Saya menyampaikan permohonan maaf
karena dana rutinnya terus saya potong, saya alihkan untuk
pembangunan jalan dan sekolah. Mungkin kita bertanya, kenapa
kita memulai pembangunan dengan menceritakan akar
kebudayaan? Saya menyampaikan, tidak ada satuun bangsa di dunia ini
yang mencapai kemajuan dalam pembangunan peradaban bangsanya, kecuali
yang terikat pada konstitusi bangsanya. Konstitusi di negara-negara
maju itu adalah konstitusi yang mempertahankan nilai tradisi
yang terjadi pada masanya dan itu terejawantahkan dalam bentuk konstitusi.
Inggris bangunannya tetap
masa lalu. Amerika bangunannya tetap masa lalu. Indonesia punya
bangunan bangunan masa lalu adalah hanya dua. Satu cerita sejarah
yang kedua adalah peninggalan kolonial. Pembangunan bukan rangkaian teknokratik yang
hanya didasarkan pada pikiran-pikiran akademik. Pembangunan bukan
kalimat kalimat fakta yang ditulis dalam buku-buku peraturan daerah
tentang anggaran belanja pembangunan daerah.
Pembangunan adalah ritme
sejati tentang keselarasan manusia dengan alamnya.
Keselarasan manusia dengan tanah, air, udara, dan mataharinya adalah
ritme indah yang di mana kita diberikan alam yang indah bernama tanah
Jawa Barat, tanah Sunda. Punya gunung yang nunga jentul, punya air
yang mengalir, punya sawah yang terhampar, punya lautan dan samudra
yang sangat luas.
Seluruh tata nilai itu
ada dalam naskah siksa kandang karesian yang menceritakan tentang
tata ruang yang disebut dengan gunung kudu awian, lengkob kudu
balongan, lebak kudu sawahan yang disebut dengan tritang tu
dibuana. Sanghang siksa kandang menceritakan tentang sipil society
yaitu trias politika Rama resi, dan Prabu.
Seluruh nilai-nilai itu kita
tinggalkan seolah kita akan menggapai masa depan. Seolah kita adalah
kaum akademik yang tidak perlu catatan masa lalu. Seolah kita akan
pergi ke depan dengan hanya menggunakan buku kesempatan kita yang kita
bangun dalam narasi-narasi politik. Tetapi kita lupa ternyata 80 tahun
Jawa Barat terbangun, ternyata seluruh rangkaian itu tidak menjadi
fakta. Kenapa? Kemiskinan masih menganga jalan hancur di
mana-mana. Hari ini kita punya derita. Seorang
anak bernama berumur 3 tahun, berasal dari Kabupaten Sukabumi
pada sebuah kampung terpencil. Ibunya ODGJ. Bapaknya mengalami
TBC. Anak itu tiap hari dikolong. Dia meninggal di rumah sakit dalam
keadaan seluruh cacing-cacing keluar dari mulut dan hidungnya. Betapa
kita gagap dan betapa kita lalai. Kenapa? Perangkat birokrasi
yang tersusun sampai tingkat RT ternyata tidak bisa membangun Epanti.
Kenapa? Manusia tidak terbangun dalam nalar dan rasa.
Semua orang bicara anggaran,
semua orang bicara keuangan. Dia lupa bahwa di balik anggaran ada
rasa dan cinta yang bisa mengadakan yang ada, mentiadakan yang
tiada. Kerangka itu adalah koreksi diri. Dan saya memutuskan terhadap
desa itu memberikan hukuman. Saya tunda bantuan desanya karena
desanya tidak mampu ngurus warganya.
Kerangka ini harus dibangun.
Kenapa? Kita bertugas mengemban amanah. Titah dari Allah. Seluruh
titah dari Allah harus kita pahami apa yang di kita lihat dalam
rangkaian peristiwa alam. Maka cerita Jawa Barat yang dulu bersama Banten
pasti dimulai dari dari Taruma negara.
Taruman negara
menceritakan tentang apa? Taruma negara menceritakan tentang
kepemimpinan yang mengelola air, kepemimpinan yang mampu mengelola
sumber daya sungai yang mengelilingi daerah Bekasi yang diawali dari
Bogor. Maka Taruma Negara menceritakan tentang peradaban air di mana
kepemimpinan mampu menguasai hulu sungai dan daerah airan air serta
muara yang pada akhirnya bisa menguasai lautan utara.
Cerita itu bukan cerita
mistik. Tetapi cerita fakta bahwa bangunlah peradaban Jawa Barat
dengan apa? Melakukan normalisasi sungai di kali-kali Bekasi, di
kali-kali Bogor. Karena itu adalah bentuk peradaban. Dan hari ini
tata ruangnya berubah. Di mana sungai-sungai berubah peruntukannya,
di mana sawah-sawah berubah peruntukannya. Pemukiman menghampar
menghampar di Kabupaten Bekasi, di kota Bekasi dan Karawang. Banjir
dalam setiap waktu. Kemiskinan tidak terselesaikan. Perbedaan kayak
yang miskin terus menganga. Kenapa? Salah dalam melakukan tata
ruang.
Litbang Kompas mengatakan salah
satu titik kelemahan dari kepuasan 85% adalah dua hal. Pertama adalah
ekonomi. Yang kedua adalah lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan
terjadi berebutannya di daerah industri. Kenapa itu terjadi? Karena
kita lupa membangun konektivitas antara pendidikan dan
lingkungan, pendidikan dan industri, antara dunia IT dengan keadaan
masyarakat. Apa yang menjadi kelemahan masyarakat Jawa
Barat? Matematika dasarnya lemah sehingga ketika seleksi mereka
kalah.
Kerangkah itu maka bergeser, orang bercerita
tentang galuh. Cerita tentang galuh bercerita tentang apa?
bercerita tentang bagaimana sebuah Tatar Selatan dibangun dalam
kekuatan empati publik di mana ada heroisme pengorbanan
seorang manusia demi kemanusiaan, demi keadilan yang pada akhirnya
Galuh menceritakan tentang apa? Persenyawaan antara utara dan
selatan, persenyawaan antara budaya pegunungan dengan budaya pesisir
dan kemudian ada kesadaran kolektif tentang pakuan, Pajajaran.
Kemudian di situ bicara tentang apa? Tentang budaya menulis di atas
batu. Budaya menulis di atas batu mencerminkan apa? Dalam naskah Sanghiyang
siksa kandang mengatakan rama itu perumpamaannya seperti tanah. Resi,
seperti air, prabu itu seperti batu.
Maka gurat rama adalah sipil
society, keluarga yang harmonis adalah gurat tanah. Kepemilikan hak
atas tanah adalah kekuatan sendi yang utama bagi sebuah masyarakat
sipil society. Gemah ripah, repeh rapi. Tidak mungkin sipil society itu
menguasai sebuah wilayah dan dia tidak memiliki hak pemukiman.
Maka kebijakan berikutnya adalah hak kepemilikan atas tanah yang
melahirkan. hak kepemilikan, pemukiman yang layak itu harus
menjadi sendi utama. Di situlah rama.
Resi lambang dari guru,
guru, dosen. Maka dia punya karakternya air. Dia jernih,
dia menenangkan, kemudian dia mensucikan. Seluruh rangkaian itu ada
dalam piranti-piranti independensi pendidikan. Independensi yang
harus dibangun. Di mana guru tidak boleh berpihak pada apapun. Maka
guru berpihak pada satu kebenaran yang objektif.
Kemudian Prabu, maka dia Prabu
itu adalah gurat batu. Maka dia menulis dalam batu meskipun
menulisnya sulit, meskipun banyak tantangan yang dihadapi, meskipun
ada gelombang penentangan yang berlangsung, tetapi seorang prabu harus punya
keyakinan bahwa yang dia tuliskan adalah bukan untuk dirinya,
yang dituliskan bukan untuk popularity-nya, yang dia tuliskan bukan
untuk electability-nya, yang dia tuliskan adalah cerita catatan masa
depan di mana kepemimpinannya menjadi legasi bagi pewarisan
kepemimpinan ke depan lahir orang yang tercerdaskan lewat
tulisan itu. Maka itu ada dalam cerita Galuh Pakuwan.
Kemudian kita akhirnya memasuki
sebuah era di mana Kecirebonan menebarkan sebuah nilai baru. Nilai
menyempurnakan tradisinya orang Jawa Barat yang memiliki spirit silih
asah, silih asih, silih asuh. Nu jauh urang deketkeun, geus deukut
urang layeutkeun, geus layeut urang paheutkeun, geus paheut silih
wangikeun. sebuah nilai yang terbangun dalam harmoni tatar
Sunda, tetapi ada nilai syari yang harus disempurnakan. Maka
cipta rasa, sirna rasa menyempurnakan rasa yang dimiliki oleh orang
Sunda yang terdiri dari entitas-entitas yang hari ini memiliki
keragaman dalam kebudayaan. Karena rasa, maka rasalah sebagai
sendi utama untuk mengayuh pembangunan yang melahirkan gelombang
kepemimpinan Sumedang Larang, Subang Larang.
Selajutnya memasuki pada sebuah era
POC, kemudian kita memasuki era kemerdekaan, maka sintesanya
adalah pembangunan tidak bisa didasarkan hanya pada pikiran
teknokratik. Dalam bahasa kebudayaan, pembangunan tidak
hanya mengandalkan saringseknya ikat, tapi pembangunan harus dibangun
dalam kekuatan kancing. Caringcingnya kancing. Apa itu? Pembangunan.
Bukan hanya mengandalkan intelektualision, tetapi pembangunan harus
dibangun dalam piranti emosional kuision dan spiritual quision.
Seluruh nilai-nilai itu adalah
sistem nilai pendidikan yang diajarkan dalam ajaran panca waluya.
Maka manusia Sunda itu adalah manusia yang harus cageur, bageur, beneur,
pinter, singer. Maka Pancawaluya harus dibangun dalam sebuah
gerbang. Maka hari ini pemerintah provinsi Jawa Barat mengedepankan
sebelum masuk ke Pancaaluya maka kita harus masuk ke wilayah gerbang
Pancaaluya. Maka gerbang itu bertujuan mengantarkan sebuah nilai
ajaran yang pada akhirnya manusia Sunda, manusia Jawa Barat itu apa?
Kaluhur sirungan, kehendap akaran.
Kerangka inilah pijakan
pembangunan yang kita tata. Pembangunan harus mampu melahirkan
sirung, yaitu tumbuhnya benih-benih baru, tumbuhnya bunga
baru, tumbuhnya buah baru melahirkan metamorfosis ke depan. Itu yang
disebut dengan kiwari bihari jeung poe isuk. Maka sains adalah
pendekatan. Maka teknokratik adalah pendekatan. Maka teknologi adalah
pendekatan. Tetapi seluruh pendekatan itu akan mengalami perubahan
dalam setiap waktu. Maka orang Sunda mengatakan harus mi indung ka waktu,
mi bapa ka zaman. Pindah cai, pindah tampian.
Kerangka ini tidak
bisa berjalan kalau apa? Kalau kehandap teakaran. Karena kahandap
harus akaran, maka pembangunan kita harus menginjak bumi. Tidak
penting dipuji orang, tidak penting bagus dalam tayangan,
tidak penting reka-reka gambar dibuat-buat di media sosial. Tidak
penting. Yang harus kita ceritakan adalah fakta yang sebenarnya.
bukan pembangunan kamungflatif. Kalau pendidikan dasar di kita masih
bermasalah, katakan bermasalah. Kalau masih ada anak SMP yang tidak
bisa baca tulis, katakan itu terjadi. Kalau ada kematian ibu
yang melahirkan, kematian anak, katakan itu terjadi. Kalau masih Hiv-nya
meningkat, katakan itu terjadi. Untuk apa? agar kita bisa meraih
sintesa. Maka seiring dengan perkembangan media sosial di mana rakyat
Jawa Barat hari ini mengenal TikTok, hari ini kita bisa melihat
fakta. Setiap hari rakyat bercerita apa? Bercerita tentang air bersih
yang sulit didapatkan. Bercerita tentang apa?
Gedung-gedung sekolah yang mau roboh tanpa toilet. Bercerita tentang
apa? Jalan-jalan pemukiman yang rusak, jembatan-jembatan yang mau
roboh, anak-anak menyeberang sungai Citarum menggunakan
rakit. Anak-anak bergelantungan di kawat-kawat pengikat di Garut dan
di Sukabumi hanya untuk sekolah. Itu cerita fakta kita. Dan seluruh
fakta itu lahir lewat apa? kesadaran publik warga untuk menceritakan
apa yang terjadi di tanah Jawa Barat ini.
Untuk itu, demokrasi yang
dibuka, media sosial yang terbuka harus melahirkan apa? Harus
melahirkan pemimpin yang peka. Harus melahirkan apa? Birokrat yang
dia sidik sakti indra waspada. Apa itu? harus melahirkan birokrat pancampurna. Ceulina
ngadangu, irungna ngangse, panona awas, letahna ngucap,
hatena ikhlas. Maka konektivitas para birokrat untuk melihat
perkembangan yang terjadi di jagat media sosial adalah kepekaan untuk
membaca situasi.
Para kepala desa harus membuka
ruang rumahnya untuk dikunjungi warga dalam setiap waktu. Tidak bisa.
Warga harus datang dari ujung Garut, ujung Sukabumi, ujung Cirebon,
terus-terusan ke Lembur Pakuan, mereka terlalu jauh untuk berjalan.
Para camat juga harus membuka diri, membuka ruangnya,
terkoneksi dengan para bupatinya yang harus handphone-nya menyala,
terkoneksi dengan gubernurnya. Maka kita bisa berjalan seiring dan
sejalan. Sarendek, saigel, sabobot, sapihane ka cai jadi salewi,
ka darat jadi salogak. Kalimat sa itulah kalimat jamak menjadi
tunggal. Jamak artinya apa? Kita ada ragam, ada ragam partai politik,
kita ada ragam daerah, kita ada ragam kepentingan, ada ragam baju.
Tetapi seluruh keragaman itu manakala didorong oleh kebeningan
hati, maka akan lahir kemanunggalan, yaitu kalimat sa, kalimat yang
mempertautkan, kalimat yang mempersatukan, kalimat yang menyatukan
yang tanpa jeda bahwa di antara kita yang bekerja baik legislatif,
eksekutif, yudikatif, dari mulai gubernur, para ketua DPRD,
para wakil ketua, para anggota, dan seluruh sampai pada tingkat RT,
RW, Bupati, Walikota, Lurah, camat, Kepala Desa, kuwuk, ada yang
menyatukan yaitu kalimat illah. Lailahaillallah.
Kalimat Ilah itu adalah
kalimat keikhlasan. Bahwa kita bekerja bukan untuk partai, kita
bekerja bukan untuk dipilih kembali. Kita bekerja untuk apa? Sebuah
pengabdian. bahwa kita mengabdi pada tetar Sunda, pada tetar Jawa Barat untuk
menghilangkan kemiskinan, menghilangkan kebodohan, mengangkat derajat
orang-orang miskin dan anak-anak yatim yang didengungkan oleh
Rasulullah sebagai sendi utama untuk membangun kemakmuran bagi
warganya.
Inilah kerangka pijak inilah
yang harus dibangun di antara kita. Kita membangun bukan untuk 5
tahun. Kita membangun bukan untuk 10 tahun. Kita membangun bukan
untuk kita. Kita membangun untuk masa depan anak cucu kita. Kita dititipi gedung
merdeka ini. Hasil karya kolonial. Kita berada digedung sate.
Hasil karya kolonial. Pertanyaannya adalah apa yang kita titipkan
bagi generasi Jawa Barat ke depan kalau kita tidak punya
nilai-nilai filosofi yang besar dan mendasar.
Untuk itu semoga pembangunan
di Jawa Barat, lembur diurus kota ditata adalah rangkaian lagu yang
tidak pernah berakhir dalam irama angin, irama air, irama matahari,
dan kemudian pada akhirnya bisa memaknai simbol-simbol peradaban yang
seringkali orang mengatakan kemusyrikan. Simbol peradabannya apa?
Orang Cina mengenal yin dan yan. maskulin dan feminin sebagai
bentuk peradaban dia mensimbolkan filosofi tentang manusia.
Orang Sunda itu punya tiga
simbolisasi. Yang pertama, kalau laut selatan itu mengambil filosofi
kebudayaan Jawa, maka dilambangkan dalam simbol putri yang cantik
bernama Nyi Ratu. itu cermin bahwa laut kalau diurus maka dia akan
menjadi putri yang sangat cantik. Harus dijaga kehormatannya
tidak boleh diambil terumbuk karangnya tidak boleh lagi ada berbagai
aktivitas yang merusak ke lautan.
Kemudian yang kedua, simbol dari
gunung dan hutan. Maka orang Sunda mengatakan itu adalah
Abah, Eyang, Uyut, Siliwangi, Maung, Panjajaran. Dia adalah
lambang kehormatan Gunung, maka seluruh kehormatannya dijaga dalam
simbolnya. Kenapa? Karena kemuliaan, ketentraman, dan
kenyamanan rakyat Sunda tergantung gunungnya. Kalau gunung dijaga
kehormatannya, maka kita terbebas dari kemiskinan dan terbebas dari
bencana.
Yang ketiga adalah simbol dari
tanah. Maka disebutlah Sunan Ambu, lambang dari seorang ibu yang
harus dihargai dan dihormati. Maka perlakukanlah tanah yang kita
pijak ini seperti kita memerlakukan ibu kita. Sunan Ambu dalam kaidah
Sunda, dalam kaidah Nusantara yang diajarkan oleh Bung Karno
disebutnya adalah Ibu Pertiwi. Kalau hari ini pengelolaan tanah
kita rusak, kalau hari ini tanah tidak pernah kita hormati untuk
menerima air, kalau hari ini tanah menjadi rebutan hanya untuk
menumpuk kekayaan, sesungguhnya kita adalah orang yang durhaka pada
ibu kita.
Untuk itu saya meyakini
perjalanan 6 bulan saya memimpin dengan Kang Erwan adalah perjalanan
yang baru meletakkan kerangka dasar. Apa yang kami raih dalam 6 bulan
bukan hasil kami, tapi hasil seluruh masyarakat Jawa Barat. hasil pimpinan
dan anggota DPRD dari mulai provinsi sampai kabupaten kota hasil dari
seluruh jajaran para bupati walikota sampai para ketua RT dan RW-nya.
Mari kita bersama membangun Jawa Barat. Pahuyekuk-heyuk
leungeun, paantai-antai tangun. Sareundeuk, saigel, sapubut,
sapihanean. Kacai jadi salewi, darak jadi salogak.