ingin mengajak diri saya sendiri, dan siapa saja yang membaca refleksi ini, untuk bersama-sama menguatkan kembali niat awal kita: Bahwa ulama, pendidik, dan pemimpin sejatinya adalah penjaga keseimbangan antara langit dan bumi. Tugas itu berat, namun mulia. 

Bukan untuk memenangkan golongan, tetapi untuk menebarkan kemaslahatan umat. Bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk menguatkan integritas. Bukan untuk sekadar menguasai dunia, tetapi untuk menuntun umat menuju nilai-nilai langit. 

Mari kita jaga bersama-sama agar pendidikan tidak menjadi sekadar proyek, agar agama tetap menjadi sumber kesejukan, agar kepemimpinan tetap bersandar pada amanah, bukan ambisi. 

Kita semua, siapapun kita, punya tanggung jawab moral untuk terus memperbaiki diri, memperbaiki niat, dan memperbaiki arah perjalanan kita.

Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam perpecahan. Hidup ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan sesaat. Semoga kita semua, di tengah riuh zaman ini, tetap mampu menemukan jalan pulang:

Pulang ke hati yang bersih, pulang ke niat yang lurus, pulang ke Tuhan yang Maha Benar. Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah jabatan, bukan popularitas, tetapi seberapa besar kita pernah jujur kepada kehidupan ini.

4/26/2025

"RASA: Jalan Pulang Menuju Diri dan Ilahi"

Gerak di luar adalah bayangan dari gerak di dalam. Alam semesta ini adalah cermin dari batin kita sendiri

Dalam perjalanan kehidupan, saya memulai latihan rasa bukan hanya dengan berpikir atau membaca, tetapi dengan masuk ke dalam. Saya belajar menyelam ke kedalaman batin saya sendiri—berdiam, memperhatikan, dan menghayati setiap detik kehidupan dengan penuh kesadaran.

Saya hidup dalam penyelaman dan penghayatan, tidak hanya dalam momen sunyi, tapi juga dalam keseharian yang biasa. Dalam segala hal yang terpandang oleh mata, saya belajar untuk merespek dan menghormatinya, lalu menyelaminya seolah menjadi bagian darinya.

Ketika saya melihat sebuah batu, saya tidak hanya melihat benda keras yang diam. Saya belajar menyatukan rasa—seolah saya adalah batu itu. Saya rasakan bagaimana ia menanggung panas mentari siang dan dingin hujan malam, diam dalam keteguhan, dalam sunyi yang penuh makna.

Lalu saya lanjutkan kepada pohon, air, tanah, binatang, bahkan bulan, bintang, matahari, awan, dan angin. Setiap elemen alam semesta, saya selami dengan hati. Saya hayati hingga seluruh sel tubuh saya seakan bersatu dengan mereka. Saya merasa menjadi bagian dari semesta, dan semesta menjadi bagian dari saya.

Ketika penghayatan itu semakin dalam, saya menyadari bahwa alam ini bukan lagi objek di luar diri, tapi sudah menyatu, manunggal dalam rasa. Saya menjadi awan, dan awan itu bergerak mengikutiku. Saya menjadi angin, dan ia pun berhembus bersama napas saya.

Dari situ, saya paham bahwa segala gerak di luar adalah pantulan dari gerak di dalam. Alam bergerak sebagaimana hati kita bergerak. Maka saya pun mulai memahami alur-orbit semesta, dan dari situ saya mengenal siapa itu Robbul 'Alamin, Sang Pengatur Segala.

Dalam penyelaman rasa ini, perlahan saya mulai mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Saya bisa ikut meneteskan air mata saat menyentuh duka dan gejolak yang dirasakan jiwa lain. Saya bisa menangis tanpa tahu kenapa, hanya karena rasa yang menyatu dengan penderitaan sesama.

Dulu, saya sering menulis sambil menangis. Bukan karena sedih pribadi, tapi karena rasa itu mengalir dalam. Rasa itu membawa saya pada firman Tuhan yang menggetarkan batin:

"Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri, yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat menginginkan kebaikan bagi kamu, dan ia pula menumpahkan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman."
(QS. At-Taubah: 128)

"Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia; kepada-Nya aku berserah diri, dan Dialah Pemilik ‘Arsy yang agung.'"
(QS. At-Taubah: 129)

Ayat ini, bagi saya, bukan sekadar teks. Ia adalah pantulan rasa kasih Nabi yang begitu dalam terhadap umatnya. Rasa itulah yang ingin saya latih—agar saya pun, meski tak sempurna, bisa menyentuh kasih itu dalam diri.

4/25/2025

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

Oleh : Asep Zaenul Falah

Sebagai seorang kepala madrasah yang selama ini berjuang dalam keterbatasan, namun tak pernah padam harapan, saya merasa terpanggil untuk menyampaikan suara hati atas langkah yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, terkait evaluasi dan penahanan sementara dana hibah.

Kebijakan ini, bagi sebagian pihak mungkin terasa mengejutkan, bahkan kontroversial. Namun bagi kami—lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar jangkauan kekuasaan dan politik—justru merupakan angin segar yang kami rindukan sejak lama. Langkah ini menjadi simbol keberanian dan ketegasan seorang pemimpin yang tidak silau oleh kepentingan politik sesaat, melainkan berpihak pada keadilan dan kebenaran yang hakiki.

Fakta di lapangan selama ini menunjukkan betapa tajamnya ketimpangan dalam penyaluran dana hibah. Banyak lembaga yang mendapatkan kucuran dana bukan karena urgensi dan kebutuhan riilnya, melainkan karena kedekatan politik. Sementara kami yang tidak memiliki akses politik, hanya bisa memandangi dari kejauhan, merasa termarjinalkan dan sering kali tak terdengar suaranya.

Langkah evaluasi total yang diambil oleh Kang Dedi adalah jalan awal menuju perubahan sistem yang lebih adil, transparan, dan merata. Tatakelola dana publik harus didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan pada jaringan kekuasaan. Sudah saatnya Jawa Barat membangun peradaban pendidikan yang berpondasi pada nilai, bukan sekadar angka.

Kami, para pendidik di akar rumput, mendambakan sosok pemimpin yang mampu menjadi teladan, yang melihat rakyat dengan mata hati, bukan dengan kepentingan. Sosok pemimpin yang berani meluruskan apa yang bengkok, meskipun harus menanggung risiko.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh elemen masyarakat Jawa Barat—terutama para pelaku pendidikan dan penggerak perubahan di komunitas lokal—untuk mendukung dan mengawal setiap langkah kebijakan yang berpihak pada keadilan. Ini bukan sekadar soal dana, ini adalah tentang masa depan generasi kita.

Semoga niat baik ini mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi awal dari lembaran baru bagi Jawa Barat yang lebih adil dan bermartabat.

4/24/2025

"Antara Bapak Dewek dan Bapak Aing” Sebuah Catatan Kritis dari Kepala Madrasah

Sebagai pendidik sekaligus bagian dari elemen masyarakat yang terus berupaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kebeningan hati, dan keteladanan dalam kepemimpinan, saya merasa perlu memberikan sedikit catatan terhadap tren kemungkinan pencitraan yang sedang berkembang di Kabupaten Sukabumi, khususnya terkait dengan istilah “Bapak Dewek” yang disematkan pada Bupati Sukabumi.

Istilah ini secara sepintas memang terdengar akrab dan merakyat, namun jika ditelisik lebih dalam, ada sesuatu yang mengganjal secara kultural maupun etis. Mengapa? Karena istilah ini terkesan dipaksakan untuk membentuk kedekatan artifisial antara pemimpin dan masyarakat, sesuatu yang pada akhirnya bisa menjadi kontraproduktif, terutama bagi generasi muda khusunya para pelajar yang sedang mencari sosok teladan sejati.

Mari kita bandingkan secara jujur dengan istilah “Bapak Aing” yang melekat pada figur Kang Dedi Mulyadi, sebagai GUbernur di Jawa Barat. Julukan tersebut bukan lahir dari tim branding, bukan pula dari konstruksi politik, tetapi dari ketulusan seorang anak kecil bernama Egi, yang kala itu menyebut Kang Dedi sebagai “Bapak Aing” secara spontan karena kedekatan emosional dan kasih sayang yang ia rasakan. Dari sanalah istilah itu berkembang, menyebar, dan akhirnya diterima oleh masyarakat luas sebagai simbol kepemimpinan yang membumi dan berpihak pada Masyarakat kecil, Masyarakat yang selama ini terasingkan.

Sementara itu, istilah “Bapak Dewek” terasa lahir dari dapur marketing politik, bukan dari ruang hati masyarakat kecil. Ia seakan ingin menggiring persepsi publik bahwa kedekatan bisa dibentuk melalui narasi, bukan melalui aksi nyata yang dirasakan oleh rakyat. Padahal, istilah yang melekat pada seorang pemimpin, terutama di tengah krisis kepercayaan publik, harusnya lahir dari bukti keberpihakan dan kebijakan yang berdampak, bukan sekadar permainan diksi.

Sebagai kepala madrasah, saya sangat menyadari bahwa narasi kepemimpinan memiliki dampak langsung pada pembentukan karakter siswa. Jika narasi itu artifisial dan dibuat-buat, maka ada risiko besar generasi muda akan belajar bahwa pencitraan bisa menggantikan keteladanan. Ini tentu tidak sehat untuk masa depan kepemimpinan kita.

Saya tidak bermaksud merendahkan atau menolak istilah “Bapak Dewek”, namun kita harus jujur bahwa penyematan sebuah gelar informal dari rakyat haruslah tumbuh dari bawah ke atas—dari pengalaman masyarakat, dari hati yang tersentuh oleh kebijakan, dari air mata yang terhapus karena hadirnya solusi nyata dari sang pemimpin.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh pihak, khususnya para pengambil kebijakan di Kabupaten Sukabumi, untuk lebih mengedepankan substansi daripada pencitraan, lebih menanamkan keberpihakan daripada simbolisme, dan lebih mementingkan warisan nilai daripada sekadar warisan nama.

Pemimpin yang besar tidak memerlukan gelar buatan, karena panggilan cinta rakyat akan lahir sendiri dari ketulusan dan keberpihakannya.

PENDIDIKAN SEKOLAH - Menanam harapan, bukan sekadar angka kelulusan



Sekolah bukanlah pabrik yang menghasilkan produk jadi. sekolah adalah taman yang menumbuhkan manusia. di dalamnya, anak-anak belajar bukan hanya tentang angka dan huruf, tetapi tentang arti menjadi manusia seutuhnya. sebagai kepala madrasah, saya menyaksikan setiap hari bagaimana anak-anak tumbuh—dengan gelisahnya, dengan semangatnya, dengan pertanyaannya yang polos tapi bermakna.

Pendidikan sekolah, dalam pandangan saya, bukanlah proyek lima tahunan. ia adalah ikhtiar panjang yang melebihi umur pemimpin dan masa jabatan. karena itu, saya percaya bahwa arah pendidikan seharusnya tidak mudah berubah oleh dinamika politik sesaat. nilai-nilai dalam pendidikan harus dijaga dalam kebeningannya—jujur, sabar, dan berpihak pada masa depan anak-anak, bukan pada ambisi siapa pun.

Hari ini kita dihadapkan pada tantangan besar: sekolah dituntut untuk menghasilkan lulusan yang "siap kerja", tapi juga harus membentuk pribadi yang utuh, yang tahu cara menghormati orang tua, mencintai tanah air, dan berempati pada sesama.

Sekolah dituntut menghasilkan prestasi akademik, tapi juga diharapkan membina karakter yang kuat dan hati yang lembut. ini bukan pekerjaan ringan, tapi saya yakin, jika kita ikhlas dan konsisten, hasilnya akan jauh melampaui sekadar angka kelulusan.

di madrasah kami, kami mencoba merawat ruh pendidikan: menjadikan guru bukan sekadar pengajar, tapi pendamping jiwa; menjadikan kurikulum bukan sekadar silabus, tapi jembatan menuju kehidupan yang bermakna. kami sadar, gedung kami mungkin tak semegah sekolah kota, tapi kami punya harapan yang besar. kami ingin anak-anak kami tumbuh dengan jati diri, dengan akhlak, dan dengan kesadaran bahwa hidup bukan hanya soal mencari pekerjaan, tapi soal menjadi manusia yang berguna.

saya menulis ini bukan untuk mengeluh, bukan pula untuk menggurui. saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan siapa pun yang masih percaya pada pendidikan: bahwa sekolah adalah harapan. mari jaga sekolah agar tetap menjadi ruang yang merdeka, tempat anak-anak kita menemukan cahaya dalam dirinya. bukan cahaya dari sorot politik, tapi cahaya dari dalam: dari ilmu, akhlak, dan kasih sayang.