5/22/2025

Surga, Ibu, dan Bumi: Jalan Kesadaran Menuju Transformasi Kehidupan

Surga, Ibu, dan Bumi: Jalan Kesadaran Menuju Transformasi Kehidupan

Oleh : Asep Zaenul Falah

"Surga ada di bawah telapak kaki ibu," sabda Nabi Muhammad SAW yang telah begitu akrab di telinga umat manusia, terutama mereka yang dibesarkan dalam nilai-nilai luhur ketimuran. Namun, kalimat ini tak sekadar ajakan untuk memuliakan ibu dalam makna harfiah, melainkan menyimpan pesan kosmis yang menghubungkan manusia, kehidupan, dan bumi itu sendiri.

Seorang pemikir kontemporer nyentrik, Lord Rangga, pernah memberikan tafsir yang menggugah: di bawah telapak kaki ibu ada bumi, maka surga bergantung bagaimana sikap dan perilaku kita di muka bumi. Kalimat ini membuka jendela kesadaran baru bahwa surga bukan sekadar tempat di akhirat, tetapi ia lahir dari cara manusia memperlakukan ibu, bumi, dan kehidupan.

Ibu sebagai Rahim Kehidupan

Ibu adalah pintu pertama tempat manusia hadir ke dunia. Dalam rahimnya, manusia tumbuh dengan kasih, tanpa pamrih, tanpa syarat. Dalam telapak kakinya, terkandung beban pengorbanan, langkah-langkah panjang untuk mendidik, melindungi, dan membesarkan. Maka, tidak berlebihan jika surga diletakkan di bawah kakinya. Ia bukan sekadar penghormatan simbolik, tetapi fondasi spiritual atas nilai kemanusiaan yang mendalam: kasih, pengorbanan, dan pengasuhan.

Namun kesadaran tentang "ibu" tak berhenti pada sosok biologis semata. Dalam pandangan kebijaksanaan spiritual, "ibu" juga bisa dimaknai sebagai bumi, tanah tempat manusia berpijak dan menggantungkan hidup. Maka ketika kita memuliakan ibu, kita juga diajak untuk menghormati bumi — ibu semesta yang menopang kehidupan seluruh makhluk.

Bumi sebagai Ibu Semesta

Bumi, sebagaimana ibu, menyediakan segalanya: makanan, air, udara, bahkan keindahan yang menenangkan jiwa. Ia memberi tanpa meminta, sabar meski sering dilukai. Namun, manusia sering memperlakukannya dengan kasar: menebang hutan tanpa kendali, mencemari sungai, memecah gunung, dan membuang limbah ke dalam tubuhnya.

Ketika bumi rusak, bukan hanya lingkungan yang menderita, tetapi juga manusia. Kita sedang mencabut akar dari "surga" itu sendiri. Maka kalimat Lord Rangga menjadi relevan: surga bukan hanya soal nanti, tetapi tentang bagaimana manusia bersikap sekarang, di atas bumi ini. Paradigma spiritual harus bersatu dengan kesadaran ekologis.

Etika Bumi dan Jalan Menuju Surga

Maka, bagaimana cara manusia membangun surga di muka bumi? Bukan dengan menunggu pahala datang di akhirat, melainkan dengan menanam benih surga melalui perbuatan baik kepada ibu dan bumi:

Dengan mencintai dan merawat orang tua, khususnya ibu, bukan hanya secara material, tetapi dengan hadir secara batin.

Dengan menjaga alam sekitar, menanam pohon, mengurangi sampah, dan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan.

Dengan membangun kehidupan sosial yang penuh kasih, menebar kebaikan kepada sesama, serta menghargai nilai-nilai lokal yang telah berakar kuat pada kearifan leluhur.

Surga, dalam hal ini, adalah keadaan batin yang tenteram, hubungan sosial yang harmonis, dan lingkungan hidup yang lestari. Inilah surga yang dimaksud oleh Rasul: surga yang diawali dengan hormat kepada ibu, dan ditopang oleh sikap arif terhadap bumi.

Transformasi Kesadaran: Dari Rumah ke Dunia

Kesadaran ini bukan untuk disimpan dalam kepala, melainkan untuk ditanamkan dalam kehidupan. Dimulai dari rumah — ajarkan kepada anak-anak bahwa menyentuh tangan ibu dengan lembut adalah menyentuh wajah Tuhan. Ajak mereka menyiram tanaman, mencium bau tanah, dan mendengarkan nyanyian burung pagi sebagai bentuk syukur atas rahmat bumi. Dari rumah, kesadaran ini akan merambat ke sekolah, pesantren, kantor, bahkan ke ruang-ruang kekuasaan dan kebijakan.

Kita perlu merekonstruksi ulang makna surga: bukan sekadar hadiah di akhirat, tetapi cita rasa yang bisa hadir di dunia. Ia tidak akan datang dari langit jika kita mengabaikan yang ada di bawah telapak kaki kita.

Penutup: Sujud di Bumi, Cinta pada Ibu

Surga tak jauh, ia tepat di bawah kaki ibu. Dan di sanalah bumi berada. Maka bersujudlah di bumi, cintailah ibu, dan jadikan hidup sebagai ladang bagi tumbuhnya surga. Karena pada akhirnya, jalan menuju surga bukanlah jalan ke atas, tetapi jalan kembali: kepada ibu, kepada bumi, dan kepada cinta.

5/16/2025

Menanam Nilai, Merawat Laku

Menanam Nilai, Merawat Lakul

Oleh: Asep Zaenul Falah

Menjadi kepala madrasah bukan sekadar jabatan struktural. Ia adalah amanah spiritual. Tugas ini bukan hanya mengelola administrasi dan kurikulum, tetapi menanamkan nilai, membangun karakter, dan menjadi teladan bagi seluruh civitas madrasah. Di tengah derasnya arus zaman dan tantangan dunia pendidikan, saya merenung, bahwa tidak semua hal bisa saya atur atau ubah. Yang paling utama adalah menjaga diri tetap lurus di jalan yang benar, lalu menghadirkan keteladanan yang nyata.

Sering kali kita terjebak pada keinginan untuk memperbaiki orang lain, sebelum memperbaiki diri sendiri. Padahal, perbaikan terbesar adalah dimulai dari dalam: dari cara kita berpikir, bersikap, dan bertindak. Jika ada siswa atau guru yang datang untuk meminta bimbingan, dan saya merasa mampu membantu, maka itu adalah ladang amal. Tetapi saya pun memahami bahwa setiap insan memiliki hak dan jalannya masing-masing.

Saya tidak berambisi mengubah siapa pun. Tidak pula merasa paling tahu. Saya hanya berkewajiban menyampaikan apa yang saya yakini sebagai kebaikan. Jika saya diam, saya khawatir berdosa karena membiarkan keburukan tumbuh. Namun jika saya menyampaikan dengan cara yang salah, bisa jadi menyakiti dan menjadi aniaya. Maka, saya mencoba menjaga keseimbangan. Dalam proses ini, saya banyak belajar: maju salah, mundur pun salah. Tapi tetap diam bukan pilihan.

Dari proses yang terus berjalan ini, saya mulai bisa membedakan siapa yang sungguh-sungguh hadir dalam ruh pendidikan madrasah, dan siapa yang hanya hadir secara jasad namun jiwanya belum tersentuh. Ada yang sabar menjalani proses pembelajaran dari tahap ke tahap, dan ada pula yang menyerah di tengah jalan. Namun satu hal yang selalu saya pegang: harapan itu selalu ada. Selama masih ada niat belajar, masih ada ruang untuk bertumbuh.

Ilmu yang kami ajarkan di madrasah ini tidak akan memberi manfaat apa-apa jika tidak diresapi dalam kehidupan nyata. Ilmu tanpa amal adalah beban. Amal tanpa nilai adalah kosong. Maka saya mengajak seluruh warga madrasah: mari kita hidupkan ilmu dalam laku. Bukan hanya dalam teori atau hafalan, tetapi dalam akhlak, kedisiplinan, tanggung jawab, dan cinta terhadap sesama.

Madrasah bukan hanya tempat belajar, tetapi taman untuk menanam nilai-nilai kehidupan. Dan nilai-nilai itu akan menjadi penuntun kita seumur hidup.

Semoga Allah memberikan keikhlasan dalam setiap langkah kita, dan menjadikan madrasah ini tempat tumbuhnya generasi yang cerdas, berakhlak, dan berjiwa tangguh.

4/30/2025

Saat Ulama, Pendidik, dan Pemimpin Lupa Jalan Pulang

Refleksi Seorang Kepala Madrasah dari Pinggiran tentang Resahnya Tatanan Sosial dan Harapan perbaikan

Dalam perjalanan kehidupan, saya pernah mengalamai beberpa pengalaman, yakni pernah menempuh pendidikan formal dan nonformal, bersinggungan dengan organisasi besar, bahkan sempat merasakan dinamika dunia politik. meski tidak sehebat temen temen yang lain, manum dari sedikit pengalaman itulah membawa pada ruang kesadaran dimana ada saatnya saya melaju kencang dan sadar kapan harus mengerem.

Perjalanan itu memperkaya pandangan saya, memperluas pemahaman tentang wajah-wajah kehidupan.Namun, seiring waktu, Tuhan menakdirkan saya untuk berpindah jalur — mengabdi di dunia pendidikan, di sebuah sekolah sederhana di pedesaan. Tempat yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, dan kadang luput dari perhatian banyak pihak. 

Dari tempat inilah, perlahan-lahan saya melihat realitas masyarakat dengan mata yang lebih jernih. Saya menyaksikan betapa kompleksnya kehidupan sosial kita hari ini: ada dinamika yang membahagiakan, namun ada juga kegelisahan yang tak bisa diabaikan.

Tatanan sosial sering kali terasa rapuh, dan jarak antara harapan dan kenyataan terasa semakin melebar. Dalam merenung, saya teringat pada pesan bijak dari seorang tokoh besar, KH Ahmad Dahlan, yang pernah mengutip Imam Al-Ghazali :

"Rusaknya rakyat berakar dari rusaknya pemimpin, dan rusaknya pemimpin berakar dari rusaknya ulama."

Kalimat itu bukanlah tuduhan, melainkan sebuah undangan untuk bersama-sama bercermin. Bahwa kualitas kehidupan masyarakat sangat bergantung pada ketulusan para pendidik, keikhlasan para pemimpin, dan kejujuran para pembimbing spiritual.

Hari ini, tantangan kita bertambah berat. Dalam dinamika sosial, pendidikan, dan keagamaan, kadang-kadang kita terjebak dalam rutinitas formalitas, lupa akan ruh sejatinya. Pendidikan sering dihadapkan pada tekanan administratif, agama kadang-kadang terbawa dalam arus pragmatisme politik, dan kepemimpinan terjebak dalam pusaran kepentingan jangka pendek.

Namun, saya percaya, di balik semua itu, masih banyak hati-hati yang jernih, pikiran-pikiran yang jujur, dan tangan-tangan yang terus bekerja dalam sunyi demi masa depan umat.

Karena itu, saya ingin mengajak diri saya sendiri, dan siapa saja yang membaca refleksi ini, untuk bersama-sama menguatkan kembali niat awal kita: Bahwa ulama, pendidik, dan pemimpin sejatinya adalah penjaga keseimbangan antara langit dan bumi. Tugas itu berat, namun mulia. 

Bukan untuk memenangkan golongan, tetapi untuk menebarkan kemaslahatan umat. Bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk menguatkan integritas. Bukan untuk sekadar menguasai dunia, tetapi untuk menuntun umat menuju nilai-nilai langit. 

Mari kita jaga bersama-sama agar pendidikan tidak menjadi sekadar proyek, agar agama tetap menjadi sumber kesejukan, agar kepemimpinan tetap bersandar pada amanah, bukan ambisi. 

Kita semua, siapapun kita, punya tanggung jawab moral untuk terus memperbaiki diri, memperbaiki niat, dan memperbaiki arah perjalanan kita.

Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam perpecahan. Hidup ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan sesaat. Semoga kita semua, di tengah riuh zaman ini, tetap mampu menemukan jalan pulang:

Pulang ke hati yang bersih, pulang ke niat yang lurus, pulang ke Tuhan yang Maha Benar. Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah jabatan, bukan popularitas, tetapi seberapa besar kita pernah jujur kepada kehidupan ini.

4/26/2025

"RASA: Jalan Pulang Menuju Diri dan Ilahi"

Gerak di luar adalah bayangan dari gerak di dalam. Alam semesta ini adalah cermin dari batin kita sendiri

Dalam perjalanan kehidupan, saya memulai latihan rasa bukan hanya dengan berpikir atau membaca, tetapi dengan masuk ke dalam. Saya belajar menyelam ke kedalaman batin saya sendiri—berdiam, memperhatikan, dan menghayati setiap detik kehidupan dengan penuh kesadaran.

Saya hidup dalam penyelaman dan penghayatan, tidak hanya dalam momen sunyi, tapi juga dalam keseharian yang biasa. Dalam segala hal yang terpandang oleh mata, saya belajar untuk merespek dan menghormatinya, lalu menyelaminya seolah menjadi bagian darinya.

Ketika saya melihat sebuah batu, saya tidak hanya melihat benda keras yang diam. Saya belajar menyatukan rasa—seolah saya adalah batu itu. Saya rasakan bagaimana ia menanggung panas mentari siang dan dingin hujan malam, diam dalam keteguhan, dalam sunyi yang penuh makna.

Lalu saya lanjutkan kepada pohon, air, tanah, binatang, bahkan bulan, bintang, matahari, awan, dan angin. Setiap elemen alam semesta, saya selami dengan hati. Saya hayati hingga seluruh sel tubuh saya seakan bersatu dengan mereka. Saya merasa menjadi bagian dari semesta, dan semesta menjadi bagian dari saya.

Ketika penghayatan itu semakin dalam, saya menyadari bahwa alam ini bukan lagi objek di luar diri, tapi sudah menyatu, manunggal dalam rasa. Saya menjadi awan, dan awan itu bergerak mengikutiku. Saya menjadi angin, dan ia pun berhembus bersama napas saya.

Dari situ, saya paham bahwa segala gerak di luar adalah pantulan dari gerak di dalam. Alam bergerak sebagaimana hati kita bergerak. Maka saya pun mulai memahami alur-orbit semesta, dan dari situ saya mengenal siapa itu Robbul 'Alamin, Sang Pengatur Segala.

Dalam penyelaman rasa ini, perlahan saya mulai mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Saya bisa ikut meneteskan air mata saat menyentuh duka dan gejolak yang dirasakan jiwa lain. Saya bisa menangis tanpa tahu kenapa, hanya karena rasa yang menyatu dengan penderitaan sesama.

Dulu, saya sering menulis sambil menangis. Bukan karena sedih pribadi, tapi karena rasa itu mengalir dalam. Rasa itu membawa saya pada firman Tuhan yang menggetarkan batin:

"Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri, yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat menginginkan kebaikan bagi kamu, dan ia pula menumpahkan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman."
(QS. At-Taubah: 128)

"Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia; kepada-Nya aku berserah diri, dan Dialah Pemilik ‘Arsy yang agung.'"
(QS. At-Taubah: 129)

Ayat ini, bagi saya, bukan sekadar teks. Ia adalah pantulan rasa kasih Nabi yang begitu dalam terhadap umatnya. Rasa itulah yang ingin saya latih—agar saya pun, meski tak sempurna, bisa menyentuh kasih itu dalam diri.

4/25/2025

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

"Dana Hibah untuk Siapa??? Mengungkap Luka Lembaga yang Terabaikan"

Oleh : Asep Zaenul Falah

Sebagai seorang kepala madrasah yang selama ini berjuang dalam keterbatasan, namun tak pernah padam harapan, saya merasa terpanggil untuk menyampaikan suara hati atas langkah yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, terkait evaluasi dan penahanan sementara dana hibah.

Kebijakan ini, bagi sebagian pihak mungkin terasa mengejutkan, bahkan kontroversial. Namun bagi kami—lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar jangkauan kekuasaan dan politik—justru merupakan angin segar yang kami rindukan sejak lama. Langkah ini menjadi simbol keberanian dan ketegasan seorang pemimpin yang tidak silau oleh kepentingan politik sesaat, melainkan berpihak pada keadilan dan kebenaran yang hakiki.

Fakta di lapangan selama ini menunjukkan betapa tajamnya ketimpangan dalam penyaluran dana hibah. Banyak lembaga yang mendapatkan kucuran dana bukan karena urgensi dan kebutuhan riilnya, melainkan karena kedekatan politik. Sementara kami yang tidak memiliki akses politik, hanya bisa memandangi dari kejauhan, merasa termarjinalkan dan sering kali tak terdengar suaranya.

Langkah evaluasi total yang diambil oleh Kang Dedi adalah jalan awal menuju perubahan sistem yang lebih adil, transparan, dan merata. Tatakelola dana publik harus didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan pada jaringan kekuasaan. Sudah saatnya Jawa Barat membangun peradaban pendidikan yang berpondasi pada nilai, bukan sekadar angka.

Kami, para pendidik di akar rumput, mendambakan sosok pemimpin yang mampu menjadi teladan, yang melihat rakyat dengan mata hati, bukan dengan kepentingan. Sosok pemimpin yang berani meluruskan apa yang bengkok, meskipun harus menanggung risiko.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh elemen masyarakat Jawa Barat—terutama para pelaku pendidikan dan penggerak perubahan di komunitas lokal—untuk mendukung dan mengawal setiap langkah kebijakan yang berpihak pada keadilan. Ini bukan sekadar soal dana, ini adalah tentang masa depan generasi kita.

Semoga niat baik ini mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi awal dari lembaran baru bagi Jawa Barat yang lebih adil dan bermartabat.

4/24/2025

"Antara Bapak Dewek dan Bapak Aing” Sebuah Catatan Kritis dari Kepala Madrasah

Sebagai pendidik sekaligus bagian dari elemen masyarakat yang terus berupaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kebeningan hati, dan keteladanan dalam kepemimpinan, saya merasa perlu memberikan sedikit catatan terhadap tren kemungkinan pencitraan yang sedang berkembang di Kabupaten Sukabumi, khususnya terkait dengan istilah “Bapak Dewek” yang disematkan pada Bupati Sukabumi.

Istilah ini secara sepintas memang terdengar akrab dan merakyat, namun jika ditelisik lebih dalam, ada sesuatu yang mengganjal secara kultural maupun etis. Mengapa? Karena istilah ini terkesan dipaksakan untuk membentuk kedekatan artifisial antara pemimpin dan masyarakat, sesuatu yang pada akhirnya bisa menjadi kontraproduktif, terutama bagi generasi muda khusunya para pelajar yang sedang mencari sosok teladan sejati.

Mari kita bandingkan secara jujur dengan istilah “Bapak Aing” yang melekat pada figur Kang Dedi Mulyadi, sebagai GUbernur di Jawa Barat. Julukan tersebut bukan lahir dari tim branding, bukan pula dari konstruksi politik, tetapi dari ketulusan seorang anak kecil bernama Egi, yang kala itu menyebut Kang Dedi sebagai “Bapak Aing” secara spontan karena kedekatan emosional dan kasih sayang yang ia rasakan. Dari sanalah istilah itu berkembang, menyebar, dan akhirnya diterima oleh masyarakat luas sebagai simbol kepemimpinan yang membumi dan berpihak pada Masyarakat kecil, Masyarakat yang selama ini terasingkan.

Sementara itu, istilah “Bapak Dewek” terasa lahir dari dapur marketing politik, bukan dari ruang hati masyarakat kecil. Ia seakan ingin menggiring persepsi publik bahwa kedekatan bisa dibentuk melalui narasi, bukan melalui aksi nyata yang dirasakan oleh rakyat. Padahal, istilah yang melekat pada seorang pemimpin, terutama di tengah krisis kepercayaan publik, harusnya lahir dari bukti keberpihakan dan kebijakan yang berdampak, bukan sekadar permainan diksi.

Sebagai kepala madrasah, saya sangat menyadari bahwa narasi kepemimpinan memiliki dampak langsung pada pembentukan karakter siswa. Jika narasi itu artifisial dan dibuat-buat, maka ada risiko besar generasi muda akan belajar bahwa pencitraan bisa menggantikan keteladanan. Ini tentu tidak sehat untuk masa depan kepemimpinan kita.

Saya tidak bermaksud merendahkan atau menolak istilah “Bapak Dewek”, namun kita harus jujur bahwa penyematan sebuah gelar informal dari rakyat haruslah tumbuh dari bawah ke atas—dari pengalaman masyarakat, dari hati yang tersentuh oleh kebijakan, dari air mata yang terhapus karena hadirnya solusi nyata dari sang pemimpin.

Oleh karena itu, saya mengajak seluruh pihak, khususnya para pengambil kebijakan di Kabupaten Sukabumi, untuk lebih mengedepankan substansi daripada pencitraan, lebih menanamkan keberpihakan daripada simbolisme, dan lebih mementingkan warisan nilai daripada sekadar warisan nama.

Pemimpin yang besar tidak memerlukan gelar buatan, karena panggilan cinta rakyat akan lahir sendiri dari ketulusan dan keberpihakannya.

PENDIDIKAN SEKOLAH - Menanam harapan, bukan sekadar angka kelulusan



Sekolah bukanlah pabrik yang menghasilkan produk jadi. sekolah adalah taman yang menumbuhkan manusia. di dalamnya, anak-anak belajar bukan hanya tentang angka dan huruf, tetapi tentang arti menjadi manusia seutuhnya. sebagai kepala madrasah, saya menyaksikan setiap hari bagaimana anak-anak tumbuh—dengan gelisahnya, dengan semangatnya, dengan pertanyaannya yang polos tapi bermakna.

Pendidikan sekolah, dalam pandangan saya, bukanlah proyek lima tahunan. ia adalah ikhtiar panjang yang melebihi umur pemimpin dan masa jabatan. karena itu, saya percaya bahwa arah pendidikan seharusnya tidak mudah berubah oleh dinamika politik sesaat. nilai-nilai dalam pendidikan harus dijaga dalam kebeningannya—jujur, sabar, dan berpihak pada masa depan anak-anak, bukan pada ambisi siapa pun.

Hari ini kita dihadapkan pada tantangan besar: sekolah dituntut untuk menghasilkan lulusan yang "siap kerja", tapi juga harus membentuk pribadi yang utuh, yang tahu cara menghormati orang tua, mencintai tanah air, dan berempati pada sesama.

Sekolah dituntut menghasilkan prestasi akademik, tapi juga diharapkan membina karakter yang kuat dan hati yang lembut. ini bukan pekerjaan ringan, tapi saya yakin, jika kita ikhlas dan konsisten, hasilnya akan jauh melampaui sekadar angka kelulusan.

di madrasah kami, kami mencoba merawat ruh pendidikan: menjadikan guru bukan sekadar pengajar, tapi pendamping jiwa; menjadikan kurikulum bukan sekadar silabus, tapi jembatan menuju kehidupan yang bermakna. kami sadar, gedung kami mungkin tak semegah sekolah kota, tapi kami punya harapan yang besar. kami ingin anak-anak kami tumbuh dengan jati diri, dengan akhlak, dan dengan kesadaran bahwa hidup bukan hanya soal mencari pekerjaan, tapi soal menjadi manusia yang berguna.

saya menulis ini bukan untuk mengeluh, bukan pula untuk menggurui. saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan siapa pun yang masih percaya pada pendidikan: bahwa sekolah adalah harapan. mari jaga sekolah agar tetap menjadi ruang yang merdeka, tempat anak-anak kita menemukan cahaya dalam dirinya. bukan cahaya dari sorot politik, tapi cahaya dari dalam: dari ilmu, akhlak, dan kasih sayang.

 

4/15/2025

Bayang-Bayang Kekuasaan: Ketika Demokrasi Digerogoti Oligarki

Demokrasi, sejak kelahirannya di tanah Yunani kuno, adalah janji besar tentang kebebasan dan kedaulatan rakyat. Ia hadir sebagai antitesis dari kekuasaan yang terpusat, sebagai bentuk perlawanan terhadap tirani, sebagai panggung bagi suara-suara kecil untuk didengar. Dalam demokrasi, setiap individu adalah subjek politik; setiap suara dihitung, setiap hak dijamin. Namun, dalam realitas modern yang kompleks dan sarat kepentingan, demokrasi menghadapi musuh dalam selimut — oligarki.

Oligarki, atau kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir elite kaya dan berkuasa, bukanlah entitas asing dalam sejarah politik. Ia pernah menjadi lawan terang-terangan dari demokrasi. Namun kini, ia menyamar — berbaur, berkamuflase, dan bahkan memanfaatkan mekanisme demokrasi itu sendiri untuk melanggengkan kekuasaan. Prosedur demokrasi seperti pemilu, partai politik, bahkan kebebasan pers, bukan lagi ruang kebebasan yang merdeka, melainkan ladang investasi kekuasaan bagi mereka yang memiliki modal besar.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, demokrasi prosedural berjalan dengan baik: pemilu dilaksanakan secara rutin, partai politik aktif, media bebas. Namun secara substansial, ruang-ruang pengambilan keputusan kian sempit bagi rakyat. Kebijakan publik seringkali tidak berpihak pada kepentingan orang banyak, melainkan lebih menguntungkan pemilik modal, pemilik lahan, atau pemilik media. Rakyat hanya hadir saat pemilu — dimobilisasi, diiming-imingi, dibujuk dan dipersuasi — namun dilupakan setelahnya.

Bayang-bayang oligarki bekerja dengan senyap namun sistematis. Mereka membiayai kampanye politik, menyusup ke dalam birokrasi, menguasai narasi di media massa, dan bahkan membentuk opini publik lewat buzzer dan influencer. Ironisnya, semua ini terjadi di bawah naungan legalitas demokrasi. Kekuasaan tak lagi direbut dengan kekerasan, tetapi dengan uang dan pengaruh. Demokrasi berubah menjadi etalase belaka — tampak indah di luar, tetapi rapuh dan kosong di dalam.

Dalam kondisi ini, demokrasi menjadi "wajah tanpa rupa" — identitasnya tidak lagi jelas. Ia tidak benar-benar mewakili rakyat, namun juga tidak sepenuhnya diktator. Ia menggantung di antara simbolisme dan manipulasi, di antara harapan dan kenyataan yang mengecewakan.

Apakah ini akhir dari demokrasi? Tidak. Namun ini adalah panggilan darurat bagi mereka yang peduli akan masa depan bangsa. Demokrasi harus diselamatkan dari penjarahan oligarki. Reformasi politik perlu digalakkan kembali: transparansi pendanaan politik, pembatasan kekuasaan elite bisnis dalam ranah publik, serta penguatan lembaga pengawas dan masyarakat sipil.

Lebih dari itu, rakyat perlu direvolusi secara kultural. Literasi politik, kesadaran kritis, serta keberanian bersuara adalah fondasi baru yang harus dibangun. Rakyat tidak bisa terus-menerus menjadi penonton atau korban. Mereka harus menjadi aktor sejati dalam panggung demokrasi. Bila tidak, demokrasi hanya akan menjadi sistem kosong yang dipakai untuk mengesahkan kekuasaan segelintir orang atas nama rakyat.

Demokrasi, bila tidak dijaga, akan dimakan dari dalam. Ia tidak akan mati karena kudeta atau perang, tetapi karena pengkhianatan diam-diam dari mereka yang mengaku sebagai penjaganya. Dan saat itu terjadi, yang tersisa hanyalah nama — tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa wajah.


4/01/2025

Alumni : Jejak yang Tak Pernah Pudar

 Ada satu tempat yang selalu hidup dalam ingatan, tak peduli sejauh apa kita melangkah. Sebuah tempat yang dulu menjadi saksi perjuangan kita menuntut ilmu, tempat di mana kita tumbuh, menemukan jati diri, dan menanam harapan.

Tempat itu adalah lembaga pendidikan kita—madrasah, pesantren, atau sekolah—yang pernah menjadi rumah kedua bagi kita semua. Tempat itu mungkin kini telah berubah, wajah-wajah baru bermunculan, bangunannya mungkin lebih megah atau justru masih berdiri dengan segala keterbatasannya. Namun, satu hal yang pasti: lembaga itu masih berjuang, sebagaimana dulu kita berjuang di dalamnya.

Kini, kita telah melangkah ke dunia yang lebih luas. Sebagian dari kita telah sukses di berbagai bidang, menjadi pemimpin, pendidik, wirausahawan, atau profesional di berbagai sektor. Sebagian masih dalam perjalanan meraih impian, dan sebagian lagi mungkin tengah menghadapi tantangan kehidupan. Tetapi, dalam keadaan apa pun, satu hal yang tak boleh kita lupakan: kita adalah bagian dari sejarah lembaga itu.

Peran Alumni: Bukan Sekadar Kenangan

Sering kali kita menganggap bahwa peran kita terhadap lembaga telah selesai saat kelulusan. Kita berpikir bahwa perjalanan kita sudah berbeda, bahwa ada kehidupan baru yang harus dijalani. Namun, apakah kita sadar bahwa lembaga itu tetap membutuhkan kita?

Sebagai alumni, kita bukan hanya sekumpulan nama dalam arsip sekolah. Kita adalah bukti nyata dari keberhasilan lembaga. Kita adalah wajah dari hasil didikan guru-guru kita. Maka, tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi juga berkontribusi.

Ada banyak cara alumni bisa berperan dalam membangun dan menghidupkan kembali lembaga:

1. Memberikan Dukungan Moril dan Spiritual

Tidak semua bentuk kepedulian harus berupa materi. Kehadiran alumni dalam acara-acara sekolah, kunjungan ke guru-guru, atau sekadar menyapa adik-adik kelas bisa menjadi dorongan besar bagi mereka yang masih berjuang di dalamnya. Sebuah nasihat, cerita perjalanan hidup, atau motivasi dari alumni bisa menginspirasi mereka untuk terus maju.

Ada banyak siswa yang merasa putus asa, merasa pendidikan mereka tidak akan membawa mereka ke mana-mana. Kehadiran alumni yang berbagi pengalaman bisa menjadi cahaya harapan, mengingatkan mereka bahwa perjalanan masih panjang dan bahwa ilmu yang mereka pelajari hari ini akan sangat berharga di masa depan.

2. Membantu Pengembangan Lembaga

Beberapa lembaga masih menghadapi banyak keterbatasan, baik dari segi fasilitas, kurikulum, maupun akses terhadap perkembangan zaman. Alumni yang telah memiliki pengalaman di berbagai bidang dapat berkontribusi dengan memberikan ide, saran, atau bahkan membantu mencarikan jaringan yang dapat membantu lembaga berkembang.

Mungkin ada alumni yang menjadi pengusaha dan bisa membantu membangun fasilitas baru. Mungkin ada yang ahli di bidang teknologi dan bisa membantu mendigitalisasi pembelajaran. Atau mungkin ada yang memiliki akses ke beasiswa dan bisa membuka peluang bagi siswa yang kurang mampu.

3. Membantu dari Segi Finansial

Tidak semua lembaga memiliki sumber pendanaan yang cukup untuk terus berkembang. Jika kita diberi kelebihan rezeki, mengalokasikan sebagian untuk membantu lembaga bisa menjadi ladang amal jariyah yang luar biasa.

Bisa dalam bentuk beasiswa bagi siswa yang kurang mampu, donasi untuk pembangunan atau renovasi fasilitas, atau bahkan sekadar membantu kebutuhan kecil seperti buku dan alat tulis. Jangan pernah berpikir bahwa kontribusi kita terlalu kecil. Sebab, bagi mereka yang membutuhkan, sekecil apa pun bantuan itu bisa sangat berarti.

4. Menjadi Jembatan bagi Generasi Berikutnya

Dunia terus berkembang, dan tantangan yang dihadapi oleh siswa saat ini mungkin berbeda dari yang kita alami dahulu. Sebagai alumni, kita bisa menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia luar.

Kita bisa membuka peluang magang, memberikan informasi tentang jalur pendidikan yang lebih luas, atau bahkan membantu mereka dalam mencari pekerjaan setelah lulus. Kita pernah berada di posisi mereka, kita tahu betapa sulitnya mencari jalan di dunia yang semakin kompetitif. Maka, mengulurkan tangan bagi mereka adalah bentuk kepedulian yang luar biasa.

Loyalitas Sejati: Cinta yang Tak Pernah Usai

Kita mungkin telah tumbuh dewasa, memiliki kesibukan dan tanggung jawab masing-masing. Namun, satu hal yang tidak boleh berubah adalah rasa cinta kita terhadap lembaga yang pernah membesarkan kita.

Sejauh mana pun kita pergi, kita tidak akan pernah benar-benar meninggalkan tempat itu. Nama kita tetap terukir di dalamnya, jejak kita tetap ada di dinding-dinding kelas, suara kita masih tertinggal di lapangan tempat kita bermain dan belajar.

Jangan sampai suatu hari nanti kita kembali, tetapi yang kita temukan hanyalah puing-puing lembaga yang dulu kita banggakan. Jangan sampai kita hanya datang ketika semuanya telah terlambat.

Mari kita mulai dari hal kecil: menyapa guru-guru kita, menjenguk sekolah kita, bertanya tentang kabar lembaga, dan perlahan-lahan mencari cara untuk berkontribusi. Sebab, lembaga itu adalah rumah kita—dan rumah selalu menanti kepulangan anak-anaknya.

Karena sejatinya, menjadi alumni bukan sekadar tentang pernah bersekolah di sana, tetapi tentang bagaimana kita terus menjaga dan merawat warisan yang telah diberikan kepada kita.

Dan cinta sejati kepada lembaga, seperti cinta sejati pada ibu dan guru, adalah cinta yang tak akan pernah usai.

3/29/2025

Sunan Kalijaga dan Pencarian Kesejatian

Di tengah hamparan samudra yang seolah tanpa batas, Sunan Kalijaga berenang melawan gelombang, meninggalkan daratan yang telah lama dikenalnya. Ia menuju cakrawala yang dijanjikan, tempat yang diyakini menyimpan rahasia ketuhanan. Namun, di antara langit dan laut yang seakan menyatu, sebuah suara menembus kesadarannya.

"Berhenti!"

Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan sorot mata tajam, seakan mampu menembus pikiran dan rahasia terdalam jiwa.

"Apa yang kau cari?"

Sunan Kalijaga menatapnya dalam diam, mencoba memahami sosok yang muncul di tengah samudra luas itu.

"Aku mencari kesejatian Allah," jawabnya tegas.

Pria itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Nabi Khidir, tersenyum tipis—sebuah senyum yang mengandung ribuan makna yang sulit dijelaskan.

"Lalu, mengapa kau meninggalkan tanahmu sendiri?"

Sunan Kalijaga terdiam. Pertanyaan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan kunci yang membuka tabir kesadarannya.

"Apakah kau mengira kebenaran hanya ada di negeri yang jauh? Bahwa yang suci selalu berasal dari luar? Bahwa tanah yang kau tinggalkan tidak menyimpan rahasia ketuhanan?"

Langit seolah ikut diam, menunggu jawaban.

"Ketahuilah," lanjut Nabi Khidir, "kesejatian tidak terletak pada tempat, tidak pula pada ajaran yang datang dari negeri asing. Kesejatian adalah kesadaran, dan tanah yang kau pijak sejak lahir telah lama menyimpannya. Kau telah buta pada kebunmu sendiri, sementara kau mencari bunga di tanah orang lain."

Ia menunjuk ke arah tanah Jawa yang mulai menghilang di kejauhan.

"Tanah itu adalah sorgawi sejati. Bukan sorga yang dijanjikan di akhirat, tetapi sorga yang tersembunyi dalam pemahaman. Leluhurmu telah lama memahami bahwa Tuhan bukan untuk dicari di tempat-tempat jauh, melainkan untuk ditemukan dalam penyatuan dengan diri sendiri. Itu adalah 'Manunggaling Kawula Gusti'—bukan konsep kosong, bukan sekadar doktrin, tetapi kesadaran tertinggi tentang keberadaan."

Sunan Kalijaga merasakan getaran dalam dirinya. Sebuah kesadaran mulai lahir, menggantikan pandangan lama yang runtuh seperti kabut yang tersingkap oleh cahaya fajar.

"Maka, pulanglah," kata Nabi Khidir. "Bukan sebagai pencari yang tersesat, tetapi sebagai seseorang yang telah melihat dan menyaksikan."

Di tengah lautan luas itu, Sunan Kalijaga tak lagi sekadar Brandal Lokajaya. Ia tak lagi hanya murid Sunan Bonang. Ia telah berubah. Kesadaran barunya membawanya pada ma'rifat, pemahaman mendalam tentang Tuhan, diri sendiri, dan alam semesta.

Kembali ke Tanah Jawa

Setelah peristiwa itu, Sunan Kalijaga tidak mengenakan jubah putih seperti para wali lainnya. Ia memilih kain hitam khas tradisi Jawa. Itu bukan sekadar gaya, melainkan sebuah sandi bagi mereka yang mampu membaca maknanya.

Hitam adalah warna ketakterlihatan, warna yang menyerap segala cahaya, warna yang menyimpan misteri terdalam. Dengan busana itu, ia menyampaikan pesan: kesejatian tidak perlu dicari di luar diri, sebab telah ada dalam kegelapan yang menutupi. Justru dari kegelapan itulah cahaya sejati bisa ditemukan.

Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa ajaran tauhid bukanlah milik satu bangsa, satu kitab, atau satu peradaban tertentu. Tanah Jawa telah lama memiliki kebijaksanaan spiritualnya sendiri—ajaran yang diwariskan para leluhur tentang "Manunggaling Kawula Gusti", penyatuan antara manusia dan Sang Ada.

Apa yang dibawa Sunan Kalijaga bukanlah perlawanan terhadap ajaran yang datang dari luar, melainkan penyelarasan. Ia memahami bahwa kebenaran bukan sesuatu yang harus dipaksakan, tetapi sesuatu yang harus tumbuh dari dalam.

Maka, ia tidak mendobrak, tidak menghancurkan, tidak melawan. Ia justru berbaur, menyusup dalam budaya, menghembuskan ruh baru dalam wayang, tembang, dan filosofi Jawa yang halus. Dan di sanalah letak keistimewaannya.

Sunan Kalijaga bukan guru yang berbicara dari menara gading, bukan nabi yang membawa wahyu dalam petir dan kilat. Ia adalah bagian dari tanah ini. Suara leluhur yang berbisik melalui angin, melalui alunan gamelan, melalui bayangan di layar wayang.

Ia tidak hanya menjadi seorang wali. Ia menjadi jembatan antara yang lama dan yang baru, antara yang lokal dan yang universal, antara dunia yang tampak dan yang tersembunyi.

Dan mungkin, dalam senyapnya malam, jika kita cukup peka, kita masih bisa mendengar bisikan rahasia dalam hembusan angin, mengingatkan:

"Apa yang kita cari, sejatinya telah ada dalam diri sendiri."

3/08/2025

Kanagaraan Gede Ciliwung-Cimandiri: Isyarat Alam, Suksesi Karamaan, dan Pergeseran Tatanan Bathin

Refleksi mendalam tentang hubungan antara peristiwa alam dan dimensi spiritual dalam perspektif laku patanjala. Saya akan menguraikannya lebih dalam dengan menghubungkan konsep-konsep kunci yang terkandung di dalamnya.

1. Bencana sebagai Jawaban Alam

Dalam laku patanjala, alam bukan hanya entitas fisik, tetapi juga sistem yang merespons perilaku manusia. Ketika wilayah Cimandiri dan Ciliwung mengalami bencana besar secara berurutan, hal ini bisa dimaknai sebagai "jawaban alam" terhadap perilaku manusia terhadap Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan.

Konsep ini sejalan dengan pemahaman tradisional bahwa bencana bukan hanya peristiwa geologis atau meteorologis, tetapi juga manifestasi dari ketidakseimbangan spiritual dan moral. Jika manusia merusak lingkungan dan melupakan nilai-nilai keseimbangan, maka alam akan memberikan "peringatan" dalam bentuk bencana.

2. Kanagaraan Tengah Cimandiri dan Kanagaraan Gede Ciliwung-Cimandiri

Istilah ini menunjukkan bagaimana wilayah-wilayah sungai utama di Pulau Jawa bukan sekadar batas geografis, tetapi juga memiliki makna spiritual dan historis.

Kanagaraan Tengah Cimandiri mencerminkan pusat keseimbangan yang berada di antara gunung dan laut, bagian dari energi utama Pulau Jawa.

Kanagaraan Gede Ciliwung-Cimandiri adalah konsep yang lebih luas, melingkupi dua sungai besar yang membelah Pulau Jawa dari selatan ke utara. Dalam perspektif spiritual, peristiwa bencana di kedua wilayah ini menjadi sinyal adanya pergeseran besar dalam struktur bathin masyarakatnya.

3. Suksesi "Karamaan" dan Proses Bera

Dalam masyarakat tradisional, "karamaan" adalah mereka yang dihormati sebagai pemegang warisan spiritual dan kebijaksanaan lokal. Ketika terjadi bencana besar, ini dianggap sebagai tanda bahwa kepemimpinan bathin sedang mengalami perubahan atau regenerasi.

Bera dalam konteks ini bisa diartikan sebagai "ritual pembersihan" atau "proses suksesi", di mana peristiwa besar menandai lahirnya pemimpin-pemimpin spiritual baru yang akan membawa keseimbangan kembali.

Ini juga menunjukkan bahwa masyarakat sedang dalam fase transisi besar, di mana paradigma lama mulai runtuh dan paradigma baru mulai terbentuk.

4. Indikator Alam dan Fase "Lara"

Konsep "lara" dalam patanjala merujuk pada kondisi kritis, menjelang kehancuran suatu peradaban atau ekosistem.

Jika fase ini sudah mencapai tahap "kritis akhir menuju punah awal", artinya pola kehidupan manusia sudah sangat jauh dari keseimbangan, dan bencana yang terjadi adalah peringatan terakhir sebelum terjadi perubahan besar yang tidak bisa dihindari.

Fenomena Mandalawangi yang "bekerja dengan baik" menunjukkan bahwa tatanan alam semesta sedang menata ulang keseimbangannya, dan ini adalah proses yang tidak bisa ditawar.

5. "Surti tur Rancage" sebagai Pedoman Hidup

Ungkapan ini mengajak manusia untuk selalu "faham dan waspada" dalam menghadapi fenomena alam dan sosial.

Surti berarti memahami dengan mendalam segala tanda-tanda yang diberikan alam dan kehidupan.

Rancage berarti cerdas dan tangkas dalam mengambil langkah agar tidak terjebak dalam ketidakseimbangan yang lebih besar.

Kesimpulan

Bencana bukan sekadar kejadian alam, tetapi juga penanda adanya perubahan besar dalam keseimbangan spiritual dan sosial. Konsep kanagaraan, karamaan, dan bera menunjukkan bahwa peristiwa ini adalah bagian dari siklus regenerasi alam dan kepemimpinan spiritual.

Bagi yang memahami, peristiwa ini bukan hanya tragedi, tetapi juga momentum untuk refleksi dan perubahan. Alam telah memberikan jawabannya, tinggal bagaimana manusia meresponsnya: apakah akan kembali pada keseimbangan atau terus melangkah menuju kehancuran.


3/04/2025

Mandalawangi atau Mandalayuda: Persimpangan Zaman Pasca-Pandemi

Sejak dunia mengalami pandemi Covid-19, banyak hal yang berubah secara drastis. Pandemi bukan sekadar ujian kesehatan global, tetapi juga menjadi semacam gerbang transisi bagi peradaban manusia. Kini, satu tahun setelah fase seleksi dari masa-masa kritis pasca-pandemi, kita berada di ambang penentuan. Apakah dunia ini akan menuju Mandalawangi, era keseimbangan dan kemakmuran sebagaimana harapan leluhur Nusantara, atau justru terseret ke dalam Mandalayuda, zaman penuh konflik dan kehancuran?

Sejarah manusia selalu berjalan dalam siklus. Ketika sebuah bencana besar terjadi, selalu ada dua kemungkinan: kebangkitan atau kehancuran. Pandemi Covid-19 telah memaksa umat manusia untuk mengubah cara hidup mereka, mempercepat digitalisasi, menguji solidaritas sosial, dan memperlihatkan sejauh mana ketahanan setiap bangsa. Namun, setelah fase bertahan itu, kita masuk ke tahap berikutnya: ke mana dunia akan menuju?

Jika kita berbicara dalam kearifan Nusantara, ada dua jalan yang terbuka. Mandalawangi adalah simbol keseimbangan, sebuah tatanan dunia di mana manusia mampu hidup dalam harmoni dengan alam, spiritualitas, dan nilai-nilai luhur. Dalam konteks ini, dunia akan bergerak ke arah yang lebih baik, di mana kesadaran kolektif meningkat, teknologi digunakan untuk kebaikan, dan kesejahteraan semakin merata. Namun, jalan ini bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan dengan niat yang lurus dan sikap yang teguh.

Sebaliknya, Mandalayuda menggambarkan jalan lain yang penuh dengan konflik, keserakahan, dan kehancuran. Ketika manusia gagal memetik pelajaran dari pandemi dan justru semakin egois, haus kekuasaan, serta abai terhadap keseimbangan alam, maka dunia akan memasuki fase yang lebih gelap. Perang ekonomi, krisis energi, ketimpangan sosial yang semakin tajam, hingga ketidakpastian politik global menjadi tanda-tanda bahwa jalan ini bisa saja menjadi kenyataan.

Dalam menghadapi persimpangan ini, kesadaran dan ketangkasan berpikir (surti tur rancage) menjadi kunci. Dunia tidak akan berubah dengan sendirinya. Ia ditentukan oleh bagaimana manusia bersikap dan mengambil keputusan. Apakah kita akan menjadi bagian dari perubahan menuju keseimbangan, atau justru membiarkan diri terseret dalam pusaran kekacauan?

Pada akhirnya, perjalanan ini bukan hanya milik individu, tetapi juga kolektif. Jalan yang kita pilih sebagai umat manusia akan menentukan wajah dunia dalam beberapa dekade ke depan. Oleh karena itu, dalam detik-detik terakhir dari fase seleksi ini, kita diajak untuk terus mengamati, memahami, dan bertindak dengan kesadaran penuh.

Inilah saatnya untuk menentukan: Mandalawangi atau Mandalayuda?


2/27/2025

Hakikat Tanpa Syariat: Jalan Sesat atau Cahaya Sejati?

Di bawah rindangnya pohon beringin tua, seorang pemuda duduk bersila, matanya terpejam, dan napasnya teratur. Ia adalah Raksa, pemuda dari desa terpencil di Nusantara yang telah lama menapaki jalan tapa brata, berusaha memahami hakikat kehidupan.

Di tengah sunyi, seorang lelaki tua datang menghampiri. Wajahnya bersih, sorot matanya teduh. Ia dikenal sebagai Kyai Ahmad, seorang penyebar Islam di tanah itu. Tanpa suara, ia duduk di samping Raksa.

"Apa yang kau cari dalam kesunyian ini, anak muda?" tanya Kyai Ahmad lembut.

Raksa membuka matanya perlahan. "Aku mencari kebenaran, Kyai. Sejak kecil, aku diajarkan untuk menata jiwa, menahan hawa nafsu, dan menyatu dengan alam. Namun, entah mengapa, masih ada yang terasa kosong dalam hatiku."

Kyai Ahmad tersenyum. "Nenek moyang kita telah lama mengenal laku tapa brata, mencari kesejatian dari dalam. Namun, kesejatian itu bukan hanya tentang mengenali diri sendiri, melainkan juga mengenal Tuhan yang menciptakan diri ini."

Raksa terdiam. Kata-kata itu menggetarkan hatinya. "Apakah Islam mengajarkan hal itu, Kyai?"

"Islam datang untuk menyempurnakan pencarianmu, Raksa," jawab Kyai Ahmad. "Di tanah Arab, Islam mengawali perjalanannya dengan menata masyarakat jahiliyah melalui syariat. Sedangkan di sini, masyarakat kita telah mengenal hakikat lebih dulu, sebelum mengenal syariat. Maka, Islam hadir bukan untuk merombak, tetapi untuk menerjemahkan hakikat yang telah kau kenali ke dalam syariat yang benar."

Raksa mengangguk perlahan. "Jadi, Islam bukan sekadar aturan?"

"Benar, Islam adalah jalan yang menyatukan syariat dan hakikat. Syariat adalah jalan menuju hakikat, sementara hakikat harus dibingkai oleh syariat agar tidak tersesat. Itulah sebabnya, tanah ini melahirkan banyak wali Allah. Mereka yang telah memahami hakikat, tetapi belum mampu menerjemahkannya, akhirnya menemukan penerjemahan sempurna dalam Islam."

Raksa menatap Kyai Ahmad dengan mata yang mulai berbinar. "Aku ingin belajar lebih dalam, Kyai. Aku ingin mengenal Islam bukan hanya dari luar, tetapi dari dalam jiwaku."

Kyai Ahmad tersenyum, lalu menggenggam tangan Raksa. "Maka, marilah kita melangkah bersama. Dari dalam ke luar, dari hakikat ke syariat, menuju cahaya yang sejati."

Malam pun menjelang. Langit dipenuhi bintang, seolah menyaksikan perjalanan baru Raksa. Hari-hari berikutnya, ia mulai belajar dari Kyai Ahmad. Ia belajar tentang syariat, tentang shalat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya. Namun yang lebih dalam dari itu, ia belajar tentang makna di balik setiap ibadah, tentang bagaimana ibadah bukan hanya kewajiban, tetapi juga jalan menuju Allah.

Suatu hari, Kyai Ahmad mengajak Raksa berjalan ke sebuah bukit. Dari sana, mereka memandang hamparan sawah yang luas. "Lihatlah, Raksa. Petani menanam padi dengan penuh kesabaran. Mereka tidak hanya menebar benih, tetapi juga merawatnya, menyiraminya, hingga panen tiba. Begitu pula dengan Islam. Ia bukan sekadar aturan yang dipatuhi, tetapi juga jalan yang harus dijalani dengan kesabaran dan pemahaman. Syariat adalah tanahnya, hakikat adalah hasil panennya."

Raksa mengangguk paham. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Kedamaian yang selama ini dicarinya mulai ia temukan dalam Islam. Tidak lagi hanya dengan tapa brata yang sunyi, tetapi dengan ibadah yang penuh makna.

Bulan demi bulan berlalu, Raksa kini menjadi sosok yang berbeda. Wajahnya lebih bersinar, hatinya lebih tenang. Ia tidak hanya memahami Islam sebagai ajaran, tetapi juga sebagai jalan hidup. Hingga suatu hari, ia berkata kepada Kyai Ahmad, "Kyai, aku ingin menyebarkan cahaya ini. Aku ingin berbagi dengan saudara-saudaraku yang masih mencari hakikat tanpa bimbingan syariat."

Kyai Ahmad tersenyum bangga. "Itulah tugas seorang mukmin, Raksa. Menerangi sekitarnya, seperti lilin yang membakar dirinya demi cahaya bagi yang lain."

Dan sejak hari itu, Raksa tidak hanya menjadi seorang pencari, tetapi juga menjadi penerang. Dari dalam ke luar, dari hakikat ke syariat, ia melangkah menyebarkan cahaya Islam di tanah Nusantara.


2/16/2025

Refleksi untuk Para Orang Tua, Sahabat, dan Teman-Teman…

Mari kita renungkan bersama. Kita yang hari ini, dalam diam, sering merasakan kegelisahan, kesedihan, dan ketidakpastian dalam hidup. Kita yang berulang kali berhadapan dengan kegagalan, kekecewaan, dan luka-luka perjalanan. Kita yang mencari makna di antara hiruk-pikuk dunia, namun kerap merasa hampa dan kehilangan arah.

Sering kali kita merasa rendah diri ketika anak-anak kita tidak menjadi sarjana terhormat, tidak menyandang gelar tinggi, atau tidak menduduki jabatan duniawi. Kita khawatir dan cemas, seakan-akan keberhasilan mereka hanya diukur dari sejauh mana mereka menapaki tangga dunia. Namun, pernahkah kita lebih dalam merenung? Bahwa ada yang jauh lebih berharga dari sekadar kesuksesan duniawi?

Menangislah bukan karena mereka tidak meraih gelar, tetapi karena mereka tidak mengenal sujud. Sedihlah bukan karena mereka tak menjadi pejabat, tetapi karena mereka tidak merasakan manisnya doa. Renungkanlah, betapa pilu jika anak-anak yang kita tinggalkan tidak mampu menuntun kita dalam shalat jenazah, tidak melantunkan ayat-ayat suci untuk kita, tidak memahami makna doa yang sejatinya menjadi penerang kita di alam kubur.

Sebab, kelak ketika jasad kita kembali ke tanah dan ruh mengarungi keabadian, semua yang kita banggakan di dunia tak lagi berarti. Rumah-rumah megah, harta berlimpah, jabatan yang tinggi—semuanya akan kita tinggalkan. Namun, ada satu warisan yang akan terus mengalir meskipun kita telah tiada: anak-anak yang saleh, yang setiap hari menyebut nama kita dalam sujudnya, mengirimkan doa-doa yang menjadi penerang dalam perjalanan panjang menuju keabadian.

Maka, sebelum semuanya terlambat, mari kita arahkan hati dan langkah menuju cahaya-Nya. Kita tuntun diri kita dan anak-anak kita mengenal Rabb-nya. Sebab, sejatinya ketenangan bukan terletak pada keberhasilan dunia, tetapi pada seberapa dekat kita kepada-Nya. Mari kembali kepada-Nya, agar jiwa kita tenang, hati kita damai, dan hidup kita dipenuhi keberkahan.

2/12/2025

Jejak Takdir di Madrasah Aliyah Nuurul Ikhwan Cikidang Sukabumi

Hari ini, saya mengemban amanah sebagai Kepala Madrasah Aliyah Nuurul Ikhwan Cikidang Sukabumi. Hal ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak pernah saya rencanakan bahkan tak pernah bercita-cita sebelumnya, namun pada akhirnya takdir membawa saya ke sini, di antara para guru dan siswa-siswa yang kini menjadi bagian dari tanggung jawab saya.

Walau demikian, saya merasa belum pantas berada di posisi ini. Siapalah saya jika dibanding para pendahulu yang ilmunya luas, para pendidik sejati yang telah mengabdi sepanjang hidupnya? Namun, hari ini saya diamanahi untuk membimbing dan mengarahkan pendidikan agar tetap berjalan sesuai dengan nilai- nilai keislaman dan menyelaraskan dengan pijakan dari kearifan lokal yang adiluhung

Lalu, bagaimana jika ini memang ketentuan-Nya? Bukankah setiap pemimpin harus menjadi teladan bagi yang dipimpinnya?

Saya pun merenung dalam-dalam. Dan hal ini harus saya ceritakan... 

Dahulu, saya dilahirkan dari seorang ayah yang juga sebagai seorang pendidik, seorang guru di sekolah dasar. Saya tumbuh dalam lingkungan di mana ilmu adalah cahaya, dan mendidik adalah bentuk pengabdian paling mulia. Saya menyaksikan bagaimana ayah saya bangun sebelum subuh, menyiapkan pelajaran, berjalan kaki ke sekolah dengan penuh semangat, meski hujan atau panas menyengat dalam kondisi sakit asma sejak kecil.

Dari beliau, saya belajar bahwa mendidik bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tetapi juga soal menanamkan adab, membentuk karakter, dan menumbuhkan cinta kepada ilmu serta kehidupan.

Kini, saya berada di titik ini—mengemban amanah yang lebih besar. Bukan hanya membimbing siswa, tetapi juga mendukung para guru agar mereka terus bersemangat dalam mengajar. Saya sadar, ini bukan tentang jabatan, bukan tentang kehormatan, tetapi tentang tanggung jawab.

Saya ingin madrasah ini menjadi rumah bagi ilmu dan adab. Saya ingin setiap siswa yang belajar di sini tumbuh menjadi insan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki hati yang lapang, yang menghormati gurunya, yang mencintai lingkungannya, dan yang mengerti bahwa ilmu harus diamalkan untuk kemaslahatan umat.

Maka, pada akhirnya inilah jalan yang harus saya tempuh. Jalan yang mungkin penuh ujian, tetapi juga penuh berkah. Sebab, seperti kata para arif, mendidik adalah pekerjaan para nabi. Dan jika Allah telah menempatkan saya di sini, maka saya harus berusaha sebaik mungkin untuk menjalankan amanah ini dengan penuh keikhlasan.

1/27/2025

Pemimpin dengan Nilai, Guru dengan Martabat: Pilar Masa Depan Bangsa

Pemimpin yang Berideologi: Membangun Masa Depan dengan Nilai

Seorang pemimpin sejati tidak hanya bertugas menjalankan jabatan, tetapi juga harus memiliki visi ideologis yang kuat dan nilai-nilai yang diperjuangkan untuk masa depan. Kepemimpinan bukan sekadar soal menduduki posisi, melainkan sebuah tanggung jawab besar untuk membawa perubahan dan membangun peradaban.

Jika seseorang hanya ingin menjabat tanpa memahami tanggung jawab ideologis yang melekat, atau sekedar memenuhi hasrat kepenitingan pribadi dan golongan, sebaiknya tidak menjadi pemimpin. Lebih baik memilih menjadi pegawai negeri atau buruh pabrik yang tugas utamanya adalah menjalankan instruksi. Pemimpin harus memiliki nilai-nilai luhur dan visi besar untuk masa depan, bukan sekadar memperjuangkan kepentingan sesaat atau mengejar jabatan.

Guru sebagai Batara Wisnu: Pilar Kebijaksanaan

Berbeda dengan politisi, guru memiliki kedudukan linuhung (mulia) dalam kehidupan bangsa. Guru adalah simbol kebijaksanaan yang ditempatkan di atas altar suci, layaknya Batara Wisnu—pengayom dan pemelihara kehidupan. Posisi ini menjadikan guru sebagai sosok yang bebas dari tekanan nilai eksternal, termasuk intervensi dari struktur jabatan, kepala sekolah, pejabat, atau bahkan orang tua murid.

Guru adalah pribadi yang seharusnya memiliki keberanian moral dan kemandirian dalam menyuarakan kebenaran. Jika guru merasa takut kepada atasan atau tekanan dari pihak lain, maka mereka kehilangan esensi sebagai penjaga masa depan generasi. Guru yang takut kepada kepala sekolah, kepala dinas, atau bahkan orang tua murid, sebaiknya kembali untuk mempertimbangkan diri sebagai guru, karena kondisi semacam ini hanya merusak fondasi pendidikan dan tidak memungkinkan terciptanya generasi penerus yang mandiri dan berkualitas.

Membangun Generasi Masa Depan dengan Keberanian

Pendidikan adalah piranti utama untuk membangun masa depan bangsa. Dalam proses ini, guru harus menjadi pilar keberanian yang tidak gentar terhadap tekanan. Keberanian ini diperlukan untuk mendidik generasi muda agar memiliki karakter yang kuat, kritis, dan independen. Guru yang bebas dari rasa takut akan mampu menciptakan lingkungan belajar yang progresif dan inspiratif.

Sebaliknya, pemimpin yang hanya berfokus pada jabatan tanpa nilai akan menciptakan stagnasi. Pemimpin yang tidak memiliki visi ideologis hanya akan melahirkan kebijakan yang dangkal dan tidak bermakna. Dalam konteks ini, peran guru sebagai penjaga nilai-nilai luhur menjadi semakin penting untuk menutupi kekosongan yang mungkin ditinggalkan oleh kepemimpinan tanpa arah.

Bersama Membangun Masa Depan

Baik pemimpin maupun guru memiliki tanggung jawab besar dalam membangun masa depan bangsa. Pemimpin harus memiliki nilai-nilai yang diperjuangkan, sementara guru harus tetap bebas nilai dalam arti tidak bisa diintervensi, sehingga dapat mendidik dengan kebebasan moral. Bersama-sama, keduanya menjadi pondasi kokoh bagi terciptanya generasi yang berkarakter, berilmu, dan berdaya saing tinggi.

1/07/2025

Pentingnya Berpikir Interdisipliner, Menggali Kearifan Lokal, dan Menciptakan Narasi Baru untuk Memperkuat Kontribusi Indonesia di Kancah Global

 

Pendahuluan

Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, pendekatan interdisipliner, penggalian kearifan lokal, dan penciptaan narasi baru menjadi kebutuhan yang mendesak. Indonesia, dengan kekayaan budaya, sumber daya alam, dan populasi besar, memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara signifikan di tingkat global. Namun, tantangan seperti fragmentasi pengetahuan, kurangnya penghargaan terhadap warisan lokal, dan narasi global yang sering kali mengesampingkan perspektif Indonesia, mengharuskan adanya strategi yang lebih terarah.

Berpikir Interdisipliner

Berpikir interdisipliner adalah pendekatan yang mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan untuk memahami dan memecahkan masalah kompleks. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini relevan karena permasalahan nasional seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan ketimpangan sosial memerlukan solusi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Misalnya, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan membutuhkan kolaborasi antara ahli lingkungan, ekonom, antropolog, dan pembuat kebijakan.

Berpikir interdisipliner juga membuka peluang untuk menciptakan inovasi yang relevan secara lokal tetapi memiliki dampak global. Contohnya, pengembangan teknologi berbasis biodiversitas Indonesia, seperti pemanfaatan bahan alami untuk obat-obatan atau energi terbarukan, dapat menjadi kontribusi penting bagi dunia.

Menggali Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah aset berharga yang sering kali terabaikan dalam arus modernisasi. Tradisi agraris, seni, dan filosofi hidup masyarakat adat Indonesia menyimpan nilai-nilai keberlanjutan, harmoni, dan solidaritas yang relevan dengan tantangan global saat ini. Mengintegrasikan kearifan lokal dalam kebijakan dan praktik modern tidak hanya memperkaya identitas bangsa, tetapi juga menawarkan solusi yang lebih sesuai dengan konteks lokal.

Sebagai contoh, sistem subak di Bali adalah model pengelolaan air tradisional yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, ekologis, dan sosial. Model ini tidak hanya relevan untuk pertanian berkelanjutan di Indonesia, tetapi juga dapat diadaptasi di wilayah lain yang menghadapi masalah kelangkaan air.

Menciptakan Narasi Baru

Indonesia perlu menciptakan narasi baru yang mengedepankan identitas dan kontribusinya di panggung global. Narasi ini harus mampu merepresentasikan kekayaan budaya, keberagaman, dan semangat inovasi bangsa. Dalam konteks geopolitik dan ekonomi global, narasi ini penting untuk meningkatkan daya tawar Indonesia serta membangun citra sebagai negara yang dinamis dan berpengaruh.

Peran media, seni, dan teknologi digital sangat penting dalam menyampaikan narasi ini. Dengan memanfaatkan platform global seperti film, musik, dan media sosial, Indonesia dapat memperkenalkan perspektif lokal kepada audiens internasional. Misalnya, film "Keluarga Cemara" tidak hanya menghadirkan nilai-nilai lokal, tetapi juga menggambarkan universalitas tema keluarga yang dapat diterima oleh berbagai budaya.

Peran Individu dalam Berkontribusi

Sebagai individu, kita memiliki peran penting dalam mendukung terciptanya pemikiran interdisipliner, penggalian kearifan lokal, dan narasi baru. Berikut adalah beberapa langkah konkret:

  1. Meningkatkan Literasi Multidisipliner: Mengembangkan pemahaman tentang berbagai bidang keilmuan untuk memperkaya perspektif dalam menghadapi masalah.

  2. Mengapresiasi dan Mempraktikkan Kearifan Lokal: Menggali, mendokumentasikan, dan mempraktikkan tradisi lokal dalam kehidupan sehari-hari.

  3. Menggunakan Teknologi untuk Berkarya: Memanfaatkan media digital untuk menciptakan konten yang merepresentasikan nilai-nilai Indonesia kepada dunia.

  4. Mendorong Kolaborasi: Aktif dalam jaringan komunitas atau organisasi yang mempromosikan keberlanjutan, keberagaman, dan inovasi.

  5. Berkontribusi melalui Profesi: Dalam bidang apa pun, berusaha menciptakan dampak positif yang tidak hanya bermanfaat secara lokal tetapi juga global.

Kesimpulan

Berpikir interdisipliner, menggali kearifan lokal, dan menciptakan narasi baru adalah langkah strategis untuk memperkuat kontribusi Indonesia di kancah global. Sebagai individu, setiap kita memiliki potensi untuk berperan dalam transformasi ini. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan global, Indonesia dapat menjadi inspirasi bagi dunia, sekaligus membangun masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

1/02/2025

Refleksi Hari Amal Bakti Kementerian Agama RI ke-79: Membangun Umat Rukun, Indonesia Maju di Tengah Bayang-Bayang Korupsi

Setiap 3 Januari, bangsa Indonesia memperingati Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama sebagai momentum refleksi perjalanan kementerian ini dalam membangun kehidupan beragama yang damai dan harmonis. Tema peringatan ke-79 tahun ini, "Umat Rukun, Indonesia Maju", memberikan pesan mendalam tentang pentingnya persatuan dan kerja sama dalam menjaga keberagaman bangsa. Namun, di balik semangat luhur ini, bayang-bayang budaya korupsi yang kerap mencemari institusi publik menjadi tantangan serius yang perlu diatasi bersama.

Makna Umat Rukun dalam Indonesia Maju

Kehidupan beragama yang rukun merupakan pilar penting dalam menjaga stabilitas sosial dan politik di Indonesia. Dalam konteks ini, Kementerian Agama berperan sebagai penjaga moderasi beragama, memastikan bahwa keberagaman menjadi kekuatan, bukan sumber konflik. Umat rukun adalah cerminan dari kehidupan yang penuh toleransi, saling menghormati, dan kerja sama lintas agama serta budaya.

Namun, cita-cita Indonesia maju tidak hanya bertumpu pada harmonisasi umat. Dibutuhkan integritas dalam setiap sektor, termasuk di lingkungan Kementerian Agama, untuk mewujudkan pelayanan publik yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Budaya Korupsi: Bayang-Bayang Gelap Pelayanan Publik

Ironisnya, berbagai kasus korupsi yang mencuat di Kementerian Agama dalam beberapa tahun terakhir mencoreng wajah institusi yang seharusnya menjadi teladan moralitas. Misalnya, kasus jual beli jabatan atau penyelewengan dana bantuan sosial agama. Budaya korup ini tidak hanya merusak kredibilitas lembaga, tetapi juga melukai kepercayaan masyarakat.

Korupsi di sektor keagamaan memiliki dampak yang lebih kompleks dibandingkan sektor lainnya. Tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga mengguncang keimanan umat yang mempercayai bahwa agama adalah simbol kejujuran dan keadilan.

Menghadapi Tantangan: Momentum Perubahan

Peringatan HAB ke-79 harus menjadi momentum bagi seluruh elemen Kementerian Agama untuk melakukan introspeksi. Beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengikis budaya korupsi adalah:

  1. Penguatan Sistem Pengawasan Internal: Membangun mekanisme kontrol yang lebih ketat dan transparan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
  2. Peningkatan Kapasitas SDM: Mengedepankan rekruitmen berbasis meritokrasi dan memberikan pelatihan antikorupsi secara berkesinambungan.
  3. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu: Memberikan sanksi tegas bagi pelaku korupsi, sekaligus melindungi pelapor (whistleblower).
  4. Penerapan Digitalisasi Pelayanan: Mengurangi interaksi langsung antara aparatur negara dengan masyarakat, sehingga meminimalisir potensi gratifikasi.

Harapan di Masa Depan

Indonesia yang maju adalah Indonesia yang bersih dari korupsi. Dalam mewujudkan itu, Kementerian Agama harus menjadi contoh institusi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan sebagai pedoman kerja. Semangat Umat Rukun, Indonesia Maju harus diwujudkan dengan pelayanan publik yang transparan dan berintegritas.

Refleksi ini bukan hanya seruan moral, tetapi panggilan aksi bagi seluruh jajaran Kementerian Agama dan masyarakat. Mari kita jadikan Hari Amal Bakti ini sebagai tonggak untuk menata ulang niat dan langkah menuju Indonesia yang lebih baik, rukun, dan bebas dari korupsi.

Selamat Hari Amal Bakti ke-79 Kementerian Agama RI!