10/16/2025

Pesantren antara Tuduhan Perbudakan dan Krisis Epistemik: Sebuah Refleksi atas Kebhinekaan

Pesantren antara Tuduhan Perbudakan dan Krisis Epistemik: Sebuah Refleksi atas Kebhinekaan

Pendahuluan

Tuduhan perbudakan terhadap sistem pesantren yang mencuat dalam diskursus publik Indonesia kontemporer sesungguhnya bukan sekadar persoalan praktik pendidikan atau pola relasi santri-kiai. Persoalan ini mengakar pada dua dimensi fundamental: **krisis epistemik** dalam memahami sistem pendidikan tradisional dan **kegagalan mengimplementasikan prinsip Bhinneka Tunggal Ika** sebagai kerangka filosofis kehidupan berbangsa. Esai ini akan mengurai bagaimana kedua dimensi tersebut berperan dalam memunculkan persepsi negatif terhadap pesantren.

Krisis Epistemik: Ketika Modernitas Menjadi Satu-satunya Ukuran

Hegemoni Epistemologi Barat

Michel Foucault dalam *The Archaeology of Knowledge* menjelaskan bahwa setiap era memiliki **episteme**—sistem pengetahuan yang menentukan apa yang dianggap benar dan sah. Tuduhan perbudakan terhadap pesantren mencerminkan hegemoni epistemologi modern-Barat yang mengukur segala bentuk relasi sosial dengan standar individualistik dan transaksional.


Boaventura de Sousa Santos memperkenalkan konsep **epistemicide** (pembunuhan epistemologi) untuk menggambarkan bagaimana pengetahuan lokal dan tradisional dianggap inferior atau bahkan tidak sah. Pesantren, dengan sistem **ngabdi** (pengabdian santri kepada kiai) dan **barokah** (berkah spiritual), diukur dengan standar hubungan kerja kapitalistik modern yang mengutamakan kontrak, upah, dan jam kerja terukur.

Contoh Konkret

Ketika santri membantu kiai dalam aktivitas sehari-hari—memasak, bercocok tanam, atau membangun gedung pesantren—praktik ini dilihat sebagai "eksploitasi tenaga kerja anak" oleh perspektif modern. Padahal, dalam epistemologi pesantren, ini adalah bagian dari **ta'dib** (pendidikan karakter) dan **tarbiyah** (pembentukan kepribadian). Seperti dijelaskan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tradisi ini membentuk **etos kerja, kemandirian, dan solidaritas sosial** yang menjadi modal spiritual santri.

Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, yang didirikan KH. Hasyim Asy'ari, menerapkan sistem kerja kolektif santri dalam mengelola sawah dan peternakan. Ini bukan perbudakan, melainkan **pendidikan ekonomi berbasis komunal** yang mengajarkan kemandirian dan tanggung jawab.

Kegagalan Implementasi Bhinneka Tunggal Ika

Pluralisme Epistemologis sebagai Inti Kebhinekaan

Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar toleransi terhadap perbedaan etnis atau agama, tetapi juga **pengakuan terhadap pluralitas sistem pengetahuan** (*epistemic pluralism*). Clifford Geertz dalam penelitiannya tentang Islam di Jawa menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tradisi sinkretisme yang mengintegrasikan berbagai sistem nilai—animisme, Hindu-Buddha, Islam, dan modernitas.

Namun, narasi dominan tentang pendidikan di Indonesia pasca-Orde Baru cenderung **monolitik** dan berorientasi pada standar universal yang sesungguhnya adalah standar Barat. Ujian Nasional, kurikulum terstandar, dan pengukuran kualitas pendidikan berbasis angka adalah manifestasi dari **epistemological monoculture** yang tidak memberi ruang bagi keberagaman sistem pendidikan.

Diskriminasi Epistemologis

Yudi Latif dalam *Negara Paripurna* menjelaskan bahwa Indonesia memerlukan **state recognition** terhadap keragaman sistem pendidikan sebagai bagian dari kebhinekaan. Pesantren, yang telah berkontribusi pada pendidikan Indonesia sejak abad ke-15, justru dimarjinalkan dan dicurigai karena berbeda dari sistem sekolah formal.

Tuduhan perbudakan adalah bentuk **diskriminasiepistemologis**—ketidakmampuan atau ketidakmauan mengakui bahwa ada cara lain yang sah dalam mendidik dan membentuk manusia. Seperti dijelaskan Nurcholish Madjid, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu (**transfer of knowledge**), tetapi juga membentuk karakter (**transfer of values**) melalui **keteladanan hidup** (uswah hasanah), yang tidak bisa dicapai dengan sistem kelas formal.

Contoh Relevan

Pesantren Lirboyo di Kediri mempertahankan sistem **sorogan** (santri menghadap kiai satu per satu untuk belajar kitab kuning) dan **bandongan** (pembelajaran klasikal kitab klasik). Sistem ini dianggap "kuno" oleh standar modern, padahal menghasilkan ulama-ulama besar seperti KH. Maimun Zubair yang menguasai puluhan ribu hadis secara hafalan—sesuatu yang sulit dicapai sistem pendidikan formal.

Dialektika antara Tradisi dan Modernitas

Bukan Anti-Modernitas, tetapi Multi-Modernitas

Penting ditegaskan bahwa kritik terhadap hegemoni epistemologi modern bukan berarti menolak modernitas atau membiarkan praktik bermasalah. Dilip Parameshwar Gaonkar memperkenalkan konsep **alternative modernities**—bahwa modernitas bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, tidak harus mengikuti pola Barat.

Pesantren modern seperti **Gontor** telah menunjukkan bahwa sistem nilai pesantren bisa diintegrasikan dengan kurikulum modern, teknologi, dan manajemen organisasi tanpa kehilangan ruhnya. Demikian pula **Pesantren Daarut Tauhiid** di Bandung yang mengintegrasikan kewirausahaan dan pemberdayaan ekonomi dalam sistem pesantrennya.

Evaluasi Kritis tanpa Delegitimasi

Yang diperlukan adalah **evaluasi kritis** terhadap praktik-praktik pesantren yang mungkin bermasalah (seperti kekerasan, eksploitasi ekonomi berlebihan, atau penelantaran kesehatan santri) tanpa mendelegitimasi seluruh sistem epistemologisnya. Seperti dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, tradisi religius memerlukan **tajdid** (pembaruan) bukan **tabdil** (penggantian total).

Menuju Dialog Epistemologis

Hermeneutika Antar-Budaya

Hans-Georg Gadamer dalam teori **philosophical hermeneutics** menekankan pentingnya **fusion of horizons**—peleburan cakrawala pemahaman antara pengamat dan yang diamati. Untuk memahami pesantren, diperlukan **empati epistemologis**—kesediaan memahami sistem dari dalam (verstehen) sebelum menghakimi dari luar.


Dialog epistemologis ini memerlukan:

  1. Pengakuan negara terhadap keberagaman sistem pendidikan (constitutional recognition)R
  2. Regulasi yang akomodatif terhadap kekhususan pesantren tanpa memaksakan standarisasi berlebihan
  3. Pendampingan untuk perbaikan praktik bermasalah tanpa stigmatisasiK
  4. Kajian etnografis yang mendalam tentang dinamika internal pesantren

 Kesimpulan

Tuduhan perbudakan terhadap pesantren adalah **gejala dari krisis epistemik** yang lebih dalam dalam masyarakat Indonesia modern—ketidakmampuan menghargai keberagaman sistem pengetahuan dan pendidikan. Ini juga menunjukkan **kegagalan implementasi Bhinneka Tunggal Ika** yang sejati, yang seharusnya tidak hanya mengakui keragaman etnis dan agama, tetapi juga **pluralisme epistemologis**.

Solusinya bukan memodernisasi pesantren secara paksa atau membiarkan praktik bermasalah, melainkan membangun **dialog epistemologis** yang mengakui legitimasi sistem pendidikan tradisional sambil mendorong transformasi internal yang organik. Seperti dikatakan Mohammad Arkoun, yang diperlukan adalah **critique of Islamic reason** dari dalam, bukan penghakiman dari luar dengan standar asing.

Pesantren telah membuktikan resiliensinya selama berabad-abad dan telah melahirkan tokoh-tokoh yang berkontribusi besar bagi Indonesia. Sudah saatnya kita melihat pesantren bukan sebagai **anomali yang harus dinormalisasi**, tetapi sebagai **alternatif yang harus dihargai** dalam kerangka kebhinekaan Indonesia yang sesungguhnya.

9/01/2025

Pemuka Agama: Lentera atau Pemadam Kebakaran?

Ada keganjilan yang terasa: mengapa ketika api keresahan rakyat membara, para pemuka agama dipanggil bukan untuk menyalakan jalan terang, melainkan hanya untuk meredakan gejolak?

Suara ormas dan tokoh agama kerap terdengar bagai gema kekuasaan, bukan pantulan jeritan hati umat. Padahal, mereka yang turun ke jalan bukanlah kelompok yang berafiliasi dengan ormas, melainkan rakyat kecil yang terhimpit lapar, dihimpit beban hidup, dan ditusuk rasa ketidakadilan.

Di sinilah getirnya: ajaran agama yang seharusnya menjadi suluh dan penuntun, justru diposisikan sekadar sebagai “air penenang.” Pemuka agama berubah menjadi pemadam kebakaran, bukan cahaya yang menyulut keberanian dan harapan.

Padahal, agama sejatinya adalah energi ruhani: ia memberi arah, menyalakan cinta, menegakkan keadilan. Ulama bukan hanya pelengkap legitimasi, tetapi seharusnya penyambung lidah umat—menyampaikan keresahan mereka tentang PHK yang merajalela, biaya hidup yang mencekik, arogansi kuasa, korupsi yang menggurita, serta jarak yang makin jauh dari keadilan.

Seruan “NKRI Harga Mati” pun sering digaungkan. Namun maknanya bukanlah jargon kosong. Membela tanah air berarti menjaga kehidupan rakyatnya—perutnya, suaranya, dan masa depannya. Bila amanat tergadai, ulama yang sejati semestinya berani mengingatkan, bukan sekadar menenangkan.

Yang ditunggu umat bukanlah khutbah pereda luka, tetapi seruan yang menyingkap akar derita. Yang mereka rindukan bukan sekadar doa yang mengalirkan air mata, melainkan hikmah yang menyalakan kesadaran.

Imam al-Ghazali telah mengingatkan dengan jernih:

‎وَبِالْجُمْلَةِ، إِنَّمَا فَسَدَتِ الرَّعِيَّةُ بِفَسَادِ الْمُلُوكِ، وَفَسَادُ الْمُلُوكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ، فَلَوْلَا الْقُضَاةُ السُّوءُ وَالْعُلَمَاءُ السُّوءُ لَقَلَّ فَسَادُ الْمُلُوكِ خَوْفًا مِّنْ إِنْكَارِهِمْ.

“Kerusakan rakyat bersumber dari rusaknya penguasa. Penguasa rusak karena rusaknya ulama. Seandainya tiada hakim dan ulama yang buruk, niscaya kerusakan penguasa berkurang, sebab mereka takut terhadap teguran ulama.”

Maka, bila agama hanya hadir untuk meredam, umat akan merasa kehilangan pelita. Tetapi bila agama hadir untuk menegakkan kebenaran, meski pahit, maka ulama menjadi lentera yang tetap menyala di tengah gulita zaman.


8/22/2025

PIDATO GUBERNUR JAWA BARAT KDM PADA RAPAT PARIPURNA DPRD PROVINSI JAWA BARAT HARI JADI JAWA BARAT KE 80 TAHUN

Saya menyampaikan permohonan maaf karena dana rutinnya terus saya potong, saya alihkan untuk pembangunan jalan dan sekolah. Mungkin kita bertanya, kenapa kita memulai pembangunan dengan menceritakan akar kebudayaan? Saya menyampaikan, tidak ada satuun bangsa di dunia ini yang mencapai kemajuan dalam pembangunan peradaban bangsanya, kecuali yang terikat pada konstitusi bangsanya. Konstitusi di negara-negara maju itu adalah konstitusi yang mempertahankan nilai tradisi yang terjadi pada masanya dan itu terejawantahkan dalam bentuk konstitusi.

Inggris bangunannya tetap masa lalu. Amerika bangunannya tetap masa lalu. Indonesia punya bangunan bangunan masa lalu adalah hanya dua. Satu cerita sejarah yang kedua adalah peninggalan kolonial. Pembangunan bukan rangkaian teknokratik yang hanya didasarkan pada pikiran-pikiran akademik. Pembangunan bukan kalimat kalimat fakta yang ditulis dalam buku-buku peraturan daerah tentang anggaran belanja pembangunan daerah.

Pembangunan adalah ritme sejati tentang keselarasan manusia dengan alamnya. Keselarasan manusia dengan tanah, air, udara, dan mataharinya adalah ritme indah yang di mana kita diberikan alam yang indah bernama tanah Jawa Barat, tanah Sunda. Punya gunung yang nunga jentul, punya air yang mengalir, punya sawah yang terhampar, punya lautan dan samudra yang sangat luas.

Seluruh tata nilai itu ada dalam naskah siksa kandang karesian yang menceritakan tentang tata ruang yang disebut dengan gunung kudu awian, lengkob kudu balongan, lebak kudu sawahan yang disebut dengan tritang tu dibuana. Sanghang siksa kandang menceritakan tentang sipil society yaitu trias politika Rama resi, dan Prabu. 

Seluruh nilai-nilai itu kita tinggalkan seolah kita akan menggapai masa depan. Seolah kita adalah kaum akademik yang tidak perlu catatan masa lalu. Seolah kita akan pergi ke depan dengan hanya menggunakan buku kesempatan kita yang kita bangun dalam narasi-narasi politik. Tetapi kita lupa ternyata 80 tahun Jawa Barat terbangun, ternyata seluruh rangkaian itu tidak menjadi fakta. Kenapa? Kemiskinan masih menganga jalan hancur di mana-mana. Hari ini kita punya derita. Seorang anak bernama berumur 3 tahun, berasal dari Kabupaten Sukabumi pada sebuah kampung terpencil. Ibunya ODGJ. Bapaknya mengalami TBC. Anak itu tiap hari dikolong. Dia meninggal di rumah sakit dalam keadaan seluruh cacing-cacing keluar dari mulut dan hidungnya. Betapa kita gagap dan betapa kita lalai. Kenapa? Perangkat birokrasi yang tersusun sampai tingkat RT ternyata tidak bisa membangun Epanti. Kenapa? Manusia tidak terbangun dalam nalar dan rasa.

Semua orang bicara anggaran, semua orang bicara keuangan. Dia lupa bahwa di balik anggaran ada rasa dan cinta yang bisa mengadakan yang ada, mentiadakan yang tiada. Kerangka itu adalah koreksi diri. Dan saya memutuskan terhadap desa itu memberikan hukuman. Saya tunda bantuan desanya karena desanya tidak mampu ngurus warganya. 

Kerangka ini harus dibangun. Kenapa? Kita bertugas mengemban amanah. Titah dari Allah. Seluruh titah dari Allah harus kita pahami apa yang di kita lihat dalam rangkaian peristiwa alam. Maka cerita Jawa Barat yang dulu bersama Banten pasti dimulai dari dari Taruma negara.

Taruman negara menceritakan tentang apa? Taruma negara menceritakan tentang kepemimpinan yang mengelola air, kepemimpinan yang mampu mengelola sumber daya sungai yang mengelilingi daerah Bekasi yang diawali dari Bogor. Maka Taruma Negara menceritakan tentang peradaban air di mana kepemimpinan mampu menguasai hulu sungai dan daerah airan air serta muara yang pada akhirnya bisa menguasai lautan utara. 

Cerita itu bukan cerita mistik. Tetapi cerita fakta bahwa bangunlah peradaban Jawa Barat dengan apa? Melakukan normalisasi sungai di kali-kali Bekasi, di kali-kali Bogor. Karena itu adalah bentuk peradaban. Dan hari ini tata ruangnya berubah. Di mana sungai-sungai berubah peruntukannya, di mana sawah-sawah berubah peruntukannya. Pemukiman menghampar menghampar di Kabupaten Bekasi, di kota Bekasi dan Karawang. Banjir dalam setiap waktu. Kemiskinan tidak terselesaikan. Perbedaan kayak yang miskin terus menganga. Kenapa? Salah dalam melakukan tata ruang. 

Litbang Kompas mengatakan salah satu titik kelemahan dari kepuasan 85% adalah dua hal. Pertama adalah ekonomi. Yang kedua adalah lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan terjadi berebutannya di daerah industri. Kenapa itu terjadi? Karena kita lupa membangun konektivitas antara pendidikan dan lingkungan, pendidikan dan industri, antara dunia IT dengan keadaan masyarakat. Apa yang menjadi kelemahan masyarakat Jawa Barat? Matematika dasarnya lemah sehingga ketika seleksi mereka kalah. 

Kerangkah itu maka bergeser, orang bercerita tentang galuh. Cerita tentang galuh bercerita tentang apa? bercerita tentang bagaimana sebuah Tatar Selatan dibangun dalam kekuatan empati publik di mana ada heroisme pengorbanan seorang manusia demi kemanusiaan, demi keadilan yang pada akhirnya Galuh menceritakan tentang apa? Persenyawaan antara utara dan selatan, persenyawaan antara budaya pegunungan dengan budaya pesisir dan kemudian ada kesadaran kolektif tentang pakuan, Pajajaran. Kemudian di situ bicara tentang apa? Tentang budaya menulis di atas batu. Budaya menulis di atas batu mencerminkan apa? Dalam naskah Sanghiyang siksa kandang mengatakan rama itu perumpamaannya seperti tanah. Resi, seperti air, prabu itu seperti batu. 

Maka gurat rama adalah sipil society, keluarga yang harmonis adalah gurat tanah. Kepemilikan hak atas tanah adalah kekuatan sendi yang utama bagi sebuah masyarakat sipil society. Gemah ripah, repeh rapi. Tidak mungkin sipil society itu menguasai sebuah wilayah dan dia tidak memiliki hak pemukiman. Maka kebijakan berikutnya adalah hak kepemilikan atas tanah yang melahirkan. hak kepemilikan, pemukiman yang layak itu harus menjadi sendi utama. Di situlah rama.

Resi lambang dari guru, guru, dosen. Maka dia punya karakternya air. Dia jernih, dia menenangkan, kemudian dia mensucikan. Seluruh rangkaian itu ada dalam piranti-piranti independensi pendidikan. Independensi yang harus dibangun. Di mana guru tidak boleh berpihak pada apapun. Maka guru berpihak pada satu kebenaran yang objektif. 

Kemudian Prabu, maka dia Prabu itu adalah gurat batu. Maka dia menulis dalam batu meskipun menulisnya sulit, meskipun banyak tantangan yang dihadapi, meskipun ada gelombang penentangan yang berlangsung, tetapi seorang prabu harus punya keyakinan bahwa yang dia tuliskan adalah bukan untuk dirinya, yang dituliskan bukan untuk popularity-nya, yang dia tuliskan bukan untuk electability-nya, yang dia tuliskan adalah cerita catatan masa depan di mana kepemimpinannya menjadi legasi bagi pewarisan kepemimpinan ke depan lahir orang yang tercerdaskan lewat tulisan itu. Maka itu ada dalam cerita Galuh Pakuwan. 

Kemudian kita akhirnya memasuki sebuah era di mana Kecirebonan menebarkan sebuah nilai baru. Nilai menyempurnakan tradisinya orang Jawa Barat yang memiliki spirit silih asah, silih asih, silih asuh. Nu jauh urang deketkeun, geus deukut urang layeutkeun, geus layeut urang paheutkeun, geus paheut silih wangikeun. sebuah nilai yang terbangun dalam harmoni tatar Sunda, tetapi ada nilai syari yang harus disempurnakan. Maka cipta rasa, sirna rasa menyempurnakan rasa yang dimiliki oleh orang Sunda yang terdiri dari entitas-entitas yang hari ini memiliki keragaman dalam kebudayaan. Karena rasa, maka rasalah sebagai sendi utama untuk mengayuh pembangunan yang melahirkan gelombang kepemimpinan Sumedang Larang, Subang Larang.

Selajutnya memasuki pada sebuah era POC, kemudian kita memasuki era kemerdekaan, maka sintesanya adalah pembangunan tidak bisa didasarkan hanya pada pikiran teknokratik. Dalam bahasa kebudayaan, pembangunan tidak hanya mengandalkan saringseknya ikat, tapi pembangunan harus dibangun dalam kekuatan kancing. Caringcingnya kancing. Apa itu? Pembangunan. Bukan hanya mengandalkan intelektualision, tetapi pembangunan harus dibangun dalam piranti emosional kuision dan spiritual quision. 

Seluruh nilai-nilai itu adalah sistem nilai pendidikan yang diajarkan dalam ajaran panca waluya. Maka manusia Sunda itu adalah manusia yang harus cageur, bageur, beneur, pinter, singer. Maka Pancawaluya harus dibangun dalam sebuah gerbang. Maka hari ini pemerintah provinsi Jawa Barat mengedepankan sebelum masuk ke Pancaaluya maka kita harus masuk ke wilayah gerbang Pancaaluya. Maka gerbang itu bertujuan mengantarkan sebuah nilai ajaran yang pada akhirnya manusia Sunda, manusia Jawa Barat itu apa? Kaluhur sirungan, kehendap akaran. 

Kerangka inilah pijakan pembangunan yang kita tata. Pembangunan harus mampu melahirkan sirung, yaitu tumbuhnya benih-benih baru, tumbuhnya bunga baru, tumbuhnya buah baru melahirkan metamorfosis ke depan. Itu yang disebut dengan kiwari bihari jeung poe isuk. Maka sains adalah pendekatan. Maka teknokratik adalah pendekatan. Maka teknologi adalah pendekatan. Tetapi seluruh pendekatan itu akan mengalami perubahan dalam setiap waktu. Maka orang Sunda mengatakan harus mi indung ka waktu, mi bapa ka zaman. Pindah cai, pindah tampian.

Kerangka ini tidak bisa berjalan kalau apa? Kalau kehandap teakaran. Karena kahandap harus akaran, maka pembangunan kita harus menginjak bumi. Tidak penting dipuji orang, tidak penting bagus dalam tayangan, tidak penting reka-reka gambar dibuat-buat di media sosial. Tidak penting. Yang harus kita ceritakan adalah fakta yang sebenarnya. bukan pembangunan kamungflatif. Kalau pendidikan dasar di kita masih bermasalah, katakan bermasalah. Kalau masih ada anak SMP yang tidak bisa baca tulis, katakan itu terjadi. Kalau ada kematian ibu yang melahirkan, kematian anak, katakan itu terjadi. Kalau masih Hiv-nya meningkat, katakan itu terjadi. Untuk apa? agar kita bisa meraih sintesa. Maka seiring dengan perkembangan media sosial di mana rakyat Jawa Barat hari ini mengenal TikTok, hari ini kita bisa melihat fakta. Setiap hari rakyat bercerita apa? Bercerita tentang air bersih yang sulit didapatkan. Bercerita tentang apa? Gedung-gedung sekolah yang mau roboh tanpa toilet. Bercerita tentang apa? Jalan-jalan pemukiman yang rusak, jembatan-jembatan yang mau roboh, anak-anak menyeberang sungai Citarum menggunakan rakit. Anak-anak bergelantungan di kawat-kawat pengikat di Garut dan di Sukabumi hanya untuk sekolah. Itu cerita fakta kita. Dan seluruh fakta itu lahir lewat apa? kesadaran publik warga untuk menceritakan apa yang terjadi di tanah Jawa Barat ini.

Untuk itu, demokrasi yang dibuka, media sosial yang terbuka harus melahirkan apa? Harus melahirkan pemimpin yang peka. Harus melahirkan apa? Birokrat yang dia sidik sakti indra waspada. Apa itu? harus melahirkan birokrat pancampurna. Ceulina ngadangu, irungna ngangse, panona awas, letahna ngucap, hatena ikhlas. Maka konektivitas para birokrat untuk melihat perkembangan yang terjadi di jagat media sosial adalah kepekaan untuk membaca situasi. 

Para kepala desa harus membuka ruang rumahnya untuk dikunjungi warga dalam setiap waktu. Tidak bisa. Warga harus datang dari ujung Garut, ujung Sukabumi, ujung Cirebon, terus-terusan ke Lembur Pakuan, mereka terlalu jauh untuk berjalan. Para camat juga harus membuka diri, membuka ruangnya, terkoneksi dengan para bupatinya yang harus handphone-nya menyala, terkoneksi dengan gubernurnya. Maka kita bisa berjalan seiring dan sejalan. Sarendek, saigel, sabobot, sapihane ka cai jadi salewi, ka darat jadi salogak. Kalimat sa itulah kalimat jamak menjadi tunggal. Jamak artinya apa? Kita ada ragam, ada ragam partai politik, kita ada ragam daerah, kita ada ragam kepentingan, ada ragam baju. Tetapi seluruh keragaman itu manakala didorong oleh kebeningan hati, maka akan lahir kemanunggalan, yaitu kalimat sa, kalimat yang mempertautkan, kalimat yang mempersatukan, kalimat yang menyatukan yang tanpa jeda bahwa di antara kita yang bekerja baik legislatif, eksekutif, yudikatif, dari mulai gubernur, para ketua DPRD, para wakil ketua, para anggota, dan seluruh sampai pada tingkat RT, RW, Bupati, Walikota, Lurah, camat, Kepala Desa, kuwuk, ada yang menyatukan yaitu kalimat illah. Lailahaillallah. 

Kalimat Ilah itu adalah kalimat keikhlasan. Bahwa kita bekerja bukan untuk partai, kita bekerja bukan untuk dipilih kembali. Kita bekerja untuk apa? Sebuah pengabdian. bahwa kita mengabdi pada tetar Sunda, pada tetar Jawa Barat untuk menghilangkan kemiskinan, menghilangkan kebodohan, mengangkat derajat orang-orang miskin dan anak-anak yatim yang didengungkan oleh Rasulullah sebagai sendi utama untuk membangun kemakmuran bagi warganya.

Inilah kerangka pijak inilah yang harus dibangun di antara kita. Kita membangun bukan untuk 5 tahun. Kita membangun bukan untuk 10 tahun. Kita membangun bukan untuk kita. Kita membangun untuk masa depan anak cucu kita. Kita dititipi gedung merdeka ini. Hasil karya kolonial. Kita berada digedung sate. Hasil karya kolonial. Pertanyaannya adalah apa yang kita titipkan bagi generasi Jawa Barat ke depan kalau kita tidak punya nilai-nilai filosofi yang besar dan mendasar.

Untuk itu semoga pembangunan di Jawa Barat, lembur diurus kota ditata adalah rangkaian lagu yang tidak pernah berakhir dalam irama angin, irama air, irama matahari, dan kemudian pada akhirnya bisa memaknai simbol-simbol peradaban yang seringkali orang mengatakan kemusyrikan. Simbol peradabannya apa? Orang Cina mengenal yin dan yan. maskulin dan feminin sebagai bentuk peradaban dia mensimbolkan filosofi tentang manusia. 

Orang Sunda itu punya tiga simbolisasi. Yang pertama, kalau laut selatan itu mengambil filosofi kebudayaan Jawa, maka dilambangkan dalam simbol putri yang cantik bernama Nyi Ratu. itu cermin bahwa laut kalau diurus maka dia akan menjadi putri yang sangat cantik. Harus dijaga kehormatannya tidak boleh diambil terumbuk karangnya tidak boleh lagi ada berbagai aktivitas yang merusak ke lautan.

Kemudian yang kedua, simbol dari gunung dan hutan. Maka orang Sunda mengatakan itu adalah Abah, Eyang, Uyut, Siliwangi, Maung, Panjajaran. Dia adalah lambang kehormatan Gunung, maka seluruh kehormatannya dijaga dalam simbolnya. Kenapa? Karena kemuliaan, ketentraman, dan kenyamanan rakyat Sunda tergantung gunungnya. Kalau gunung dijaga kehormatannya, maka kita terbebas dari kemiskinan dan terbebas dari bencana. 

Yang ketiga adalah simbol dari tanah. Maka disebutlah Sunan Ambu, lambang dari seorang ibu yang harus dihargai dan dihormati. Maka perlakukanlah tanah yang kita pijak ini seperti kita memerlakukan ibu kita. Sunan Ambu dalam kaidah Sunda, dalam kaidah Nusantara yang diajarkan oleh Bung Karno disebutnya adalah Ibu Pertiwi. Kalau hari ini pengelolaan tanah kita rusak, kalau hari ini tanah tidak pernah kita hormati untuk menerima air, kalau hari ini tanah menjadi rebutan hanya untuk menumpuk kekayaan, sesungguhnya kita adalah orang yang durhaka pada ibu kita.

Untuk itu saya meyakini perjalanan 6 bulan saya memimpin dengan Kang Erwan adalah perjalanan yang baru meletakkan kerangka dasar. Apa yang kami raih dalam 6 bulan bukan hasil kami, tapi hasil seluruh masyarakat Jawa Barat. hasil pimpinan dan anggota DPRD dari mulai provinsi sampai kabupaten kota hasil dari seluruh jajaran para bupati walikota sampai para ketua RT dan RW-nya. Mari kita bersama membangun Jawa Barat. Pahuyekuk-heyuk leungeun, paantai-antai tangun. Sareundeuk, saigel, sapubut, sapihanean. Kacai jadi salewi, darak jadi salogak.

SAMBUTAN KEPALA MADRASAH ALIYAH NUURUL IKHWAN

 

SAMBUTAN KEPALA MADRASAH ALIYAH NUURUL IKHWAN

Dalam Acara Silaturahmi & Rapat Awal Tahun Pelajaran 2025/2026

Oleh : Asep Zaenul Falah 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, nikmat Islam, dan nikmat kesehatan, sehingga pada hari ini kita semua dapat berkumpul dalam keadaan sehat walafiat dalam rangka silaturahmi dan rapat awal tahun Madrasah Aliyah Nuurul Ikhwan.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, suri teladan sepanjang zaman, yang telah membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman penuh cahaya iman.

Yang saya hormati, Bapak/Ibu wali siswa, para dewan guru, komite madrasah, serta seluruh hadirin yang dimuliakan Allah.

Bapak/Ibu yang saya muliakan,

Pertemuan hari ini bukan sekadar formalitas rapat awal tahun. Lebih dari itu, ini adalah momentum untuk menyatukan visi, menyatukan hati, dan menguatkan langkah kita bersama dalam mendidik generasi muda—anak-anak kita tercinta di Madrasah Aliyah Nuurul Ikhwan.

Madrasah ini bukan sekadar gedung. Madrasah adalah rumah kedua bagi anak-anak kita, tempat mereka tumbuh bukan hanya dengan pengetahuan, tetapi juga dengan akhlak. Gedung boleh sederhana, jumlah siswa boleh terbatas, tetapi nilai perjuangan, cita-cita, dan keikhlasan kita jauh lebih besar daripada keterbatasan itu sendiri.

Sebab madrasah Adalah Amanah yang memiliki akar Sejarah yang Panjang, ia hadir sebagai bentuk modernisasi dari pesatren yang diletakkan oleh para ulama, untuk menjawab tantangan jaman yang hari ini sangat begitu komplek. Maka konsep “almuhafadzotu ala qodimissholeh wal ahdzu bil jadidil aslah” mempertahankan tradisi lama yang baik dan menerima Kejuan yang baik agar lebih adaftip atau orang tua kita dulu menyembutnya “ngindung ka waktu, mibapa ka zaman, ka cai jadi salewi, ka darat jadi salogak, pindah cai pindah tampian”.

Bapak/Ibu yang saya cintai,

Kita hidup di zaman penuh tantangan. Arus globalisasi, teknologi, budaya luar, bahkan perilaku konsumtif dan individualistik semakin deras masuk ke dalam kehidupan kita. Anak-anak kita berhadapan dengan dunia digital yang kadang lebih keras daripada dunia nyata.

Di sinilah peran madrasah sangat penting. Tugas kita bukan sekadar mengajar matematika, fisika, atau bahasa inggris dll, tetapi menanamkan karakter, menjaga fitrah, dan membentuk jiwa yang kuat dalam menghadapi tantangan zaman.

Kita ingin anak-anak MA Nuurul Ikhwan menjadi generasi yang:

1.     Cerdas intelektual – mampu bersaing dengan siapa pun.

2.     Cerdas emosional – memiliki empati, hormat pada orang tua, guru, dan sesama.

3.     Cerdas spiritual – dekat dengan Allah, rajin ibadah, berakhlak mulia.

4.    Berakar pada nilai nilai dari kearifan Masyarakat sunda -  karena kearifan lokal adalah kekuatan kita dalam menghadapi gempuran globalisasi. Yakni “silih asih, silih asuh, silih asah, silih wangingan, Nulung kanu butuh, nalang kanu susah, nganteur kanu sieun, yaangan kanu poek, mere iteuk kanu leueur. Deudeuhan, welasan, nyaahan tur asihan 

Saya sering mengatakan: “Gedung boleh sederhana, fasilitas boleh terbatas, tetapi semangat kita harus mewah, harus besar, harus tak terbatas.”

Bapak/Ibu yang saya hormati,

Saya selalu sampaikan pada guru rekan rekan guru pada diskusi diskusi ringan bahwa pendidikan bukan sekadar urusan sekolah, tetapi urusan peradaban, urusan moralitas, urusan akhlak dsb

Pendidikan itu bukan hanya mencetak ijazah, tetapi mencetak manusia yang siap mengabdi untuk umat, bangsa, dan agama. Sehingga pada akhirnya Anak-anak kita bukan hanya harus pintar, tetapi harus benar. Bukan hanya sukses secara duniawi, tetapi juga selamat secara ukhrawi.”

Maka dari itu gerbang Pendidikan panca waluya  membentuk siswa yang cager, bager, benar, pintar, tur singer” menjadi salah satu Upaya ikhtiar kami yang diletakkan sebagai krangka dasar untuk senantiasa diperjuangkan dalam membentuk siswa siswa - siswi di MA Nuurul Ikhwan

Bayangkan jika anak-anak kita nanti menjadi dokter, insinyur, politisi, pengusaha, tetapi tidak punya akhlak—maka lahirlah generasi yang pintar merusak, pintar menipu, pintar mengkhianati bangsa. Na’udzubillah.

Tapi jika anak-anak kita berilmu dan berakhlak, maka sekecil apa pun profesinya, ia akan membawa manfaat. Tukang sayur yang jujur lebih mulia daripada pejabat yang korup. Petani yang ikhlas lebih berkah daripada pengusaha yang serakah.

Bapak/Ibu yang wali siswa MA Nuurul Ikhwan saya muliakan,

Saya ingin menegaskan bahwa pada akhirnya pendidikan anak tidak bisa diserahkan hanya kepada madrasah. Guru hanya bisa memberikan 30-40% kontribusi. Sisanya ada pada keluarga, lingkungan, dan masyarakat.

Oleh karena itu, kita harus bergandengan tangan, bahu membahu, berkolabirasi bahwa:

  • Guru mendidik dengan ilmu dan kasih sayang.
  • Orang tua mendidik dengan doa, teladan, dan pengawasan.
  • Madrasah memfasilitasi pembelajaran dengan penuh ikhlas.

Kalau kita Bersatu, berkolaborasi, saling mengingatkan antara satu sama lain, insyaAllah anak-anak kita akan tumbuh menjadi generasi baik, generasi emas, generasi yang sama sama kita harapkan  walau dari sekolah yang terpencil di sebuah kampung ini. Karena bukan kota besar yang menentukan kualitas anak, tetapi kesungguhan dan doa orang tua yang mendidiknya.

Bapak/Ibu yang wali siswa MA Nuurul Ikhwan saya muliakan,

Mari kita jadikan tahun ajaran ini sebagai awal perjuangan yang lebih kuat. Mari kita tanamkan pada diri kita bahwa anak-anak kita adalah amanah Allah, yang kelak akan menjadi penolong kita di dunia dan akhirat.

Saya berdoa semoga semua orang tua diberi kesabaran, para guru diberi keikhlasan, dan anak-anak kita diberi kecerdasan serta keberkahan hidup.

Akhirnya, dengan penuh kerendahan hati saya ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu. Semoga Allah meridai pertemuan kita hari ini.

 

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

8/17/2025

TEKS PIDATO KANG DEDI GUBERNUR JAWA BARAT PADA Upacara HUT RI di Bandung Pemprov Jabar - Mau Bikin Perubahan Radikal

Pada pagi hari ini kita bersama-sama melakukan renungan dan evaluasi diri melalui memahami hikmah secara mendalam tentang makna kemerdekaan Republik Indonesia yang hari ini memasuki tahun yang ke-80. Seluruh jajaran peserta upacara dari seluruh korap TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, kepolisian, dan juga ada barisan pasukan yang baru selesai mengikuti pendidikan pancawaluya di Korep Marinir Cilandak, Jakarta yang berbaris dengan rapi memperlihatkan kesetiaan dan menunjukkan pada semua bahwa aku adalah anak Indonesia. Kalau diberi kesempatan, kalau diberi pendidikan, aku setara dengan yang lain. 

Kemerdekaan adalah membebaskan. Membebaskan yang diinginkan adalah ada empat hal yang menjadi komponen pembebasan kita. Kita harus terbebas atas hak atas kepemilikan tanah kita. Kita harus terbebas untuk menghirup udara yang bersih dalam setiap hari. Kita harus terbebas untuk menikmati matahari dalam setiap waktu. Kita harus terbebas dalam kehidupan untuk menikmati air yang merdeka menjadi kekayaan alam yang bisa dinikmati untuk semua tanpa harus berbiaya. Seluruh kemerdekaan itu ada dalam pikiran dan rencana para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Ada dalam pikiran dan gagasannya Bung Karno dan Bung Hatta. Ada dalam gagasan pikirannya Supomo. Ada dalam gagasan pikirannya Sahrir. Dan ada dalam gigisan pikiran seluruh para pendiri bangsa Indonesia.

Seluruh para pendiri bangsa mencita-citakan bahwa kita suatu saat akan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bahwa kita akan menjadi bangsa yang berdiri di depan terdepan dalam sejarah kebangsaan kita, dalam percaturan dunia. Manakala kita sudah mampu memerdekakan rakyat kita, memajukan rakyat kita, mencerdaskan kehidupan rakyat kita, memajukan kesejahteraan umum kita, maka pondasi yang harus dibangun oleh seluruh stakeholder, jajaran pemerintahan yang tertata di Provinsi Jawa Barat sampai tingkat desa, RT dan RW mengembalikan kembali pesan sejarah kita bahwa bangsa kita harus memiliki hak atas kepemilikan tanah. bahwa bangsa kita harus mendapatkan air yang bersih, bahwa bangsa kita harus menikmati udara yang bersih, bahwa bangsa kita harus bisa menikmati dalam matahari dalam setiap waktu.

Karena itulah spirit berdirinya sebuah bangsa dan itulah prasyarat kedaulatan sebuah bangsa. Relung keadilan itu harus dibangun dalam sistematika berpikir strategik yang dinamakan pembangunan. Maka pembangunan harus diarahkan secara paripurna untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Saya tekankan sekali lagi bahwa pembangunan harus diarahkan secara paripurna untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Maka kepentingan rakyat yang mendasar adalah kepentingan rakyat untuk mendapat pendidikan yang memadai dari pendidikan SD sampai perguruan tinggi tanpa membedakan si kaya dan si miskin. Maka pendidikan melahirkan kesetaraan. Pendidikan bukan melahirkan eklusivisme, tetapi pendidikan memberikan kesetaraan. Yang kaya, yang miskin, penyandang distabilitas, semuanya setara di mata negara, semuanya setara dalam pendidikan. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dari negara.

Maka pembangunan pendidikan dari mulai pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi adalah sebuah keharusan negara. Maka pemerintah provinsi Jawa Barat berkomitmen untuk mengembalikan kembali anggaran untuk kepentingan pendidikan rakyat, baik kepentingan pendidikan formal maupun pendidikan informal. Tetapi pendidikan juga jangan hanya dipahami oleh bangunan sekolah. Pendidikan jangan hanya dipahami oleh jumlah guru. Pendidikan harus dipahami dalam pembentukan karakter manusia yang disebut dengan manusia Indonesia seutuhnya.

Maka manusia Indonesia seutuhnya dalam kaidah Sunda disebutnya rawayan jati dalam atmosfer pendidikan dasar kita yang diajarkan oleh leluhur kita. Manusia pendidikan adalah manusia yang berpijak pada nilai – nilai lehur kita yakni “ kaluhur kudu sirungan kahandap kudu Akaran”. 

Kaluhur sirungan artinya dia memiliki ide-ide dasar tentang kehidupan. Dia memiliki pemahaman ketuhanan yang saya sangat sempurna. Mereka memiliki teologis yang melahirkan implikasi pembentukan karakter manusia yang dalam kaidah Sunda disebutnya “manusia yang cager, bager, benar, pintar, singer” Maka disebutlah panca waluya.

Maka panca waluya harus dibangun melalui gerbang atau pintu. Maka pintu harus dibangun dalam berbentuk kegiatan teknis. Baik diatur dalam undang-undang, diatur dalam peraturan pemerintah, diatur dengan Kepres, diatur dengan surat keputusan menteri, peraturan menteri, peraturan daerah, peraturan gubernur, surat keputusan gubernur, surat edaran sampai pada tingkat kabupaten kota, maka seluruh pendidikan dasarnya harus diarahkan pada arah yang sama. bahwa anak-anak Jawa Barat adalah anak-anak yang cager.

Kemudian jika ingin anak-anak yang cagur, maka konsumsi material makanan anak-anak kita harus bergiji, harus bernutrisi, harus mendapatkan air yang bersih dalam setiap waktu agar lahir masyarakat cager. Guru harus mengontrol apa yang dikonsumsi oleh anak-anak kita. Orang tua harus bisa mengendalikan apa yang dikonsumsi anak-anak kita. Dari itulah karakter bangsa akan mulai terbangun. 

Jika melihat reliatas Perspektif hari ini adalah anak-anak Jawa Barat mendapat konsumsi gula yang berlebihan, mendapat konsumsi kadar minyak yang berlebihan, bahkan kadar minyaknya sudah melampaui batas. Anak-anak Jawa Barat tidak mengkonsumsi air yang bersih, maka pendidikan kita akan terbentuk karakter cager manakala kita mampu menyiapkan seluruh piranti dasar itu.

Yang kedua, kalimat bageur terbentuk oleh sebuah manusia yang memiliki ketaatan. Ketaatan pada siapa? Satu, ketaatan pada Tuhan. Dua, ketaatan pada orang tua. Yang ketiga, ketaatan pada lingkungan masyarakat. Yang keempat, yang paling utama adalah ketaatan manusia pada Tuhan. Dimaknai oleh manusia memiliki ketaatan dan penghormatan kepada tanah, air, udara, dan matahari sebagai esensi dari nasionalisme.

Maka dari itu dilahirkanlah gerakan pemerintah harus mengembalikan kembali tata ruang secara benar. Gunung harus berfungsi sebagai gunung. Air harus berfungsi sebagai air. Sungai harus berfungsi sebagai sungai. Danau harus berfungsi sebagai danau. Muara harus berfungsi sebagai muara. Laut harus berfungsi sebagai laut. Proporsional itu harus dikembangkan dalam sebuah tata ruang yang memadai, tata bangunan yang memadai, tata lingkungan yang memadai. Maka pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat secara tegas akan melakukan perubahan yang radikal terhadap berbagai bentuk penyimpangan lingkungan yang bertentangan dengan sendi-sendi kemerdekaan, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan, yang bertentangan dengan kedaulatan, yang bertentangan dengan keadilan sosial. Untuk itu rasa adil harus tercipta bagi siapapun, baik yang besar maupun yang kecil, tua dan muda, laki-laki dan perempuan memiliki keadiran yang sama tanpa membedakan gender dan unsur-unsur lainnya yang bersifat strata sosial. Maka inilah cita-cita kebangsaan.

Kemudian yang ketiga, benar. Benar artinya dipahami sebagai sikap transparan dan terbuka. di mana pemimpin yang benar adalah pemimpin yang terbuka terhadap apa yang dilakukan, benar, transparan dalam pengelolaan anggaran, benar dalam perencanaan, benar dalam pelaksanaan, benar dalam evaluasi. Maka pembangunan dipahami bukan hanya sebagai output, tetapi juga outcome, benefit bagi kepentingan rakyat. Maka rencana pembangunan harus diarahkan. Apakah sebuah kegiatan ini memiliki makna bagi stimulus ekonomi? memiliki makna bagi keadilan, memiliki makna bagi perubahan, maka komponen itu tidak boleh menjadi komponen aksesoris yang harus terbuka di mana masyarakat bisa mengaksesnya langsung terhadap pemerintah. Kerangka berpikir material digital adalah bukan kerangka aksesoris, tetapi kerangka transparansi di era digital yang harus dilakukan oleh kita bersama.

Kemudian yang ketiga, Pintar adalah sebuah kerangka manusia yang melahirkan watak bahwa dia memiliki kecermatan intelektual, maka dia memiliki kemampuan membaca, dia memiliki kemampuan menulis dengan baik. Maka kita harus melakukan evaluasi otok kritik terhadap problem yang terjadi di Jawa Barat. Kalau ada anak SMP yang tidak berhitung, kalau ada anak SMP yang tidak bisa membaca, kalau ada anak SMA yang tidak ngerti matematika dasar, mereka nanti tergopoh-gopoh ketika memasuki dunia industri. Mereka tergopoh-gopoh ketika memasuki dunia pekerjaan. Mereka memiliki ketahanan fisik yang lemah ketika memasuki TNI For. Maka ini adalah piranti harus segera dibenahi. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang berani melakukan evaluasi terhadap seluruh kekurangan-kekurangan yang dimiliki. 

Yang kelima adalah singer. Singer artinya manusia yang mau bangun pagi. Singer artinya manusia yang mau berlari cepat. Singer artinya manusia yang mau berjalan lebih cepat dari orang lain. Kelemahan bangsa kita adalah kelemahan warga Jawa Barat. Dia pintar tapi dia pemalas. Dia pintar tetapi dia lemah. Dia pintar tapi dia tidak mau berkompetisi. Maka cager bager, benar, singer, pintter adalah sebuah krangka berfikir tentang kesempurnaan manusia. Maka manusia itu disebutlah manusia Indonesia seutuhnya. 

Maka pada pagi hari ini atas nama Pemerintah Provinsi Jawa Barat saya menyampaikan permohonan maaf pada seluruh masyarakat Jawa Barat apabila masih ada anak Jawa Barat yang tidak bersekolah SD. Masih banyak anak Jawa Barat yang tidak bisa meneruskan SMP karena tidak punya seragam. Masih banyak anak Jawa Barat yang berhenti sekolah karena ketidakmampuan biaya. 

Maka dari itu, itu adalah dosa besar yang kita pikul bersama. Seluruhnya harus terevaluasi dengan baik. Tidak boleh peristiwa itu terjadi lagi. Karena tidak boleh peristiwa itu terjadi lagi, maka kita harus berani melakukan koreksi. Selain itu, saya juga menyampaikan permohonan maaf karena masih banyak rakyat kita yang pulang dari rumah sakit secara paksa karena BPJS-nya tidak meng-cover. Masih banyak rakyat kita yang mau masuk rumah sakit, BPJS perorangannya mati tidak terbayarkan sehingga mereka mengalami penderitaan dan mungkin mereka meninggal tanpa pelayanan. atau mereka yang BPJS-nya tercover, terbayarkan, dijamin oleh pemerintah, tetapi tak sanggup diam di rumah sakit karena seluruh dapurnya terhenti karena tak ada beras, tak ada minyak goreng, tak ada bahan pangan yang dimakan. 

Berbaring di rumah sakit melahirkan penderitaan yang lama. Maka dari itulah negara harus senantiasa hadir. Saya mengajak pada seluruh jajaran aparatur pemerintah di Provinsi Jawa Barat, para ketua RT, ketua RW, Kepala Desa dan kelurahan, para camat, bupati, dan walikota untuk senantiasa membuka layanan terbuka bagi masyarakat agar masyarakatnya bisa mengadu terhadap apa yang dialami, agar kepala desa membuka rumahnya, menerima rakyatnya dalam setiap waktu sehingga keluh kesahnya bisa dijawab agar para camat juga sama, agar para bupati, walikota juga sama, seluruh jajaran kalau dilakukan secara kolektif maka sendi-sendi penderitaan itu akan segera terselesaikan. 

Maka tugas kita meneruskan kemerdekaan yang dititipkan oleh leluhur bangsa kita, yang dititipkan oleh para pahlawan negara kita, yang telah mengorbankan darahnya, cucuran air matanya, keluarganya, menghabiskan masa hidupnya hanya untuk berkata merdeka bagi bangsanya. hari ini dalam keadaan bahagia karena negara yang dititipkannya mampu dikelola dengan baik oleh para penerusnya yang memegang takhta kekuasaan baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Tetapi sebaliknya, manakala kita menjadi pengkhianat dari apa yang dia titipkan, maka pada saat ini leluhur kita, para pahlawan kita mengalami kesedihan dan kepedihan yang tiada tar. Kenapa? Apa yang dicita-citakan, apa yang dikorbankan menjadi kesia-siaan karena penerusnya tak mampu mewujudkan seluruh gagasan dan pikirannya. 

Semoga kita semua termasuk yang paling utama diri saya menjadi manusia yang tersadarkan, manusia yang tercerahkan bahwa jabatan yang diemban bukanlah warisan, tetapi titipan yang harus dikelola secara sempurna demi kemakmuran kemajuan rakyat. Saya ucapkan selamat hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80. Dirgahayu, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali merdeka tetap merdeka. 

Asalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. 

8/02/2025

Agama, Ilmu, dan Tantangan Zaman: Refleksi dari Sebuah Madrasah Sunyi

Di tengah gemuruh dunia yang semakin hiruk pikuk—dengan berbagai label keberhasilan, kecanggihan teknologi, dan laju ekonomi yang makin memburu angka—kita di sini, di sebuah madrasah kecil di pinggiran kampung, tetap berjuang dalam kesunyian.

Kesunyian itu bukan tanda kekalahan. Justru dari sunyilah sering lahir kesadaran paling jernih. Di saat banyak sekolah mengejar reputasi, madrasah kita mencoba mengembalikan pendidikan pada akar maknanya: memanusiakan manusia.

Kita hidup di era ketika agama dijadikan alat untuk membangun citra, ilmu dikejar demi gelar, dan kekuasaan dibungkus dalam janji-janji perubahan. Namun di balik itu semua, kita menyaksikan kenyataan:

– Banyak yang cerdas, tapi kehilangan arah.

– Banyak yang pandai bicara agama, tapi abai pada keadilan.

– Banyak yang memiliki jabatan, tapi tak mampu mendengar suara hati.


Madrasah: Taman Tumbuhnya Kesadaran

Madrasah bukan sekadar tempat belajar ilmu fiqih, tafsir, atau matematika. Madrasah adalah ruang tumbuhnya kesadaran diri. Di tempat inilah kita belajar membedakan mana yang hak dan mana yang batil, meskipun samar. Kita diajarkan untuk berpikir, bukan hanya menghafal. Untuk merenung, bukan sekadar menjawab.

Saya percaya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang:

Menguatkan akal, bukan hanya rutinitas

Menumbuhkan hati nurani, bukan sekadar kedisiplinan kaku

Menumbuhkan keberanian memilih jalan yang benar, meski sepi. 


Di Tengah Kapitalisme dan Kekuasaan

Tidak bisa kita pungkiri bahwa hari ini, dunia pendidikan pun terperangkap dalam arus besar kapitalisme. Nilai-nilai spiritual dan sosial perlahan digeser oleh logika pasar: peringkat, branding, fasilitas, gengsi, dan biaya.

Kita ditantang untuk tetap berdiri tegak:

Bahwa sekolah tidak harus megah, tapi harus jujur.

Bahwa siswa tidak harus banyak, tapi harus tumbuh menjadi manusia merdeka.

Bahwa guru tidak hanya mengajar, tapi menuntun dengan kasih dan nurani.


Melahirkan Generasi Berani, Jujur, dan Lugas

Sebagai kepala madrasah, saya tak bercita-cita menjadikan lembaga ini terkenal. Tapi saya ingin madrasah ini melahirkan generasi yang mampu berkata jujur, berpikir dalam, dan bertindak adil, di tengah zaman yang membingungkan batas antara benar dan salah.

Saya ingin melihat para santri kita menjadi orang-orang yang tak mudah terbeli oleh pujian, tak mudah tunduk pada tekanan kekuasaan, dan tak mudah tertipu oleh kemewahan sesaat.


Menjadi Cahaya Meski Kecil

Madrasah ini mungkin kecil. Muridnya tak seberapa. Gedungnya sederhana. Tapi jika dari tempat sederhana ini lahir manusia-manusia jujur, merdeka, dan peduli—maka kita telah menang.

Kita bukan sedang membangun sekolah, tapi sedang menanam cahaya.

Cahaya yang akan terus menyala, bahkan jika dunia berubah menjadi kelam.

5/22/2025

Surga, Ibu, dan Bumi: Jalan Kesadaran Menuju Transformasi Kehidupan

Surga, Ibu, dan Bumi: Jalan Kesadaran Menuju Transformasi Kehidupan

Oleh : Asep Zaenul Falah

"Surga ada di bawah telapak kaki ibu," sabda Nabi Muhammad SAW yang telah begitu akrab di telinga umat manusia, terutama mereka yang dibesarkan dalam nilai-nilai luhur ketimuran. Namun, kalimat ini tak sekadar ajakan untuk memuliakan ibu dalam makna harfiah, melainkan menyimpan pesan kosmis yang menghubungkan manusia, kehidupan, dan bumi itu sendiri.

Seorang pemikir kontemporer nyentrik, Lord Rangga, pernah memberikan tafsir yang menggugah: di bawah telapak kaki ibu ada bumi, maka surga bergantung bagaimana sikap dan perilaku kita di muka bumi. Kalimat ini membuka jendela kesadaran baru bahwa surga bukan sekadar tempat di akhirat, tetapi ia lahir dari cara manusia memperlakukan ibu, bumi, dan kehidupan.

Ibu sebagai Rahim Kehidupan

Ibu adalah pintu pertama tempat manusia hadir ke dunia. Dalam rahimnya, manusia tumbuh dengan kasih, tanpa pamrih, tanpa syarat. Dalam telapak kakinya, terkandung beban pengorbanan, langkah-langkah panjang untuk mendidik, melindungi, dan membesarkan. Maka, tidak berlebihan jika surga diletakkan di bawah kakinya. Ia bukan sekadar penghormatan simbolik, tetapi fondasi spiritual atas nilai kemanusiaan yang mendalam: kasih, pengorbanan, dan pengasuhan.

Namun kesadaran tentang "ibu" tak berhenti pada sosok biologis semata. Dalam pandangan kebijaksanaan spiritual, "ibu" juga bisa dimaknai sebagai bumi, tanah tempat manusia berpijak dan menggantungkan hidup. Maka ketika kita memuliakan ibu, kita juga diajak untuk menghormati bumi — ibu semesta yang menopang kehidupan seluruh makhluk.

Bumi sebagai Ibu Semesta

Bumi, sebagaimana ibu, menyediakan segalanya: makanan, air, udara, bahkan keindahan yang menenangkan jiwa. Ia memberi tanpa meminta, sabar meski sering dilukai. Namun, manusia sering memperlakukannya dengan kasar: menebang hutan tanpa kendali, mencemari sungai, memecah gunung, dan membuang limbah ke dalam tubuhnya.

Ketika bumi rusak, bukan hanya lingkungan yang menderita, tetapi juga manusia. Kita sedang mencabut akar dari "surga" itu sendiri. Maka kalimat Lord Rangga menjadi relevan: surga bukan hanya soal nanti, tetapi tentang bagaimana manusia bersikap sekarang, di atas bumi ini. Paradigma spiritual harus bersatu dengan kesadaran ekologis.

Etika Bumi dan Jalan Menuju Surga

Maka, bagaimana cara manusia membangun surga di muka bumi? Bukan dengan menunggu pahala datang di akhirat, melainkan dengan menanam benih surga melalui perbuatan baik kepada ibu dan bumi:

Dengan mencintai dan merawat orang tua, khususnya ibu, bukan hanya secara material, tetapi dengan hadir secara batin.

Dengan menjaga alam sekitar, menanam pohon, mengurangi sampah, dan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan.

Dengan membangun kehidupan sosial yang penuh kasih, menebar kebaikan kepada sesama, serta menghargai nilai-nilai lokal yang telah berakar kuat pada kearifan leluhur.

Surga, dalam hal ini, adalah keadaan batin yang tenteram, hubungan sosial yang harmonis, dan lingkungan hidup yang lestari. Inilah surga yang dimaksud oleh Rasul: surga yang diawali dengan hormat kepada ibu, dan ditopang oleh sikap arif terhadap bumi.

Transformasi Kesadaran: Dari Rumah ke Dunia

Kesadaran ini bukan untuk disimpan dalam kepala, melainkan untuk ditanamkan dalam kehidupan. Dimulai dari rumah — ajarkan kepada anak-anak bahwa menyentuh tangan ibu dengan lembut adalah menyentuh wajah Tuhan. Ajak mereka menyiram tanaman, mencium bau tanah, dan mendengarkan nyanyian burung pagi sebagai bentuk syukur atas rahmat bumi. Dari rumah, kesadaran ini akan merambat ke sekolah, pesantren, kantor, bahkan ke ruang-ruang kekuasaan dan kebijakan.

Kita perlu merekonstruksi ulang makna surga: bukan sekadar hadiah di akhirat, tetapi cita rasa yang bisa hadir di dunia. Ia tidak akan datang dari langit jika kita mengabaikan yang ada di bawah telapak kaki kita.

Penutup: Sujud di Bumi, Cinta pada Ibu

Surga tak jauh, ia tepat di bawah kaki ibu. Dan di sanalah bumi berada. Maka bersujudlah di bumi, cintailah ibu, dan jadikan hidup sebagai ladang bagi tumbuhnya surga. Karena pada akhirnya, jalan menuju surga bukanlah jalan ke atas, tetapi jalan kembali: kepada ibu, kepada bumi, dan kepada cinta.

5/16/2025

Menanam Nilai, Merawat Laku

Menanam Nilai, Merawat Lakul

Oleh: Asep Zaenul Falah

Menjadi kepala madrasah bukan sekadar jabatan struktural. Ia adalah amanah spiritual. Tugas ini bukan hanya mengelola administrasi dan kurikulum, tetapi menanamkan nilai, membangun karakter, dan menjadi teladan bagi seluruh civitas madrasah. Di tengah derasnya arus zaman dan tantangan dunia pendidikan, saya merenung, bahwa tidak semua hal bisa saya atur atau ubah. Yang paling utama adalah menjaga diri tetap lurus di jalan yang benar, lalu menghadirkan keteladanan yang nyata.

Sering kali kita terjebak pada keinginan untuk memperbaiki orang lain, sebelum memperbaiki diri sendiri. Padahal, perbaikan terbesar adalah dimulai dari dalam: dari cara kita berpikir, bersikap, dan bertindak. Jika ada siswa atau guru yang datang untuk meminta bimbingan, dan saya merasa mampu membantu, maka itu adalah ladang amal. Tetapi saya pun memahami bahwa setiap insan memiliki hak dan jalannya masing-masing.

Saya tidak berambisi mengubah siapa pun. Tidak pula merasa paling tahu. Saya hanya berkewajiban menyampaikan apa yang saya yakini sebagai kebaikan. Jika saya diam, saya khawatir berdosa karena membiarkan keburukan tumbuh. Namun jika saya menyampaikan dengan cara yang salah, bisa jadi menyakiti dan menjadi aniaya. Maka, saya mencoba menjaga keseimbangan. Dalam proses ini, saya banyak belajar: maju salah, mundur pun salah. Tapi tetap diam bukan pilihan.

Dari proses yang terus berjalan ini, saya mulai bisa membedakan siapa yang sungguh-sungguh hadir dalam ruh pendidikan madrasah, dan siapa yang hanya hadir secara jasad namun jiwanya belum tersentuh. Ada yang sabar menjalani proses pembelajaran dari tahap ke tahap, dan ada pula yang menyerah di tengah jalan. Namun satu hal yang selalu saya pegang: harapan itu selalu ada. Selama masih ada niat belajar, masih ada ruang untuk bertumbuh.

Ilmu yang kami ajarkan di madrasah ini tidak akan memberi manfaat apa-apa jika tidak diresapi dalam kehidupan nyata. Ilmu tanpa amal adalah beban. Amal tanpa nilai adalah kosong. Maka saya mengajak seluruh warga madrasah: mari kita hidupkan ilmu dalam laku. Bukan hanya dalam teori atau hafalan, tetapi dalam akhlak, kedisiplinan, tanggung jawab, dan cinta terhadap sesama.

Madrasah bukan hanya tempat belajar, tetapi taman untuk menanam nilai-nilai kehidupan. Dan nilai-nilai itu akan menjadi penuntun kita seumur hidup.

Semoga Allah memberikan keikhlasan dalam setiap langkah kita, dan menjadikan madrasah ini tempat tumbuhnya generasi yang cerdas, berakhlak, dan berjiwa tangguh.

4/30/2025

Saat Ulama, Pendidik, dan Pemimpin Lupa Jalan Pulang

Refleksi Seorang Kepala Madrasah dari Pinggiran tentang Resahnya Tatanan Sosial dan Harapan perbaikan

Dalam perjalanan kehidupan, saya pernah mengalamai beberpa pengalaman, yakni pernah menempuh pendidikan formal dan nonformal, bersinggungan dengan organisasi besar, bahkan sempat merasakan dinamika dunia politik. meski tidak sehebat temen temen yang lain, manum dari sedikit pengalaman itulah membawa pada ruang kesadaran dimana ada saatnya saya melaju kencang dan sadar kapan harus mengerem.

Perjalanan itu memperkaya pandangan saya, memperluas pemahaman tentang wajah-wajah kehidupan.Namun, seiring waktu, Tuhan menakdirkan saya untuk berpindah jalur — mengabdi di dunia pendidikan, di sebuah sekolah sederhana di pedesaan. Tempat yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, dan kadang luput dari perhatian banyak pihak. 

Dari tempat inilah, perlahan-lahan saya melihat realitas masyarakat dengan mata yang lebih jernih. Saya menyaksikan betapa kompleksnya kehidupan sosial kita hari ini: ada dinamika yang membahagiakan, namun ada juga kegelisahan yang tak bisa diabaikan.

Tatanan sosial sering kali terasa rapuh, dan jarak antara harapan dan kenyataan terasa semakin melebar. Dalam merenung, saya teringat pada pesan bijak dari seorang tokoh besar, KH Ahmad Dahlan, yang pernah mengutip Imam Al-Ghazali :

"Rusaknya rakyat berakar dari rusaknya pemimpin, dan rusaknya pemimpin berakar dari rusaknya ulama."

Kalimat itu bukanlah tuduhan, melainkan sebuah undangan untuk bersama-sama bercermin. Bahwa kualitas kehidupan masyarakat sangat bergantung pada ketulusan para pendidik, keikhlasan para pemimpin, dan kejujuran para pembimbing spiritual.

Hari ini, tantangan kita bertambah berat. Dalam dinamika sosial, pendidikan, dan keagamaan, kadang-kadang kita terjebak dalam rutinitas formalitas, lupa akan ruh sejatinya. Pendidikan sering dihadapkan pada tekanan administratif, agama kadang-kadang terbawa dalam arus pragmatisme politik, dan kepemimpinan terjebak dalam pusaran kepentingan jangka pendek.

Namun, saya percaya, di balik semua itu, masih banyak hati-hati yang jernih, pikiran-pikiran yang jujur, dan tangan-tangan yang terus bekerja dalam sunyi demi masa depan umat.

Karena itu, saya ingin mengajak diri saya sendiri, dan siapa saja yang membaca refleksi ini, untuk bersama-sama menguatkan kembali niat awal kita: Bahwa ulama, pendidik, dan pemimpin sejatinya adalah penjaga keseimbangan antara langit dan bumi. Tugas itu berat, namun mulia. 

Bukan untuk memenangkan golongan, tetapi untuk menebarkan kemaslahatan umat. Bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk menguatkan integritas. Bukan untuk sekadar menguasai dunia, tetapi untuk menuntun umat menuju nilai-nilai langit. 

Mari kita jaga bersama-sama agar pendidikan tidak menjadi sekadar proyek, agar agama tetap menjadi sumber kesejukan, agar kepemimpinan tetap bersandar pada amanah, bukan ambisi. 

Kita semua, siapapun kita, punya tanggung jawab moral untuk terus memperbaiki diri, memperbaiki niat, dan memperbaiki arah perjalanan kita.

Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam perpecahan. Hidup ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan sesaat. Semoga kita semua, di tengah riuh zaman ini, tetap mampu menemukan jalan pulang:

Pulang ke hati yang bersih, pulang ke niat yang lurus, pulang ke Tuhan yang Maha Benar. Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah jabatan, bukan popularitas, tetapi seberapa besar kita pernah jujur kepada kehidupan ini.

4/26/2025

"RASA: Jalan Pulang Menuju Diri dan Ilahi"

Gerak di luar adalah bayangan dari gerak di dalam. Alam semesta ini adalah cermin dari batin kita sendiri

Dalam perjalanan kehidupan, saya memulai latihan rasa bukan hanya dengan berpikir atau membaca, tetapi dengan masuk ke dalam. Saya belajar menyelam ke kedalaman batin saya sendiri—berdiam, memperhatikan, dan menghayati setiap detik kehidupan dengan penuh kesadaran.

Saya hidup dalam penyelaman dan penghayatan, tidak hanya dalam momen sunyi, tapi juga dalam keseharian yang biasa. Dalam segala hal yang terpandang oleh mata, saya belajar untuk merespek dan menghormatinya, lalu menyelaminya seolah menjadi bagian darinya.

Ketika saya melihat sebuah batu, saya tidak hanya melihat benda keras yang diam. Saya belajar menyatukan rasa—seolah saya adalah batu itu. Saya rasakan bagaimana ia menanggung panas mentari siang dan dingin hujan malam, diam dalam keteguhan, dalam sunyi yang penuh makna.

Lalu saya lanjutkan kepada pohon, air, tanah, binatang, bahkan bulan, bintang, matahari, awan, dan angin. Setiap elemen alam semesta, saya selami dengan hati. Saya hayati hingga seluruh sel tubuh saya seakan bersatu dengan mereka. Saya merasa menjadi bagian dari semesta, dan semesta menjadi bagian dari saya.

Ketika penghayatan itu semakin dalam, saya menyadari bahwa alam ini bukan lagi objek di luar diri, tapi sudah menyatu, manunggal dalam rasa. Saya menjadi awan, dan awan itu bergerak mengikutiku. Saya menjadi angin, dan ia pun berhembus bersama napas saya.

Dari situ, saya paham bahwa segala gerak di luar adalah pantulan dari gerak di dalam. Alam bergerak sebagaimana hati kita bergerak. Maka saya pun mulai memahami alur-orbit semesta, dan dari situ saya mengenal siapa itu Robbul 'Alamin, Sang Pengatur Segala.

Dalam penyelaman rasa ini, perlahan saya mulai mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Saya bisa ikut meneteskan air mata saat menyentuh duka dan gejolak yang dirasakan jiwa lain. Saya bisa menangis tanpa tahu kenapa, hanya karena rasa yang menyatu dengan penderitaan sesama.

Dulu, saya sering menulis sambil menangis. Bukan karena sedih pribadi, tapi karena rasa itu mengalir dalam. Rasa itu membawa saya pada firman Tuhan yang menggetarkan batin:

"Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri, yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat menginginkan kebaikan bagi kamu, dan ia pula menumpahkan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman."
(QS. At-Taubah: 128)

"Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia; kepada-Nya aku berserah diri, dan Dialah Pemilik ‘Arsy yang agung.'"
(QS. At-Taubah: 129)

Ayat ini, bagi saya, bukan sekadar teks. Ia adalah pantulan rasa kasih Nabi yang begitu dalam terhadap umatnya. Rasa itulah yang ingin saya latih—agar saya pun, meski tak sempurna, bisa menyentuh kasih itu dalam diri.

4/25/2025

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

Oleh : Asep Zaenul Falah

Sebagai seorang kepala madrasah yang selama ini berjuang dalam keterbatasan, namun tak pernah padam harapan, saya merasa terpanggil untuk menyampaikan suara hati atas langkah yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, terkait evaluasi dan penahanan sementara dana hibah.

Kebijakan ini, bagi sebagian pihak mungkin terasa mengejutkan, bahkan kontroversial. Namun bagi kami—lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar jangkauan kekuasaan dan politik—justru merupakan angin segar yang kami rindukan sejak lama. Langkah ini menjadi simbol keberanian dan ketegasan seorang pemimpin yang tidak silau oleh kepentingan politik sesaat, melainkan berpihak pada keadilan dan kebenaran yang hakiki.

Fakta di lapangan selama ini menunjukkan betapa tajamnya ketimpangan dalam penyaluran dana hibah. Banyak lembaga yang mendapatkan kucuran dana bukan karena urgensi dan kebutuhan riilnya, melainkan karena kedekatan politik. Sementara kami yang tidak memiliki akses politik, hanya bisa memandangi dari kejauhan, merasa termarjinalkan dan sering kali tak terdengar suaranya.

Langkah evaluasi total yang diambil oleh Kang Dedi adalah jalan awal menuju perubahan sistem yang lebih adil, transparan, dan merata. Tatakelola dana publik harus didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan pada jaringan kekuasaan. Sudah saatnya Jawa Barat membangun peradaban pendidikan yang berpondasi pada nilai, bukan sekadar angka.

Kami, para pendidik di akar rumput, mendambakan sosok pemimpin yang mampu menjadi teladan, yang melihat rakyat dengan mata hati, bukan dengan kepentingan. Sosok pemimpin yang berani meluruskan apa yang bengkok, meskipun harus menanggung risiko.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh elemen masyarakat Jawa Barat—terutama para pelaku pendidikan dan penggerak perubahan di komunitas lokal—untuk mendukung dan mengawal setiap langkah kebijakan yang berpihak pada keadilan. Ini bukan sekadar soal dana, ini adalah tentang masa depan generasi kita.

Semoga niat baik ini mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi awal dari lembaran baru bagi Jawa Barat yang lebih adil dan bermartabat.

4/24/2025

"Antara Bapak Dewek dan Bapak Aing” Sebuah Catatan Kritis dari Kepala Madrasah

Sebagai pendidik sekaligus bagian dari elemen masyarakat yang terus berupaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kebeningan hati, dan keteladanan dalam kepemimpinan, saya merasa perlu memberikan sedikit catatan terhadap tren kemungkinan pencitraan yang sedang berkembang di Kabupaten Sukabumi, khususnya terkait dengan istilah “Bapak Dewek” yang disematkan pada Bupati Sukabumi.

Istilah ini secara sepintas memang terdengar akrab dan merakyat, namun jika ditelisik lebih dalam, ada sesuatu yang mengganjal secara kultural maupun etis. Mengapa? Karena istilah ini terkesan dipaksakan untuk membentuk kedekatan artifisial antara pemimpin dan masyarakat, sesuatu yang pada akhirnya bisa menjadi kontraproduktif, terutama bagi generasi muda khusunya para pelajar yang sedang mencari sosok teladan sejati.

Mari kita bandingkan secara jujur dengan istilah “Bapak Aing” yang melekat pada figur Kang Dedi Mulyadi, sebagai GUbernur di Jawa Barat. Julukan tersebut bukan lahir dari tim branding, bukan pula dari konstruksi politik, tetapi dari ketulusan seorang anak kecil bernama Egi, yang kala itu menyebut Kang Dedi sebagai “Bapak Aing” secara spontan karena kedekatan emosional dan kasih sayang yang ia rasakan. Dari sanalah istilah itu berkembang, menyebar, dan akhirnya diterima oleh masyarakat luas sebagai simbol kepemimpinan yang membumi dan berpihak pada Masyarakat kecil, Masyarakat yang selama ini terasingkan.

Sementara itu, istilah “Bapak Dewek” terasa lahir dari dapur marketing politik, bukan dari ruang hati masyarakat kecil. Ia seakan ingin menggiring persepsi publik bahwa kedekatan bisa dibentuk melalui narasi, bukan melalui aksi nyata yang dirasakan oleh rakyat. Padahal, istilah yang melekat pada seorang pemimpin, terutama di tengah krisis kepercayaan publik, harusnya lahir dari bukti keberpihakan dan kebijakan yang berdampak, bukan sekadar permainan diksi.

Sebagai kepala madrasah, saya sangat menyadari bahwa narasi kepemimpinan memiliki dampak langsung pada pembentukan karakter siswa. Jika narasi itu artifisial dan dibuat-buat, maka ada risiko besar generasi muda akan belajar bahwa pencitraan bisa menggantikan keteladanan. Ini tentu tidak sehat untuk masa depan kepemimpinan kita.

Saya tidak bermaksud merendahkan atau menolak istilah “Bapak Dewek”, namun kita harus jujur bahwa penyematan sebuah gelar informal dari rakyat haruslah tumbuh dari bawah ke atas—dari pengalaman masyarakat, dari hati yang tersentuh oleh kebijakan, dari air mata yang terhapus karena hadirnya solusi nyata dari sang pemimpin.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh pihak, khususnya para pengambil kebijakan di Kabupaten Sukabumi, untuk lebih mengedepankan substansi daripada pencitraan, lebih menanamkan keberpihakan daripada simbolisme, dan lebih mementingkan warisan nilai daripada sekadar warisan nama.

Pemimpin yang besar tidak memerlukan gelar buatan, karena panggilan cinta rakyat akan lahir sendiri dari ketulusan dan keberpihakannya.

PENDIDIKAN SEKOLAH - Menanam harapan, bukan sekadar angka kelulusan



Sekolah bukanlah pabrik yang menghasilkan produk jadi. sekolah adalah taman yang menumbuhkan manusia. di dalamnya, anak-anak belajar bukan hanya tentang angka dan huruf, tetapi tentang arti menjadi manusia seutuhnya. sebagai kepala madrasah, saya menyaksikan setiap hari bagaimana anak-anak tumbuh—dengan gelisahnya, dengan semangatnya, dengan pertanyaannya yang polos tapi bermakna.

Pendidikan sekolah, dalam pandangan saya, bukanlah proyek lima tahunan. ia adalah ikhtiar panjang yang melebihi umur pemimpin dan masa jabatan. karena itu, saya percaya bahwa arah pendidikan seharusnya tidak mudah berubah oleh dinamika politik sesaat. nilai-nilai dalam pendidikan harus dijaga dalam kebeningannya—jujur, sabar, dan berpihak pada masa depan anak-anak, bukan pada ambisi siapa pun.

Hari ini kita dihadapkan pada tantangan besar: sekolah dituntut untuk menghasilkan lulusan yang "siap kerja", tapi juga harus membentuk pribadi yang utuh, yang tahu cara menghormati orang tua, mencintai tanah air, dan berempati pada sesama.

Sekolah dituntut menghasilkan prestasi akademik, tapi juga diharapkan membina karakter yang kuat dan hati yang lembut. ini bukan pekerjaan ringan, tapi saya yakin, jika kita ikhlas dan konsisten, hasilnya akan jauh melampaui sekadar angka kelulusan.

di madrasah kami, kami mencoba merawat ruh pendidikan: menjadikan guru bukan sekadar pengajar, tapi pendamping jiwa; menjadikan kurikulum bukan sekadar silabus, tapi jembatan menuju kehidupan yang bermakna. kami sadar, gedung kami mungkin tak semegah sekolah kota, tapi kami punya harapan yang besar. kami ingin anak-anak kami tumbuh dengan jati diri, dengan akhlak, dan dengan kesadaran bahwa hidup bukan hanya soal mencari pekerjaan, tapi soal menjadi manusia yang berguna.

saya menulis ini bukan untuk mengeluh, bukan pula untuk menggurui. saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan siapa pun yang masih percaya pada pendidikan: bahwa sekolah adalah harapan. mari jaga sekolah agar tetap menjadi ruang yang merdeka, tempat anak-anak kita menemukan cahaya dalam dirinya. bukan cahaya dari sorot politik, tapi cahaya dari dalam: dari ilmu, akhlak, dan kasih sayang.

 

4/15/2025

Bayang-Bayang Kekuasaan: Ketika Demokrasi Digerogoti Oligarki

Demokrasi, sejak kelahirannya di tanah Yunani kuno, adalah janji besar tentang kebebasan dan kedaulatan rakyat. Ia hadir sebagai antitesis dari kekuasaan yang terpusat, sebagai bentuk perlawanan terhadap tirani, sebagai panggung bagi suara-suara kecil untuk didengar. Dalam demokrasi, setiap individu adalah subjek politik; setiap suara dihitung, setiap hak dijamin. Namun, dalam realitas modern yang kompleks dan sarat kepentingan, demokrasi menghadapi musuh dalam selimut — oligarki.

Oligarki, atau kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir elite kaya dan berkuasa, bukanlah entitas asing dalam sejarah politik. Ia pernah menjadi lawan terang-terangan dari demokrasi. Namun kini, ia menyamar — berbaur, berkamuflase, dan bahkan memanfaatkan mekanisme demokrasi itu sendiri untuk melanggengkan kekuasaan. Prosedur demokrasi seperti pemilu, partai politik, bahkan kebebasan pers, bukan lagi ruang kebebasan yang merdeka, melainkan ladang investasi kekuasaan bagi mereka yang memiliki modal besar.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, demokrasi prosedural berjalan dengan baik: pemilu dilaksanakan secara rutin, partai politik aktif, media bebas. Namun secara substansial, ruang-ruang pengambilan keputusan kian sempit bagi rakyat. Kebijakan publik seringkali tidak berpihak pada kepentingan orang banyak, melainkan lebih menguntungkan pemilik modal, pemilik lahan, atau pemilik media. Rakyat hanya hadir saat pemilu — dimobilisasi, diiming-imingi, dibujuk dan dipersuasi — namun dilupakan setelahnya.

Bayang-bayang oligarki bekerja dengan senyap namun sistematis. Mereka membiayai kampanye politik, menyusup ke dalam birokrasi, menguasai narasi di media massa, dan bahkan membentuk opini publik lewat buzzer dan influencer. Ironisnya, semua ini terjadi di bawah naungan legalitas demokrasi. Kekuasaan tak lagi direbut dengan kekerasan, tetapi dengan uang dan pengaruh. Demokrasi berubah menjadi etalase belaka — tampak indah di luar, tetapi rapuh dan kosong di dalam.

Dalam kondisi ini, demokrasi menjadi "wajah tanpa rupa" — identitasnya tidak lagi jelas. Ia tidak benar-benar mewakili rakyat, namun juga tidak sepenuhnya diktator. Ia menggantung di antara simbolisme dan manipulasi, di antara harapan dan kenyataan yang mengecewakan.

Apakah ini akhir dari demokrasi? Tidak. Namun ini adalah panggilan darurat bagi mereka yang peduli akan masa depan bangsa. Demokrasi harus diselamatkan dari penjarahan oligarki. Reformasi politik perlu digalakkan kembali: transparansi pendanaan politik, pembatasan kekuasaan elite bisnis dalam ranah publik, serta penguatan lembaga pengawas dan masyarakat sipil.

Lebih dari itu, rakyat perlu direvolusi secara kultural. Literasi politik, kesadaran kritis, serta keberanian bersuara adalah fondasi baru yang harus dibangun. Rakyat tidak bisa terus-menerus menjadi penonton atau korban. Mereka harus menjadi aktor sejati dalam panggung demokrasi. Bila tidak, demokrasi hanya akan menjadi sistem kosong yang dipakai untuk mengesahkan kekuasaan segelintir orang atas nama rakyat.

Demokrasi, bila tidak dijaga, akan dimakan dari dalam. Ia tidak akan mati karena kudeta atau perang, tetapi karena pengkhianatan diam-diam dari mereka yang mengaku sebagai penjaganya. Dan saat itu terjadi, yang tersisa hanyalah nama — tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa wajah.


4/01/2025

Alumni : Jejak yang Tak Pernah Pudar

 Ada satu tempat yang selalu hidup dalam ingatan, tak peduli sejauh apa kita melangkah. Sebuah tempat yang dulu menjadi saksi perjuangan kita menuntut ilmu, tempat di mana kita tumbuh, menemukan jati diri, dan menanam harapan.

Tempat itu adalah lembaga pendidikan kita—madrasah, pesantren, atau sekolah—yang pernah menjadi rumah kedua bagi kita semua. Tempat itu mungkin kini telah berubah, wajah-wajah baru bermunculan, bangunannya mungkin lebih megah atau justru masih berdiri dengan segala keterbatasannya. Namun, satu hal yang pasti: lembaga itu masih berjuang, sebagaimana dulu kita berjuang di dalamnya.

Kini, kita telah melangkah ke dunia yang lebih luas. Sebagian dari kita telah sukses di berbagai bidang, menjadi pemimpin, pendidik, wirausahawan, atau profesional di berbagai sektor. Sebagian masih dalam perjalanan meraih impian, dan sebagian lagi mungkin tengah menghadapi tantangan kehidupan. Tetapi, dalam keadaan apa pun, satu hal yang tak boleh kita lupakan: kita adalah bagian dari sejarah lembaga itu.

Peran Alumni: Bukan Sekadar Kenangan

Sering kali kita menganggap bahwa peran kita terhadap lembaga telah selesai saat kelulusan. Kita berpikir bahwa perjalanan kita sudah berbeda, bahwa ada kehidupan baru yang harus dijalani. Namun, apakah kita sadar bahwa lembaga itu tetap membutuhkan kita?

Sebagai alumni, kita bukan hanya sekumpulan nama dalam arsip sekolah. Kita adalah bukti nyata dari keberhasilan lembaga. Kita adalah wajah dari hasil didikan guru-guru kita. Maka, tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi juga berkontribusi.

Ada banyak cara alumni bisa berperan dalam membangun dan menghidupkan kembali lembaga:

1. Memberikan Dukungan Moril dan Spiritual

Tidak semua bentuk kepedulian harus berupa materi. Kehadiran alumni dalam acara-acara sekolah, kunjungan ke guru-guru, atau sekadar menyapa adik-adik kelas bisa menjadi dorongan besar bagi mereka yang masih berjuang di dalamnya. Sebuah nasihat, cerita perjalanan hidup, atau motivasi dari alumni bisa menginspirasi mereka untuk terus maju.

Ada banyak siswa yang merasa putus asa, merasa pendidikan mereka tidak akan membawa mereka ke mana-mana. Kehadiran alumni yang berbagi pengalaman bisa menjadi cahaya harapan, mengingatkan mereka bahwa perjalanan masih panjang dan bahwa ilmu yang mereka pelajari hari ini akan sangat berharga di masa depan.

2. Membantu Pengembangan Lembaga

Beberapa lembaga masih menghadapi banyak keterbatasan, baik dari segi fasilitas, kurikulum, maupun akses terhadap perkembangan zaman. Alumni yang telah memiliki pengalaman di berbagai bidang dapat berkontribusi dengan memberikan ide, saran, atau bahkan membantu mencarikan jaringan yang dapat membantu lembaga berkembang.

Mungkin ada alumni yang menjadi pengusaha dan bisa membantu membangun fasilitas baru. Mungkin ada yang ahli di bidang teknologi dan bisa membantu mendigitalisasi pembelajaran. Atau mungkin ada yang memiliki akses ke beasiswa dan bisa membuka peluang bagi siswa yang kurang mampu.

3. Membantu dari Segi Finansial

Tidak semua lembaga memiliki sumber pendanaan yang cukup untuk terus berkembang. Jika kita diberi kelebihan rezeki, mengalokasikan sebagian untuk membantu lembaga bisa menjadi ladang amal jariyah yang luar biasa.

Bisa dalam bentuk beasiswa bagi siswa yang kurang mampu, donasi untuk pembangunan atau renovasi fasilitas, atau bahkan sekadar membantu kebutuhan kecil seperti buku dan alat tulis. Jangan pernah berpikir bahwa kontribusi kita terlalu kecil. Sebab, bagi mereka yang membutuhkan, sekecil apa pun bantuan itu bisa sangat berarti.

4. Menjadi Jembatan bagi Generasi Berikutnya

Dunia terus berkembang, dan tantangan yang dihadapi oleh siswa saat ini mungkin berbeda dari yang kita alami dahulu. Sebagai alumni, kita bisa menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia luar.

Kita bisa membuka peluang magang, memberikan informasi tentang jalur pendidikan yang lebih luas, atau bahkan membantu mereka dalam mencari pekerjaan setelah lulus. Kita pernah berada di posisi mereka, kita tahu betapa sulitnya mencari jalan di dunia yang semakin kompetitif. Maka, mengulurkan tangan bagi mereka adalah bentuk kepedulian yang luar biasa.

Loyalitas Sejati: Cinta yang Tak Pernah Usai

Kita mungkin telah tumbuh dewasa, memiliki kesibukan dan tanggung jawab masing-masing. Namun, satu hal yang tidak boleh berubah adalah rasa cinta kita terhadap lembaga yang pernah membesarkan kita.

Sejauh mana pun kita pergi, kita tidak akan pernah benar-benar meninggalkan tempat itu. Nama kita tetap terukir di dalamnya, jejak kita tetap ada di dinding-dinding kelas, suara kita masih tertinggal di lapangan tempat kita bermain dan belajar.

Jangan sampai suatu hari nanti kita kembali, tetapi yang kita temukan hanyalah puing-puing lembaga yang dulu kita banggakan. Jangan sampai kita hanya datang ketika semuanya telah terlambat.

Mari kita mulai dari hal kecil: menyapa guru-guru kita, menjenguk sekolah kita, bertanya tentang kabar lembaga, dan perlahan-lahan mencari cara untuk berkontribusi. Sebab, lembaga itu adalah rumah kita—dan rumah selalu menanti kepulangan anak-anaknya.

Karena sejatinya, menjadi alumni bukan sekadar tentang pernah bersekolah di sana, tetapi tentang bagaimana kita terus menjaga dan merawat warisan yang telah diberikan kepada kita.

Dan cinta sejati kepada lembaga, seperti cinta sejati pada ibu dan guru, adalah cinta yang tak akan pernah usai.